Di
pesisir daerah Adonara Barat yang berhadapan dengan kota Larantuka, banyak
lahan kering yang kemudian digarap oleh warga dari kota Larantuka. Mereka
menyebut daerah ini dengan nama Ariona, dan sebagian dari mereka tinggal pula
di pondok yang mereka dirikan atau pergi-pulang dengan menumpang perahu layer
kecil atau motor tempel. Walau ini tidak termasuk wilayah Larantuka, ada warga
Larantuka yang sudah turun-temurun mengolah lahan di sana.
Dengan
tangan bertumpu pada parang Adonara, Viki menatap di depannya. Dadanya
berkeringat tapi bajunya yang tipis masih bisa melewatkan hembusan angin dari
pantai. Ia ada di pertengahan bukit kecil, sekitar lima belas meter tingginya
dari atas laut, seratus meter ke darat. Di depannya, laut memantulkan bayangan
kota Larantuka dengan hampir sempurna. Laut seperti tak beriak tapi ada aliran
deras massa air di situ. Dari Laut Sabu, air menemukan jalannya ke Laut Flores
dengan melewati celah sempit antara kota Larantuka dan pulau Adonara.
Viki
ada di situ dengan empat bungkusan dari karung. Isinya adalah barang-barang
yang diambil di situ. Karung pertama isinya ubi ketela, diikat ujungnya dengan
tali gebang. Yang kedua isinya dedaunan: ketela, pepaya, dan kelor. Karung
ketiga isinya buah pepaya mengkal yang bergetah sehingga dibungkus saat pertama
kali tiba. Begitu pula karung keempat yang hanya setengahnya berisi buah
pisang. Hampir semua barang itu adalah makanan ternak babi nantinya di kota.
Di
pulau ini, musim hujan menumbuhkan apapun menjadi sehijau-hijaunya. Berbeda
dengan warna kuning yang mendominasi di musim kemarau. Sisa-sisa batang ketela
yang tertinggal kini menjadi seperti tanaman liar sehingga daunnya pun mesti
dibabat untuk memberi ruang bagi tumbuhnya jambu mede. Areal sempit di tanah
miring ini ditanami dengan jambu mede setelah batang-batang keras dari pohon
kesambi disingkirkan dengan parang Adonara yang tipis tapi tajam.
Hampir
setiap minggu, Viki datang ke tempat ini dengan menyewa motor tempel kecil
seharga lima ribu perak perjalanan bolak-balik. Benda kayu itu kini sedang
dalam perjalanan menjemputnya, kelihatan jelas membelah arus di tengah-tengah
selat.
Angin
dan bau laut kembali menjilati permukaan daratan. Desiran angin menjatuhkan
buah-buah kesambi kering dan membawa suara deburan akibat arus yang berputar.
Sesekali terdengar bising suara kendaraan dari dalam kota di hadapan pulau.
Juga suara dari piket harian SMA Negeri I Larantuka yang berbicara lewat
pengeras.
Gunung
Ille Mandiri tampak seperti segitiga besar di atas cermin selat Gonsalu. Awan
putih menutup bagian ujungnya dan bayangan gelap dari pertengahan hingga puncak
gunung. Kota tampak dipanasi cahaya matahari siang. Laut di depannya adalah
ruang yang meredam semua suara keributan akibat aktivitas manusia. Inilah ruang
kosong besar antara bukit di pulau yang ia pijaki dengan dinding segitiga besar
Ille Mandiri. Sejumlah tempat di tepi laut tampak bersih pula dan ditanami
ketela, jagung, dan padi gogo.
Alam
seperti berjalan dengan keteraturan yang sempurna. Arus laut di depannya
berubah haluan dua kali setiap siang hari. Tetapi tidak teratur pada ladang
kecilnya. Dari bawah tanah, tumbuh gulma kecil yang kelihatan lebih subur
daripada tanaman ketela. Di bagian sudut timur, rumput tinggi yang baru dibabat
meninggalkan batang dan dedaunan kering dengan tunas muda siap membesar. Di
seluruh areal tampak tunggul bekas batang pohon kesambi setinggi lutut.
Batang-batangnya yang lain sudah ditumbangkan ke arah laut. Rantingnya yang
lebih kecil sudah dikumpulkan sendiri untuk kayu api oleh ibu-ibu dan
gadis-gadis.
Tanaman
tali merambat bergetah turut melilit tanaman. Tumbuhan ini sangat dimusuhi
karena mempunyai miang pembungkus buah yang sangat gatal pada musim kemarau.
Jika kebun dipadati tumbuhan merambat ini, membersihkan rumput saat musim
kemarau jadi pekerjaan yang tidak disukai, karena kulit akan menjadi sangat
gatal dan hanya bisa diatasi dengan menggosoknya memakai daun kelor.
Untuk
menyimpan makanan, Viki punya pondok kecil yang dibuat ayahnya di sudut utara,
tepat di kaki kebun. Di sekeliling pondok ini ditanami pisang dan satu rumpun
kecil bambu aur yang tampak merana karena tanah yang tidak cocok.
Di
musim hujan, tempat ini menjadi surga bagi tanaman makanan dan sayur-sayuran
untuk ternak. Batang-batang ketela tumbuh sejadi-jadinya sehingga mesti dibasmi
seperti rumput. Di kota, anda tahu, harganya seribu perak per ikatnya. Begitu
pula daun kelor, bunga dan daun pepaya. Kontan, Viki merasa perutnya lapar
kini.
Segera
Viki berdiri dan membersihkan parangnya dari sisa-sisa tanah dan daun rumput.
Sendirian, ia harus memindahkan empat karung barang-barangnya ke tepi laut.
Kalau laut surut, perjalanannya ke tempat tambatan perahu menjadi dekat karena
memotong jalan lewat pertengahan rimbunan bakau. Tetapi tempat itu kini
terendam air pasang sehingga ia harus berputar mengikuti jalur jalan aspal.
Satu tumpuk batang kayu telah lebih dahulu ia pindahkan dua jam sebelumnya, dan
kini sedang berpindah ke perahu oleh teman seperjalanannya tadi.
Di
pantai, penumpang penyeberangan bukan hanya ia sendirian. Masih banyak yang
lainnya. Dan hampir semua mereka bukan 100% petani di situ. Sebagian besar
waktu mereka habiskan di kota. Mereka menuju pulau hanya pada akhir minggu,
sebagai selingan dari hari kerja. Bagi Viki, dua bulan terakhir ini ia bebas
dari tugasnya di sekolah. Ia sudah selesai ujian di SMA Negeri, dan tinggal
menunggu pengumuman lulus.
Viki
mengangkat barang-barangnya. Sekumpulan kayu telah ia kumpulkan semingu yang
lalu di pantai. Batang-batang besar itu ia letakkan melintang di atas sampan
bermesin. Barang-barang yang terbungkus karung ia letakkan di atas kayu itu.
Empat penumpang naik. Barang-barang mereka telah dinaikkan sebelumnya oelh
pengemudi. Dari tepi permukaanlaut, pinggir sampan hanya berjarak kurang
sepuluh sentimeter. Hampir dimasuki air. Tapi kayu dan bambu dipinggir kiri dan
kanan sampan menjadi pelampung yang bagus. Viki mengeluarkan air dari dasar
sampan dengan gayung. Dengan galah panjang, pengemudi mulai mengarahkan
sampanmenjauh dari pantai, lalu mesin motor kecil dibunyikan. Kendaraan kecil
itu meluncur di atas laut yang mulai bergolak. Pengemudi mengarahkan sampan
manjauh dari pusaran-pusaran air akibat arus kencang. Kendaraan meluncur ke
depan sekaligus hanyut ke arah samping akibat aliran arus laut.
Aliran
arus ini ditakuti oleh kendaraan laut besar dan kecil. Perahu besar pub hanya
beringsut lambat saat perjalanan melawan arus. Dan apabila hanyut akibat mesin
yang mati, benda bermesin yang tak berguna itu akan terlempar jauh darui jalurnya.
Sudah
sering Viki melihat sampan kecil yang hanyut dari kejauhan. Penumpang malang di
sampan hanyak akan berteriak sepanjang perjalanan gratisnya mengikuti aliran
arus deras, meminta pertolongan dari siapapun yang bisa menyelamatkannya sambil
berusaha keluar dari aliran arus. Orang-orang di pantai tahu, sampan yang
hanyut akan dijemput bermil-mil jauhnya dari tempat asalnya hanyut. Di antara
Pulau Adonara dan ujung pulau Flores, ada jalur penyeberangan yang selalu
dilalui tiap belasan menit oleh perahu “ketinting”. Mereka serentak bisa jadi
pasukan penyelamat laut saat dibutuhkan oleh pengendara sampan yang tolol.
Alasan kenapa mereka bisa hanyut jadi satu problema klasik: memancing
siang-siang di tengah laut dengan sauh yang tidak terikat kuat.
Sampan
bermesin kini di tengah-tengah. Di timur tampak sejumlah benda menonjol dari
permukaan air. Kapal barang atau perahu pencari ikan yang pulang.