Kamis, 28 Mei 2009

Ariona


Di pesisir daerah Adonara Barat yang berhadapan dengan kota Larantuka, banyak lahan kering yang kemudian digarap oleh warga dari kota Larantuka. Mereka menyebut daerah ini dengan nama Ariona, dan sebagian dari mereka tinggal pula di pondok yang mereka dirikan atau pergi-pulang dengan menumpang perahu layer kecil atau motor tempel. Walau ini tidak termasuk wilayah Larantuka, ada warga Larantuka yang sudah turun-temurun mengolah lahan di sana.

Dengan tangan bertumpu pada parang Adonara, Viki menatap di depannya. Dadanya berkeringat tapi bajunya yang tipis masih bisa melewatkan hembusan angin dari pantai. Ia ada di pertengahan bukit kecil, sekitar lima belas meter tingginya dari atas laut, seratus meter ke darat. Di depannya, laut memantulkan bayangan kota Larantuka dengan hampir sempurna. Laut seperti tak beriak tapi ada aliran deras massa air di situ. Dari Laut Sabu, air menemukan jalannya ke Laut Flores dengan melewati celah sempit antara kota Larantuka dan pulau Adonara.
Viki ada di situ dengan empat bungkusan dari karung. Isinya adalah barang-barang yang diambil di situ. Karung pertama isinya ubi ketela, diikat ujungnya dengan tali gebang. Yang kedua isinya dedaunan: ketela, pepaya, dan kelor. Karung ketiga isinya buah pepaya mengkal yang bergetah sehingga dibungkus saat pertama kali tiba. Begitu pula karung keempat yang hanya setengahnya berisi buah pisang. Hampir semua barang itu adalah makanan ternak babi nantinya di kota.
Di pulau ini, musim hujan menumbuhkan apapun menjadi sehijau-hijaunya. Berbeda dengan warna kuning yang mendominasi di musim kemarau. Sisa-sisa batang ketela yang tertinggal kini menjadi seperti tanaman liar sehingga daunnya pun mesti dibabat untuk memberi ruang bagi tumbuhnya jambu mede. Areal sempit di tanah miring ini ditanami dengan jambu mede setelah batang-batang keras dari pohon kesambi disingkirkan dengan parang Adonara yang tipis tapi tajam.
Hampir setiap minggu, Viki datang ke tempat ini dengan menyewa motor tempel kecil seharga lima ribu perak perjalanan bolak-balik. Benda kayu itu kini sedang dalam perjalanan menjemputnya, kelihatan jelas membelah arus di tengah-tengah selat.
Angin dan bau laut kembali menjilati permukaan daratan. Desiran angin menjatuhkan buah-buah kesambi kering dan membawa suara deburan akibat arus yang berputar. Sesekali terdengar bising suara kendaraan dari dalam kota di hadapan pulau. Juga suara dari piket harian SMA Negeri I Larantuka yang berbicara lewat pengeras.
Gunung Ille Mandiri tampak seperti segitiga besar di atas cermin selat Gonsalu. Awan putih menutup bagian ujungnya dan bayangan gelap dari pertengahan hingga puncak gunung. Kota tampak dipanasi cahaya matahari siang. Laut di depannya adalah ruang yang meredam semua suara keributan akibat aktivitas manusia. Inilah ruang kosong besar antara bukit di pulau yang ia pijaki dengan dinding segitiga besar Ille Mandiri. Sejumlah tempat di tepi laut tampak bersih pula dan ditanami ketela, jagung, dan padi gogo.
Alam seperti berjalan dengan keteraturan yang sempurna. Arus laut di depannya berubah haluan dua kali setiap siang hari. Tetapi tidak teratur pada ladang kecilnya. Dari bawah tanah, tumbuh gulma kecil yang kelihatan lebih subur daripada tanaman ketela. Di bagian sudut timur, rumput tinggi yang baru dibabat meninggalkan batang dan dedaunan kering dengan tunas muda siap membesar. Di seluruh areal tampak tunggul bekas batang pohon kesambi setinggi lutut. Batang-batangnya yang lain sudah ditumbangkan ke arah laut. Rantingnya yang lebih kecil sudah dikumpulkan sendiri untuk kayu api oleh ibu-ibu dan gadis-gadis.
Tanaman tali merambat bergetah turut melilit tanaman. Tumbuhan ini sangat dimusuhi karena mempunyai miang pembungkus buah yang sangat gatal pada musim kemarau. Jika kebun dipadati tumbuhan merambat ini, membersihkan rumput saat musim kemarau jadi pekerjaan yang tidak disukai, karena kulit akan menjadi sangat gatal dan hanya bisa diatasi dengan menggosoknya memakai daun kelor.
Untuk menyimpan makanan, Viki punya pondok kecil yang dibuat ayahnya di sudut utara, tepat di kaki kebun. Di sekeliling pondok ini ditanami pisang dan satu rumpun kecil bambu aur yang tampak merana karena tanah yang tidak cocok.
Di musim hujan, tempat ini menjadi surga bagi tanaman makanan dan sayur-sayuran untuk ternak. Batang-batang ketela tumbuh sejadi-jadinya sehingga mesti dibasmi seperti rumput. Di kota, anda tahu, harganya seribu perak per ikatnya. Begitu pula daun kelor, bunga dan daun pepaya. Kontan, Viki merasa perutnya lapar kini.
Segera Viki berdiri dan membersihkan parangnya dari sisa-sisa tanah dan daun rumput. Sendirian, ia harus memindahkan empat karung barang-barangnya ke tepi laut. Kalau laut surut, perjalanannya ke tempat tambatan perahu menjadi dekat karena memotong jalan lewat pertengahan rimbunan bakau. Tetapi tempat itu kini terendam air pasang sehingga ia harus berputar mengikuti jalur jalan aspal. Satu tumpuk batang kayu telah lebih dahulu ia pindahkan dua jam sebelumnya, dan kini sedang berpindah ke perahu oleh teman seperjalanannya tadi.
Di pantai, penumpang penyeberangan bukan hanya ia sendirian. Masih banyak yang lainnya. Dan hampir semua mereka bukan 100% petani di situ. Sebagian besar waktu mereka habiskan di kota. Mereka menuju pulau hanya pada akhir minggu, sebagai selingan dari hari kerja. Bagi Viki, dua bulan terakhir ini ia bebas dari tugasnya di sekolah. Ia sudah selesai ujian di SMA Negeri, dan tinggal menunggu pengumuman lulus.
Viki mengangkat barang-barangnya. Sekumpulan kayu telah ia kumpulkan semingu yang lalu di pantai. Batang-batang besar itu ia letakkan melintang di atas sampan bermesin. Barang-barang yang terbungkus karung ia letakkan di atas kayu itu. Empat penumpang naik. Barang-barang mereka telah dinaikkan sebelumnya oelh pengemudi. Dari tepi permukaanlaut, pinggir sampan hanya berjarak kurang sepuluh sentimeter. Hampir dimasuki air. Tapi kayu dan bambu dipinggir kiri dan kanan sampan menjadi pelampung yang bagus. Viki mengeluarkan air dari dasar sampan dengan gayung. Dengan galah panjang, pengemudi mulai mengarahkan sampanmenjauh dari pantai, lalu mesin motor kecil dibunyikan. Kendaraan kecil itu meluncur di atas laut yang mulai bergolak. Pengemudi mengarahkan sampan manjauh dari pusaran-pusaran air akibat arus kencang. Kendaraan meluncur ke depan sekaligus hanyut ke arah samping akibat aliran arus laut.
Aliran arus ini ditakuti oleh kendaraan laut besar dan kecil. Perahu besar pub hanya beringsut lambat saat perjalanan melawan arus. Dan apabila hanyut akibat mesin yang mati, benda bermesin yang tak berguna itu akan terlempar jauh darui jalurnya.
Sudah sering Viki melihat sampan kecil yang hanyut dari kejauhan. Penumpang malang di sampan hanyak akan berteriak sepanjang perjalanan gratisnya mengikuti aliran arus deras, meminta pertolongan dari siapapun yang bisa menyelamatkannya sambil berusaha keluar dari aliran arus. Orang-orang di pantai tahu, sampan yang hanyut akan dijemput bermil-mil jauhnya dari tempat asalnya hanyut. Di antara Pulau Adonara dan ujung pulau Flores, ada jalur penyeberangan yang selalu dilalui tiap belasan menit oleh perahu “ketinting”. Mereka serentak bisa jadi pasukan penyelamat laut saat dibutuhkan oleh pengendara sampan yang tolol. Alasan kenapa mereka bisa hanyut jadi satu problema klasik: memancing siang-siang di tengah laut dengan sauh yang tidak terikat kuat.
Sampan bermesin kini di tengah-tengah. Di timur tampak sejumlah benda menonjol dari permukaan air. Kapal barang atau perahu pencari ikan yang pulang.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: