Minggu, 04 September 2011

Salah Target

Gambar: wahanacorp.blogspot.com

Minggu malam di Jalur El Tari, Kota Kupang, September 2009. Kopong melaju dengan motor membonceng dua orang adik kostnya. Ketiganya melaju di jalan raya tanpa helm. Kopong sebenarnya heran juga. Polisi sudah ada di mana-mana tetapi pelanggaran seperti itu ia lakukan dengan nyaman saja. Barusan ia berangkat dengan kodisi demikian dari kostnya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Ia seperti melakukan hal yang normal.

Lantas, mata polisi yang memang awas itu menggiringnya ke pinggir jalan dengan peluit. Malam, jalanan tak begitu ramai. Polisi itu umumnya tidak lagi muda. Tampak lengkap setelan seragam polisinya, yang membuat jantung siapapun pelanggar lalulintas jadi tak berdetak normal. Tetapi tidak bagi Kopong.

Kedua orang lain yang dibonceng Kopong sudah membayangkan lembaran lima puluh ribuan harus meninggalkan dompet malam itu, tetapi mereka heran melihat Kopong  tampak tenang tenang saja.
“Banyak yang tak lengkap,” ujar polisi itu singkat setelah mengamati roda dua itu dan penunggangnya sambil mencabut kunci motor dengan mahir.
Peluang tawar-menawar pun terbuka. Tapi Kopong tak ingin berlama-lama. Ia saat itu memang sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Seorang anggota keluarga sedang dirawat di sana.
“Jadi bagaimana?' prosedur pertama sudah dimulai oleh Polisi.
Kopong diam saja. Kartu SIM sudah di tangan polisi. Si polisi membolak-balik sejenak kartu itu, seolah-olah memeriksa dengan lebih teliti keasliannya. Kopong tahu, si polisi sengaja mengulur-ulur waktu.
“Spion, GTO (Gonceng Tiga Orang-Red), tak pake helm, nomor bermasalah, juga pajak yang sudah mati,” lanjut Pak Polisi seperti membaca daftar belanja.
“Sudah”, cetus Kopong yang diam saja dari tadi. “Pelanggar ada, petugas ada. Jadi, tolong beri surat tilangnya.”
"Apa?" Polisi angkat matanya dari pandangannya semula.
“Besok akan saya bayar di bank,” jawab Kopong keras membuat mata polisi itu agak menyipit.
“Begini saja” kata polisi itu setelah tampak berpikir keras. “Saya tahan SIM kamu di sini. Sebentar, kamu ke pos polisi dan bayar di sana,” lanjutnya.
“Tidak bisa,” Kopong ngotot. “Tilang terjadi di jalan, bukan di pos polisi. Lagipula, saya sedang ada urusan buru-buru. Jadi, cepat kasih surat tilangnya.”
“Sebaiknya kita selesaikan saja di sini.” Lanjut si polisi dengan suara merendah tak kehilangan akal. “Berapa kamu bawa di situ?” Tanyanya.
Kopong diam. Ia hanya seorang mahasiswa perantauan dan hanya membawa selembar uang seribu di sakunya, dan sejak roda dua menepi uang itu sudah dilipat kecil-kecil dan dijepit di jari-jari tangannya.
“Lima puluh ribu?” Tanya polisi.
Kopong tersenyum.
“Oh, bukan begitu Pak, beri saja surat tilangnya. Besok, saya akan bayar lewat bank. Ini kan sudah malam.”
“Berapa sih yang kamu bawa?” si polisi tetap ngotot. 
Ngotot-ngototan tawar menawar pun lama terjadi, sampai si polisi akhirnya pergi dengan selembar uang yang terlipat kecil-kecil, yang ternyata ketika ia buka nilainya hanya seribu rupiah.
"Busyet, wong edan" begitu kira-kira gerutuan yang terdengar di tengah malam dari mulut sang Polisi.
Adegan seperti ini betul-betul terjadi, berdasarkan cerita seorang teman saya sih. Ia sendiri menyesalkan adegan ini dan berharap tidak lagi terjadi……

Ini dia prosedur resminya secara lengkap:
Bila terjadi pelanggaran lalulintas, pelanggar dapat surat tilang sebagai bukti adanya pelanggaran, ikuti proses sidang pengadilan atas pelanggaran lalulintas, bayar denda sesuai putusan hakim pengadilan, selesai. Jadi, Polisi yang melakukan tilang pun harus menyediakan surat tilang, hal mana yang tidak dilakukan petugas dalam cerita di atas.
Jangan sekali-kali menyuap petugas. Atau jika langsung membayar, itu pun hanya uang jaminan, bukan denda karena pelanggaran. Denda pelanggaran ditentukan sidang di pengadilan bukan oleh polisi. Tilang sendiri adalah kepanjangan dari (bukTI peLANGgaran, menurut yang dimuat di “buku pintar SMA”)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: