Rabu, 13 Juni 2012

Lite


Nyasar di Lite Jumad pagi. Sepeda motor masuk  bengkel sementara perbaikannya “dirujuk” untuk ke bengkel di Waiwerang. Jadi, onderdilnya dipreteli di bengkel Lite dan saya mesti kembali ke Waiwerang. Lewat mana? Ini Jumad pagi, ada pasar di Lite. Dari bengkel, saya mengojek ke pasar, duduk di sana menunggu bus kayu yang akan mengangkut penumpang ke Waiwerang.
Saya cukup tahu pasti, bahwa memang ada bus ke Waiwerang hari ini. Sejumlah besar pedagang di sana memang datang dari kota Waiwerang. Dari orang Lamahala yang menjual ikan tangkapan nelayan hingga pedangang kaki lima dari Waiwerang sendiri. Mereka ke Lite pagi-pagi benar dengan bus kayu, lalu siangnya pulang lagi ke Waiwerang. Jadi, rencana saya, saya menumpang kendaraan ini.
Sekitar jam satu, saat pasar desa ini usai, tampak ada sejuimlah orang lain yang juga menunggu. Saya bergabung ke sana, di pertigaan jalan. Ternyata, paling kurang ada dua kendaraan seperti itu yang menempuh jalur yang sama usai pasar pagi itu. Satu untuk kendaraan para pedagang itu, satunya lagi untuk mengangkut hasil bumi. Mengikuti penumpang lain, saya ikut yang kedua. Bus kayu angkutan hasil bumi, yang juga dipakai untuk angkutan penumnpang. Maklum, travel dan ekspedisi dijadikan satu paket hehe.
“Naik di sini saja, tak apa, hasil buminya cuma sedikit” Begitu keneknya meyakinkan kami bahwa muatannya tidak begitu penuh.
Kami naik, sekitar empat orang cowok, satu gadis remaja, seorang ibu dengan anaknya, dan sepasang orang tua di depan, di samping pak sopir. Bus kayu ini tampak sering saya lihat lalu lalang di Waiwerang. Jumad siang, setelah mengangkut penumpang, ia sering terus ke  pantai dan mengambil pasir. Di perjalanan, yaitu dekat pom bensin, muatan lainnya menunggu.  Solar dan bensin milik para pengecer di Lite. Itu yang sering terlihat.
Nah, siang itu, dari sejumlah lokasi seputar Lite, bus mulai memutar. Masuk dari lorong masuk dekat gereja paroki ke arah utara. Ada sekitar tiga lokasi penimbunan hasil bumi di sana yang siap diangkut.  Di antaranya, yang tebanyak adalah kopra, menyusul kemiri dan kakao. Pemiliknya adalah para tengkulak yang membeli hasil bumi ini dari petani pada hari pasar itu. Dari petani ini, barang dibawa ke gudang di Waiwerang. Sekali angkut, bisa dua hingga tiga ton.
Ketika meninggalkan Lite, ikut dalam perjalanan kami sejumlah besar pelajar-pelajar SMP dengan serangam sekolah mereka. Baru bubar dari sekolah. Sekolah mereka di Lite, dan tempat tinggal mereka terpisah satu hingga dua kilometer jauhnya. Jadi, mereka dapat tumpangan gratis hari itu.
Di bagian belakang kendaraan, kami mesti merasa nyaman berada di tumpukan hasil bumi yang mengisi sepertiga ruangan bak. Kaki kami tak menyentuh lantau bus, tetapi menginjak saja di atas tumpukan barang-barang itu.
“Awas hati-hati, di dalam ada banyak kemiri bulat” seorang pemiliknya memperingatkan. Memang, harga kemiri bulat besarnya berkali-kali lipat dari harga kemiri pecah.
“Jangan diinjak supaya jangan pecah,” lanjutnya.
“Wah, mesti ditempatkan di mana pun, pastinya ia akan pecah juga” Kata kenek.
Bus kayu meluncur ke Waiwerang  dan menurunkan muatannya di dua buah gudang di tepian kota. Saya turun tidak jauh dari sana.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: