Nyasar di Lite Jumad
pagi. Sepeda motor masuk bengkel
sementara perbaikannya “dirujuk” untuk ke bengkel di Waiwerang. Jadi,
onderdilnya dipreteli di bengkel Lite dan saya mesti kembali ke Waiwerang. Lewat
mana? Ini Jumad pagi, ada pasar di Lite. Dari bengkel, saya mengojek ke pasar,
duduk di sana menunggu bus kayu yang akan mengangkut penumpang ke Waiwerang.
Saya cukup tahu pasti,
bahwa memang ada bus ke Waiwerang hari ini. Sejumlah besar pedagang di sana
memang datang dari kota Waiwerang. Dari orang Lamahala yang menjual ikan
tangkapan nelayan hingga pedangang kaki lima dari Waiwerang sendiri. Mereka ke
Lite pagi-pagi benar dengan bus kayu, lalu siangnya pulang lagi ke Waiwerang. Jadi,
rencana saya, saya menumpang kendaraan ini.
Sekitar jam satu, saat
pasar desa ini usai, tampak ada sejuimlah orang lain yang juga menunggu. Saya
bergabung ke sana, di pertigaan jalan. Ternyata, paling kurang ada dua
kendaraan seperti itu yang menempuh jalur yang sama usai pasar pagi itu. Satu
untuk kendaraan para pedagang itu, satunya lagi untuk mengangkut hasil bumi.
Mengikuti penumpang lain, saya ikut yang kedua. Bus kayu angkutan hasil bumi,
yang juga dipakai untuk angkutan penumnpang. Maklum, travel dan ekspedisi
dijadikan satu paket hehe.
“Naik di sini saja, tak
apa, hasil buminya cuma sedikit” Begitu keneknya meyakinkan kami bahwa
muatannya tidak begitu penuh.
Kami naik, sekitar empat
orang cowok, satu gadis remaja, seorang ibu dengan anaknya, dan sepasang orang
tua di depan, di samping pak sopir. Bus kayu ini tampak sering saya lihat lalu
lalang di Waiwerang. Jumad siang, setelah mengangkut penumpang, ia sering terus
ke pantai dan mengambil pasir. Di
perjalanan, yaitu dekat pom bensin, muatan lainnya menunggu. Solar dan bensin milik para pengecer di Lite.
Itu yang sering terlihat.
Nah, siang itu, dari
sejumlah lokasi seputar Lite, bus mulai memutar. Masuk dari lorong masuk dekat
gereja paroki ke arah utara. Ada sekitar tiga lokasi penimbunan hasil bumi di
sana yang siap diangkut. Di antaranya,
yang tebanyak adalah kopra, menyusul kemiri dan kakao. Pemiliknya adalah para
tengkulak yang membeli hasil bumi ini dari petani pada hari pasar itu. Dari
petani ini, barang dibawa ke gudang di Waiwerang. Sekali angkut, bisa dua
hingga tiga ton.
Ketika meninggalkan
Lite, ikut dalam perjalanan kami sejumlah besar pelajar-pelajar SMP dengan
serangam sekolah mereka. Baru bubar dari sekolah. Sekolah mereka di Lite, dan
tempat tinggal mereka terpisah satu hingga dua kilometer jauhnya. Jadi, mereka
dapat tumpangan gratis hari itu.
Di bagian belakang
kendaraan, kami mesti merasa nyaman berada di tumpukan hasil bumi yang mengisi
sepertiga ruangan bak. Kaki kami tak menyentuh lantau bus, tetapi menginjak
saja di atas tumpukan barang-barang itu.
“Awas hati-hati, di
dalam ada banyak kemiri bulat” seorang pemiliknya memperingatkan. Memang, harga
kemiri bulat besarnya berkali-kali lipat dari harga kemiri pecah.
“Jangan diinjak supaya
jangan pecah,” lanjutnya.
“Wah, mesti ditempatkan
di mana pun, pastinya ia akan pecah juga” Kata kenek.
Bus kayu meluncur ke
Waiwerang dan menurunkan muatannya di
dua buah gudang di tepian kota. Saya turun tidak jauh dari sana.