Mengingat kejadian di masa lampau, saya pertama
kali menulis ‘opini’, yang kemudian dibaca banyak teman, pada saat SMA.
Sebenarnya, itu bukan opini betulan. Tapi lebih seperti sebuah surat protes
yang cukup panjang. Tulisan tersebut sebenarnya muncul untuk menanggapi sebuah
peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Inilah
peristiwa tersebut. Kru mading SMA kami menampilkan sebuah tulisan ‘sastra’
yang oleh para guru dinilai tidak pantas. Alasannya, dalam tulisan dimaksud
terdapat kata-kata seperti ‘pelacur’. Menurut mereka, kata tersebut tidak layak
tayang di mading sekolah menengah. Oleh mereka, kru mading disuruh membongkar
tulisan itu. Dan memang benar. Tayangan mading tersebut pun akhirnya dibongkar.
Sebagai
pengurus mading, meski bukan pengurus inti, banyak dari kami yang jadi resah.
Diam-diam, sejumlah wacana merebak. Ada yang mendukung tindakan itu, ada yang
keberatan. Posisi saya pasti. Mendukung kru mading, yang artinya keberatan
terhadap kebijakan guru-guru yang memerintah pencopotan tulisan tersebut.
Tapi
seorang teman karib malah berseberangan ide dengan saya. Ia nyata-nyata
mendukung para guru pembina. Ia dengan ekspresif mengungkap keberpihakannya
itu. Kesimpulan saya, itu ia lakukan lantaran posisinya sebagai pengurus OSIS.
Mungkin pula karena kata ‘pelacur’ manurutnya tak layak tampil di mading SMA.
Kecendrungan karena latar tradisi agama yang dianutnya memang sering punya
pengaruh.
Tak
punya hobby bicara, kertas dan pena lantas jadi sahabat terbaik saya kala itu.
Saya ambil kertas dan langsung menulis tanggapan saya tentang peristiwa
tersebut. Mula–mula, peristiwa tersebut saya ulas bercermin dari sebuah buku
tentang ‘proses kreatif’ yang saya baca beberapa waktu sebelumnya. Buku bacaan
ini ada di perpustakaan kami, dan merupakan satu buku yang cukup mendalam
isinya.
Di
sana dikatakan, seperti yang kemudian muncul dalam tulisan saya, bahwa
kreativitas seseorang muncul mengikuti tahapan-tahapan tertentu. Tahapan
mula-mula adalah realitas yang dialami oleh seseorang. Ada lagi rentetan
tahapan berikutnya yang kadang tidak kontinu. Sementara tahapan terakhir adalah kelahiran
kreatifitas dalam bentuk sebuah karya fisik. Dalam cerita kami tadi, karya fisiknya adalah sebuah sebuah tulisan sastra di papan mading.
Pendapat
saya sebagian besar terpengaruh dari bacaan tersebut. Tapi dengan tambahan saya
sendiri bahwa yang perlu dipersoalkan adalah asal-muasal dari kreatifitas itu,
yaitu realitas yang dialami oleh penulis. Proses
selanjutnya berlangsung hampir secara mekanis sehingga di luar kendali sadar
manusia. Jadi, mempersoalkan hasil kreatifitas adalah sebuah kesalahan besar.
Corat-coret
itu lantas menarik perhatian teman saya yang berseberangan ide tadi. Ia membacanya.
Dan dengan sedikit tampak malu-malu, ia lantas berbalik dan mendukung saya.
Hanya dalam beberapa saat saja, ia berubah pendirian setelah membaca tulisan itu. Sebagai pengurus OSIS, ia lalu
mendukung mading, dan melawan ide pembina. Tak berhenti di situ. Ia selanjutnya
memintai tulisan saya. Disuruhnya seorang teman lain untuk mengedit dan menulis
ulang secara rapi, lalu kemudian ditempelkan di papan mading edisi berikutnya
di kolom ‘opini’.
Tak
diduga, tulisan itu kemudian dibaca banyak orang. Bahkan juga dijadikan bahan
obrolan santai teman-teman. Orang yang tampak tak gandrung soal tulis menulis
sekalipun malah turut membahasnya. Saya kaget ketika seorang teman yang tiap
hari ‘urus mabuk’ menanyakan tulisan ini ke saya. Kok bisa ya? Jangan sampai
tulisan tersebut dijadikan simbol perlawanan? Mana tahu hehehehe. Tapi
yang pasti, ada sebuah kemajuan, bahwa diskusi serius bukan hanya milik
kalangan terbatas saja. Satu
lagi pelajarannya lainnya: anda bisa mengubah pendirian seseorang melalui
sebuah tulisan.
(Tulisan
pendek ini saya buat setelah beberapa saat lalu kembali ke almamater saya
karena suatu urusan. Ada kabar gembira nih. Mading almamater saya kini tampak
lebih bersinar. Tampak hasil kreativitas para pelajar yang membanggakan, terpampang di
papan-papan mading mereka. Proficiat!)