Waktu itu, bertiga kami pergi. Mama*), Lingling, dan
saya. Mama hanya ingat nama saudaranya dan istrinya yang dari Thailand.
Memegang kertas bertulisan nama itu, kami pun mencari
dari toko ke toko. Di toko di mana kami hampir memutuskan berhenti, terjadi
dialog ini.
"Permisi"
"Kenal orang ini?" Dengan menunduk-nunduk, saya
tunjukkan kertas bertulisan nama. Ia melotot sebentar, sodorkan lehernya
seperti kepala penyu dari cangkangnya, lalu segera tari kembali.
"Tidak", hanya satu kata terhambur dari balik koran. Seolah tak ada
siapa-sia lagi di situ selama semenit kami di sana. Perlahan, kami tarik kaki
kami pergi.
Orang-orang di luar lalu membuat cerah berseri wajah
kami. Mereka menunjuk sebuah kedai restoran. Pemiliknya bernama La Ali, dan
istrinya orang Thailand. Begitu kata mereka.
Tiba di sana, ada seorang gadis yang kami temui.
"Kami mencari keluarga dari ibu ini." kata
saya. "Nama orang itu La Ali, dan istrinya Thailand."
"Baik, tunggu di sini," si gadis putih mata
sipit serupa yang Mama punya masuk ke dalam dan semenit kemudian muncul dengan
seorang pria tua. Matanya si pria menyapu dan meneliti kami bertiga, lalu ia
angkat tangannya. Jari telunjuknya digoyang kiri kanan seperti seorang ibu melarang
anaknya makan permen.
"Tidak. Saya tidak kenal kalian." katanya.
"Kami sedang mencari keluarga. Namanya La Ali.
Istrinya Thailand." Sekali lagi saya coba menegaskan.
"Ya, saya memang La Ali, dan istri saya Thailand,
tapi itu bukan saya." jawabnya. "Tapi... “ ia mengkerut keningnya,
lalu tampak cerah lagi mukanya, “saya ingat, nah, itu pasti teman saya."
Ia pun mengajak kami, "mari ke sana."
Dengan sebuah taksi sewaan, kami meluncur menuju sebuah
tempat tukang cukur. Tetapi tiba di sana, hanya ada papan nama dan pintu
terpalang kayu yang menyambut kami.
“Waduh”
“Ia pasti datang lagi esok", berkata si pria tua
yang cape-cape menjadi guide kami ini, lantas berjalan memutari kami yang
berdiri linglung sembari jari telunjuk mengetuk-ngetuk kepalanya. "Oh, ya
mari menuju ke sana, itu juga keluarganya."
Berempat kami pergi lagi ke sebuah tempat usaha lain. Si
pemilik tempat yang sedang sibuk lantas melepaskan alat pembersihnya lalu
mengantar kami ke sebuah rumah. Katanya, pemilik rumah itu La Ali. Dan istrinya
Thailand.
Dari luar, Mama langsung mengenali orang di balik pintu.
"La Ali, ini saya.” Katanya dan langsung berpelukan.
“Empat puluh tiga tahun lamanya, dan kita bertemu lagi kini."
Kami lalu dipersilahkan masuk dan duduk di ruangan
tengah. Di dalam, seorang anak gadis turut menyaksikan peristiwa itu, dan
langsung ke lantai atas menelepon keluarga-keluarganya. Semua orang datang, dan
malam itu, ada acara makan-makan bersama mereka.
"Ini keluarga kita. Selama ini, kita tidak pernah
bertemu, karena ia ke Timor." La Ali menjelaskan.
Piring pun dibagikan, dan hidangan disebar. Saya
mengangkat muka, dan melihat mereka semuanya. Mama, Lingling putrinya, dan
semua tetamu yang lain berkulit kuning langsat dan tinggi besar. Hanya saya, ya
hanya saya yang kentara dari timur. Perlahan, tangan yang hitam legam ini saya
tarik dan sembunyikan di balik meja.
"Yah, silahkan, hidangan itu, ambillah."
"Ya, iya." sahut saya. Malu-malu. Sambil
mengingat bahwa Mama dan Lingling yang rela bertahun-tahun ke Adonara, nyatanya
adalah orang yang punya keluarga yang tinggal di kota besar ini. Dan saya bukan
kelurga terdekat dari Mama dan Lingling. Hanya orang sekampung halaman.
*) Mama: sebutan untuk wanita dari luar, misalnya dari
pulau Jawa dan lain-lain yang menikah dengan pria Lamaholot.
Hugs | Forward this Picture

