“Gawat!
Seseorang mesti menghadap sang Boss, Prof. Umbu Datta!” Itu bisikan panik dua
orang saat membeli rokok di kantin dekat halte tepi jalan kampus Faperta. Letak
kampus ini ada paling pojok dari deretan kampus tiga di luar kota Kupang.
Kampus satu dan dua ada di kota, sebelum tataruang memperbolehkan wilayah
pendidikan ditempatkan di sini.
Di gedung
Rektorat, laporan dengan perincian lengkap masuk kemarin. Proses cepat jauh
lebih cepat dari surat surat penting sekalipun. Dua puluh tiga jam sebelum itu,
surat pemecatan telah diketik oleh seorang pegawai, siap ditandatangani Rektor.
Laki-laki
kita adalah laki-laki yang tertuduh. Bahwa ia akan digiring masuk, ia telah
tahu dua-puluh empat jam sebelumnya. Tetapi ia sadar penuh bahwa saat itu ia
tidak dapat mengelak untuk menahan tangannya. Ia menyesalkan kejadian itu tapi
tak akan mengucapkan penyesalannya sebelum waktunya.
Laki-laki
kita didampingi tiga orang yang naik lewat tangga kiri. Seorang dari mereka
berpakaian abu-abu dengan papan nama hitam. Ia mungkin pegawai atau dosen dari
sebuah tempat di kampus yang luasnya beberapa hektar ini.
Laki-laki
kita menghitung satu per satu tangga dan semua pintu yang dilaluinya. Ia ingat
betul pada angka ke berapa pintu milik sang Profesor dimasukinya. Letaknya di
tengah tengah agak jauh dari ujung tangga poros dan lebih jauh lagi dari tangga
kiri yang mereka lewati tadi.
Dua orang
yang pagi tadi berbisik bisik di tepi kantin adalah anggota panitia
inisiasi. Mereka kesal akan sikap
seorang panitia yang secara tidak resmi menghukum peserta.
Kejadiannya berlangsung di luar pagar kampus.
Saat itu peserta pelanggar harusnya ada di dalam sana mengikuti kegiatan.
Mereka beralasan buang air dan kemudian belanja rokok di kantin luar pagar.
Mereka tak kenal bahwa seorang lelaki yang berdiri dekat situ tanpa pengenal
adalah seorang panitia juga.
Laki laki
berambut cepak berkaus hijau itu menahan tiga pria yang berkostum kaus biru.
“Hei kalian!
Berbalik dan masuk!”
Tiga laki
laki dengan kostum rapi dan masih bau pewarna tak pedulikan perintah itu.
Salah satu
dari mereka beri tanda untuk masuk keemperan. Dua orang lain duduk di emperan
menikmati segelas frutang. Yang keluar kedua kalinya adalah gerutuan. Dan
ketiganya adalah teriakan.
“Pergi
kalian dari sini!”
Penjaga kios
melongok dari dalam melihat laki-laki cepak menyeret laki-laki lain yang
berbaju biru serupa dengan dua temannya yang lain di emperan kios. Kedua pria
membuang gelas plastik dan mendekat dengan kening mengernyit. Kening mereka
lebih kentara lagi kernyitannya ketika sebuah tamparan melayani di pipi rekan
mereka. Tiga orang berkepala hampir pelontos mengurung seorang pria. Meski
sendiri si, laki laki rambut cepak ternyata gesit. Dua tendangan beradu dengan
perut laki laki yang datang belakangan yang mukanya penuh jerawat. Tanpa
gerakan yang baik ketiga laki-laki akhirnya jatuhkan kawan mereka sementara ibu
penjaga kios menghilang entah ke mana.
Lima menit
setelah si ibu pulang ia hanya menemukan laki laki rambut cepak duduk bersandar
di batang gamal dengan wajah memar dan baju hijau sebelah kiri robek panjang
dan kotor di beberapa tempat. Cairan merah mengalir dari sudut bibirnya. Laki
laki lain telah menghilang entah ke mana. Dengan kaki kiri pincang dua laki-laki
lain datang dengan seorang gadis berbaju Jas biru menenteng sepatu ikut dari
belakang.
Hari ini
hari sabtu. Kampus libur dari kegiatan kuliah. Paling banyak hanya ada lima
orang yang tak berstatus mahasiswa yang berada di seputar enam gedung di kompleks
itu. Beberapa orang lantas berembug. Demi menjaga wibawa dan supaya kegiatan
yang berjalan tak begitu terganggu, mereka serahkan saja urusan itu pada tiga
orang semester atas di luar kepanitiaan. Mereka paling paham urusan
selanjutnya. Itu peristiwa kemarin. Sudah diutuskan oleh penjaga kios beberapa
kawan dari angkatan atas dan juga salah seorang pelaku.
“Mereka
potong jalur.” Kata salah satunya kecewa. Ia laki-laki. Ukuran tubuhnya di atas
rata rata dengan kumis tebal brewokan.
“Panitia
tidak bicarakan itu dengan kita.” Bagi keduanya urusan anak anak MABIM kemarin
dibicarakan dulu sebelum di bawa ke luar supaya meredam kekecewaan anak anak
baru itu.
“Justru kru
si onel yang lebih di dengar. Kau tahu kemarin Onel digantung mereka di dua
cabang gamal, kemudian dihajar ketiganya. Dua temannya ngotot bawa ke Rektor.
Dan kini mereka telah di sana.
“Kau tahu
alasan kau di panggil.” Suara rektor yang datar seperti menaikkan suhu ruangan
satu derajat.
Rektor lalu menuju jendela. Pandangannya
menyapu atap-atap kampus dan berhenti di atas kampus Faperta di bagain paling
ujung timur. “Tempat yang akan segera saya tinggalkan,” membatin si tertuduh.
“Pagi-pagi
tadi kami telah rundingkan tentang penegakkan aturan di sini. Kau tahu kalau
ada aturan yang telah disepakati. Bacalah map itu.”
Cicit burung
gereja di dekat fan AC terdengar mengiringi gemerisik angin. Beberapa suara
langkah kaki derit pintu dan dengungan terdengar jelas dari ruang di kiri kanan
sesekali terdengar.
Kertas paling atas map adalah copyan ijasah,
berkas surat kelakuan baik, dan kontrak kuliah. Paling belakang adalah
keputusan rektor tentang aturan larangan kekerasan dalam kegiatan kampus.
Sanksinya jelas. Dikeluarkan tanpa peringatan.
Pria tengah
baya dari tepi jendela melirik jam tangannya. Urusan ini hanya sita dan makan
waktunya beberapa saat sebelum jam 12 ini. Selanjutnya sepi hanya bolak balik
kertas sebelum akhirnya si tertuduh meletakkan kembali map hijau itu di meja.
Dari
jendela, orang pertama di kampus ini kembali ke mejanya merasa ini memang bukan
benar urusannya, tetapi entah kenapa tahu tahu sudah berada di mejanya. Ia
kembali ke mejanya mencari kesibukan dengan memeriksa barang-barang di atas
meja kaca dengan alas tenunan motif bunga warna biru itu. Di belakang meja
berdiri lemari jati yang menonjol urat urat kayunya. Di dalamnya berisi
buku-buku tebal semacam ensiklopedi atau direktori sejenis dan juga beberapa
piala piagam dan piagam yang digantung di leher namanya.
Dinding
kanan dari pintu berderet gambar enam orang. Kualitas foto makin ke kiri makin
jelek. Paling kanan adalah foto orang yang kini akan menentukan nasibnya.
“Nah
sekarang,” suara memecah keheningan “Kau baca surat ini keras keras!”
Map biasa
warna coklat disodorkan.Surat pemutusan hubungan studi.
“Bacalah
dengan sadar, lalu tandatanganilah.”
Sabtu
kemarin ada kunjungan seorang tamu sehingga waktu kembali lowong di meja sang
rektor hanya sesaat sebelum kan kantor habis. Tetapi dalam waktu yang begitu
singkat masuk selembar pernyataan dan rekomendasi tentang soal yang ujungnya
membawa seorang laki laki berambut pelontos masuk dalam ruangannya. Seperti
merekam detik demi detik kesempatan terakhir berada di situ laki laki pelontos
membaca surat pernyataan itu. Dengan ini saya atas nama Markus dosi nim sekian
semester satu jurusan sosial ekonomi pertanian fakultas pertanian dengan nama
orang tua Petrus Dosi Naen dengan ini….
“Tunggu!
Tunggu! Itu nama orang tuamu?”
Kembali mahasiswa pelontos hendak kembali
membaca tetapi dihentikan oleh sang rektor.
“Betul itu
nama orang tua kamu?” Si mahasiswa merasa bahwa apa yang tertulis memang benar
karena data di situ adalah data dari awal masuk dan rektor kemungkinan besar
memang tidak memeriksanya sebelum ini.
“Nama orang
tua kamu Piet Lagame’an?”
Ya. Pak
Petrus Dosi Naen yang jelas tanpa kesalahan ejaan manapun.
Pria
pelontos tak hendak lagi membaca menikmati keanehan wajah sang rektor ketika
memandang ke jendela timur.
“Kamu punya
nomornya”
Pria pelontos terdiam membayangkan alasan baru
yang mesti ia cari untuk menjelaskan pemecatan itu pada ayahnya.
“Kamu punya
nomornya?”
“Ya, ya! Aku
punya”
Pria
pelontos seperti sadar ke lepasan bicara.
“Beri aku
nomor itu.”
“Hallo ini
dengan siapa?” suara dari seberang.
“Ini dengan
Umbu. Umbu Datta.”
“Hallo…!
Salam hormat Pak Profesor.”
“Hahahah…”
Sambutan
yang ramah sekali teman. Pembicaraan telepon berlangsung beberapa menit, sampai
pandangan rektor kembali kepada mahasiswa pelontos.
“Begini
teman, di sini duduk seseorang bernama Anton Lagame’an. Kamu kenal?”
“Haha,…itu
dia anakku!”
“Ya. Dia
kini memegang selembar surat pernyataan. Kemarin memang ada sedikit korslet di
tempat kesayangan anakmu itu.
“Hahahaha….
Seperti tak pernah muda saja Umbu. Kau kan pernah bilang anakku adalah anakmu
juga. Mana itu...”
“Hahahaha
dia memang anakku sekarang. Aku sedang ada dengannya di sini.”
Nah karena
dia anakmu, perlakukan dia sebagai anak yang baik.”
“Nah kau
dengar kan.”
Di luar
keadaan memang memanas. Panitia berharap surat itu segera keluar dan wibawa
mereka depan pelontos pelontos goblok itu segera kembali terangkat. Harapan
mereka sia sia sebab setengah jam kemudian pria pelontos keluar dari ruang
rektor tanpa membawa apa-apa. Di dalam ruangan rektorat kertas yang belum lagi
ditandatangani itu tergeletak dalam keadaan terbagi empat di kotak sampah
aluminium.