Sabtu, 02 November 2013

Surat Pemecatan

“Gawat! Seseorang mesti menghadap sang Boss, Prof. Umbu Datta!” Itu bisikan panik dua orang saat membeli rokok di kantin dekat halte tepi jalan kampus Faperta. Letak kampus ini ada paling pojok dari deretan kampus tiga di luar kota Kupang. Kampus satu dan dua ada di kota, sebelum tataruang memperbolehkan wilayah pendidikan ditempatkan di sini.
Di gedung Rektorat, laporan dengan perincian lengkap masuk kemarin. Proses cepat jauh lebih cepat dari surat surat penting sekalipun. Dua puluh tiga jam sebelum itu, surat pemecatan telah diketik oleh seorang pegawai, siap ditandatangani Rektor.
Laki-laki kita adalah laki-laki yang tertuduh. Bahwa ia akan digiring masuk, ia telah tahu dua-puluh empat jam sebelumnya. Tetapi ia sadar penuh bahwa saat itu ia tidak dapat mengelak untuk menahan tangannya. Ia menyesalkan kejadian itu tapi tak akan mengucapkan penyesalannya sebelum waktunya.

Laki-laki kita didampingi tiga orang yang naik lewat tangga kiri. Seorang dari mereka berpakaian abu-abu dengan papan nama hitam. Ia mungkin pegawai atau dosen dari sebuah tempat di kampus yang luasnya beberapa hektar ini.
Laki-laki kita menghitung satu per satu tangga dan semua pintu yang dilaluinya. Ia ingat betul pada angka ke berapa pintu milik sang Profesor dimasukinya. Letaknya di tengah tengah agak jauh dari ujung tangga poros dan lebih jauh lagi dari tangga kiri yang mereka lewati tadi.
Dua orang yang pagi tadi berbisik bisik di tepi kantin adalah anggota panitia inisiasi.  Mereka kesal akan sikap seorang panitia yang secara tidak resmi menghukum peserta.
 Kejadiannya berlangsung di luar pagar kampus. Saat itu peserta pelanggar harusnya ada di dalam sana mengikuti kegiatan. Mereka beralasan buang air dan kemudian belanja rokok di kantin luar pagar. Mereka tak kenal bahwa seorang lelaki yang berdiri dekat situ tanpa pengenal adalah seorang panitia juga.
Laki laki berambut cepak berkaus hijau itu menahan tiga pria yang berkostum kaus biru.
“Hei kalian! Berbalik dan masuk!”
Tiga laki laki dengan kostum rapi dan masih bau pewarna tak pedulikan perintah itu.
Salah satu dari mereka beri tanda untuk masuk keemperan. Dua orang lain duduk di emperan menikmati segelas frutang. Yang keluar kedua kalinya adalah gerutuan. Dan ketiganya adalah teriakan.
“Pergi kalian dari sini!”
Penjaga kios melongok dari dalam melihat laki-laki cepak menyeret laki-laki lain yang berbaju biru serupa dengan dua temannya yang lain di emperan kios. Kedua pria membuang gelas plastik dan mendekat dengan kening mengernyit. Kening mereka lebih kentara lagi kernyitannya ketika sebuah tamparan melayani di pipi rekan mereka. Tiga orang berkepala hampir pelontos mengurung seorang pria. Meski sendiri si, laki laki rambut cepak ternyata gesit. Dua tendangan beradu dengan perut laki laki yang datang belakangan yang mukanya penuh jerawat. Tanpa gerakan yang baik ketiga laki-laki akhirnya jatuhkan kawan mereka sementara ibu penjaga kios menghilang entah ke mana.
Lima menit setelah si ibu pulang ia hanya menemukan laki laki rambut cepak duduk bersandar di batang gamal dengan wajah memar dan baju hijau sebelah kiri robek panjang dan kotor di beberapa tempat. Cairan merah mengalir dari sudut bibirnya. Laki laki lain telah menghilang entah ke mana. Dengan kaki kiri pincang dua laki-laki lain datang dengan seorang gadis berbaju Jas biru menenteng sepatu ikut dari belakang.
Hari ini hari sabtu. Kampus libur dari kegiatan kuliah. Paling banyak hanya ada lima orang yang tak berstatus mahasiswa yang berada di seputar enam gedung di kompleks itu. Beberapa orang lantas berembug. Demi menjaga wibawa dan supaya kegiatan yang berjalan tak begitu terganggu, mereka serahkan saja urusan itu pada tiga orang semester atas di luar kepanitiaan. Mereka paling paham urusan selanjutnya. Itu peristiwa kemarin. Sudah diutuskan oleh penjaga kios beberapa kawan dari angkatan atas dan juga salah seorang pelaku.
“Mereka potong jalur.” Kata salah satunya kecewa. Ia laki-laki. Ukuran tubuhnya di atas rata rata dengan kumis tebal brewokan.
“Panitia tidak bicarakan itu dengan kita.” Bagi keduanya urusan anak anak MABIM kemarin dibicarakan dulu sebelum di bawa ke luar supaya meredam kekecewaan anak anak baru itu.
“Justru kru si onel yang lebih di dengar. Kau tahu kemarin Onel digantung mereka di dua cabang gamal, kemudian dihajar ketiganya. Dua temannya ngotot bawa ke Rektor. Dan kini mereka telah di sana.

“Kau tahu alasan kau di panggil.” Suara rektor yang datar seperti menaikkan suhu ruangan satu derajat.
 Rektor lalu menuju jendela. Pandangannya menyapu atap-atap kampus dan berhenti di atas kampus Faperta di bagain paling ujung timur. “Tempat yang akan segera saya tinggalkan,” membatin si tertuduh.
“Pagi-pagi tadi kami telah rundingkan tentang penegakkan aturan di sini. Kau tahu kalau ada aturan yang telah disepakati. Bacalah map itu.”
Cicit burung gereja di dekat fan AC terdengar mengiringi gemerisik angin. Beberapa suara langkah kaki derit pintu dan dengungan terdengar jelas dari ruang di kiri kanan sesekali terdengar.
 Kertas paling atas map adalah copyan ijasah, berkas surat kelakuan baik, dan kontrak kuliah. Paling belakang adalah keputusan rektor tentang aturan larangan kekerasan dalam kegiatan kampus. Sanksinya jelas. Dikeluarkan tanpa peringatan.
Pria tengah baya dari tepi jendela melirik jam tangannya. Urusan ini hanya sita dan makan waktunya beberapa saat sebelum jam 12 ini. Selanjutnya sepi hanya bolak balik kertas sebelum akhirnya si tertuduh meletakkan kembali map hijau itu di meja.
Dari jendela, orang pertama di kampus ini kembali ke mejanya merasa ini memang bukan benar urusannya, tetapi entah kenapa tahu tahu sudah berada di mejanya. Ia kembali ke mejanya mencari kesibukan dengan memeriksa barang-barang di atas meja kaca dengan alas tenunan motif bunga warna biru itu. Di belakang meja berdiri lemari jati yang menonjol urat urat kayunya. Di dalamnya berisi buku-buku tebal semacam ensiklopedi atau direktori sejenis dan juga beberapa piala piagam dan piagam yang digantung di leher namanya.
Dinding kanan dari pintu berderet gambar enam orang. Kualitas foto makin ke kiri makin jelek. Paling kanan adalah foto orang yang kini akan menentukan nasibnya.
“Nah sekarang,” suara memecah keheningan “Kau baca surat ini keras keras!”
Map biasa warna coklat disodorkan.Surat pemutusan hubungan studi.
“Bacalah dengan sadar, lalu tandatanganilah.”
Sabtu kemarin ada kunjungan seorang tamu sehingga waktu kembali lowong di meja sang rektor hanya sesaat sebelum kan kantor habis. Tetapi dalam waktu yang begitu singkat masuk selembar pernyataan dan rekomendasi tentang soal yang ujungnya membawa seorang laki laki berambut pelontos masuk dalam ruangannya. Seperti merekam detik demi detik kesempatan terakhir berada di situ laki laki pelontos membaca surat pernyataan itu. Dengan ini saya atas nama Markus dosi nim sekian semester satu jurusan sosial ekonomi pertanian fakultas pertanian dengan nama orang tua Petrus Dosi Naen dengan ini….
“Tunggu! Tunggu! Itu nama orang tuamu?”
 Kembali mahasiswa pelontos hendak kembali membaca tetapi dihentikan oleh sang rektor.
“Betul itu nama orang tua kamu?” Si mahasiswa merasa bahwa apa yang tertulis memang benar karena data di situ adalah data dari awal masuk dan rektor kemungkinan besar memang tidak memeriksanya sebelum ini.
“Nama orang tua kamu Piet Lagame’an?”
Ya. Pak Petrus Dosi Naen yang jelas tanpa kesalahan ejaan manapun.
Pria pelontos tak hendak lagi membaca menikmati keanehan wajah sang rektor ketika memandang ke jendela timur.
“Kamu punya nomornya”
 Pria pelontos terdiam membayangkan alasan baru yang mesti ia cari untuk menjelaskan pemecatan itu pada ayahnya.
“Kamu punya nomornya?”
“Ya, ya! Aku punya”
Pria pelontos seperti sadar ke lepasan bicara.
“Beri aku nomor itu.”
“Hallo ini dengan siapa?” suara dari seberang.
“Ini dengan Umbu. Umbu Datta.”
“Hallo…! Salam hormat Pak Profesor.”
“Hahahah…”
Sambutan yang ramah sekali teman. Pembicaraan telepon berlangsung beberapa menit, sampai pandangan rektor kembali kepada mahasiswa pelontos.
“Begini teman, di sini duduk seseorang bernama Anton Lagame’an. Kamu kenal?”
“Haha,…itu dia anakku!”
“Ya. Dia kini memegang selembar surat pernyataan. Kemarin memang ada sedikit korslet di tempat kesayangan anakmu itu.
“Hahahaha…. Seperti tak pernah muda saja Umbu. Kau kan pernah bilang anakku adalah anakmu juga. Mana itu...”
“Hahahaha dia memang anakku sekarang. Aku sedang ada dengannya di sini.”
Nah karena dia anakmu, perlakukan dia sebagai anak yang baik.”
“Nah kau dengar kan.”

Di luar keadaan memang memanas. Panitia berharap surat itu segera keluar dan wibawa mereka depan pelontos pelontos goblok itu segera kembali terangkat. Harapan mereka sia sia sebab setengah jam kemudian pria pelontos keluar dari ruang rektor tanpa membawa apa-apa. Di dalam ruangan rektorat kertas yang belum lagi ditandatangani itu tergeletak dalam keadaan terbagi empat di kotak sampah aluminium.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: