![]() |
| Gambar: www.goodreads.com |
Tapi ini buku
apa? Novel? Politik? Filsafat? Agak tebal memang, sekitar 400-an halaman (lupa
angka berapa di halaman terbelakangnya).
Coba membaca buku
ini-yang ternyata asalnya dari genre novel klasik- barulah saya tahu kalau si
penyiksa dan pembunuh dalam legenda itu adalah Kaisar Nero. Ini dilakukannya
setelah Roma dibuatnya dilalap api.
Nero memang
rajanya untuk urusan bakar membakar. Hingga kini, anak kuliahan masih sering juga membakar keping compact
disk (CD) dengan menggunakan Nero. Tapi tak hanya itu. Di novel ini, kita tahu
pula bahwa penyiksaan dan pembunuhan oleh Nero dilakukan dengan sejumlah modus.
Antara lain lewat tangan para Gladiator di amphiteater, dengan diumpankan ke binatang
buas yang sudah dibiarkan kelaparan, salib hukuman, dan dijadikan ‘obor hidup’,
yaitu dibakar hidup-hidup di luar tembok kota sebagai penerang malam gelap.
Soal latar,
suasana Roma di abad pertama pun cukup hidup disajikan. Baik seputar takhta
kaisar maupun di jalanan dan amphiteater. Ada suasana latar yang mirip serial
film Spartacus yang penuh gambaran
kekerasan dan kecabulan itu. Juga bagaimana Roma telah jadi kota heterogen di
abad itu, dimana hampir semua suku bangsa Eropa dan sebagian Asia serta Afrika
ada dalam pergaulan sehari-hari. Persoalan ideologi dan kepercayaan pun
bernasib sama. Ada dewa–dewa Yunani, Mesir, maupun Roma sendiri, lengkap dengan
aparat spiritualnya hilir mudik di sana. Ada pula orang Yunani yang penuh seni
dan kebijakasanaan, Roma yang kuat kuasa, dan tak ketinggalan pengaruh Mesir
maupun mistik negeri-negeri timur.
…………….
Sebagai salah
satu peminat seni kata-kata, arwah Nero tentu tidak akan rela kalau dia tidak
jadi tokoh utama di novel ini. Tapi apa boleh buat, begitulah nasibnya di
tangan pengarang. Justru yang dijadikan tokoh utama di novel ini adalah
sepasang Romeo Juliet ciptaan seabad lalu, yaitu Vinicius dan Lygia. Peristiwa
utamanya tentulah pembakaran kota. Tetapi sudah jadi ciri khas untuk membuat
novel menarik, dimana kisah romantik sepasang kekasih sebagai pemanis pun
diciptakan. Dan keduanya lantas dijadikan tokoh sentral dalam novel.
Pemeran utama, Vinicius,
adalah seorang perwira militer yang mengabdi pada Nero. Ia jatuh cinta pada Lygia,
seorang gadis bangsawan asing yang menjadi tawanan Roma dan dititipkan pada
sebuah keluarga Roma. Sayang, keluhuran cinta Licinius mesti dibuat rendah oleh
hawa nafsunya, sesuatu yang khas seputar takhta Roma dimana Vinicius ada di
lingkaran dalam. Hal itu membuat Ligya lari dari Vinicius, orang yang
sebenarnya juga ia cintai dengan sepenuh hati.
Usaha demi
usaha dilakukan oleh Vinicius untuk mendapatkan cintanya. Sementara itu,
atasannya, si Nero yang juga dipuja dan memuja diri bagai dewa, makin tenggelam
dalam mendewakan seni dan juga mendewakan diri sendiri. Demi keindahan sebuah
syair, Nero memerintahkan Roma untuk dibakar.
Pada waktu yang
sama, di Roma mulai berkembang sebuah ajaran baru, ‘tahyul dari Timur’ alias
kekristenan. Roma, terlebih para pemimpinnya, membenci pengikut ajaran baru ini
karena terbersit kabar bahwa ajaran tersebut bisa mengancam takhta
pemerintahan. Apesnya, Ligya yang dipuja oleh Vinicius-yang adalah seorang
aparat Imperium Roma-, ternyata pengikut ajaran ini.
Dengan watak
khas seorang sastrawan, setelah memerintahkan Roma untuk dibakar, Nero lalu membangun
alur sendiri dengan mengarang cerita bahwa pengikut ajaran baru inilah yang
membakar kota. Rakyat maupun takhta pun sepakat menyeret mereka ke dalam
penyiksaaan dan pembunuhan. Lygia, kekasih Vinicius, bersama teman-teman
pengikut ajaran baru ini otomatis berada di bawah ancaman maut. Dan benarlah.
Sebagian besar dari mereka menemui maut jauh sebelum waktu yang seharusnya.
Demi cinta
sucinya, dan dengan menggunakan pengaruhnya dalam pemerintahan maupun keluarga
kaisar, Vinicius akhirnya bisa menyelamatkan kekasihnya, salah satu dari sangat
sedikit orang yang selamat. Akhirnya, keduanya pun diilkat dengan janji
suci pernikahan.
………….
Terbongkar kedoknya
sebagai orang yang membakar kota maupun sebagai pembunuh berdarah dingin, Nero
pun bunuh diri. Tetapi kedudukan pengganti takhta terus berlanjut, dan tak
kalah kejamnya dalam menindas pengikut ajaran baru. Pengikut tinggal sedikit
orang, dan mereka terus ditindas dengan salib Roma, salib hukuman.
Dan di ujung
novel, legenda tua itu pun kembali muncul.
Petrus, si nelayan tua bungkuk yang bersenjatakan
tongkat, bersama Paulus dari Tarsus meninggalkan Roma karena takut disalibkan.
Di luar tembok kota, Petrus terkejut karena menemui pria
yang langsung dikenalnya meski dari jarak yang jauh: Yesus.
“Hendak ke mana, Tuhan?” (Quol Vadis, Domine?) tanya Petrus.
“Ke Kota Roma,” begitu si pria itu menjawab,“hendak disalibkan untuk kedua kalinya,
karena You dan You (sambil menuding Petrus dan Paulus) takut untuk disalibkan”
……………….
Di novel ini,
sejumlah tokoh bisa anda temui. Ada Petrus yang digambarkan secara alami
sebagai manusia biasa, tidak sebagai Santo orang Katolik ataupun Paus pertama.
Juga Paulus dari Tarsus.
Dari seputar
takhta Roma, ada Seneca yang sering disebut-sebut oleh gadis-gadis FISIPOL itu.
Juga nama Brutus dan Caligula pun sering muncul di beberapa bagian.
Jadi, ini bukan
novel biasa, tetapi ada muatan sejarahnya.
Halaman
terakhir novel ini saya tutup esok paginya ditemani segelas teh dan pisang
kepok rebus. Matahari pun menanjak di timur kampung. Siap-siap berangkat lagi.
Sebuah karya
fiksi klasik yang layak anda baca.
