Jumat, 01 Februari 2013

Quo Vadis?


Gambar: www.goodreads.com
One day off Rabu kemarin. Nampang sebentar di kampung nan sejuk. Eh, seorang remaja melintas depan rumah dengan sebuah buku di tangannya. “QUO VADIS?” tertulis di covernya. Tulisan yang langsung mengingatkan pada sebuah legenda tua tentang seorang pemimpin yang ‘lari meninggalkan kota Roma’ ketika para pengikutnya disiksa dan dibunuh.
Tapi ini buku apa? Novel? Politik? Filsafat? Agak tebal memang, sekitar 400-an halaman (lupa angka berapa di halaman terbelakangnya).
Coba membaca buku ini-yang ternyata asalnya dari genre novel klasik- barulah saya tahu kalau si penyiksa dan pembunuh dalam legenda itu adalah Kaisar Nero. Ini dilakukannya setelah Roma dibuatnya dilalap api.
Nero memang rajanya untuk urusan bakar membakar. Hingga kini, anak kuliahan masih sering juga membakar keping compact disk (CD) dengan menggunakan Nero. Tapi tak hanya itu. Di novel ini, kita tahu pula bahwa penyiksaan dan pembunuhan oleh Nero dilakukan dengan sejumlah modus. Antara lain lewat tangan para Gladiator di amphiteater, dengan diumpankan ke binatang buas yang sudah dibiarkan kelaparan, salib hukuman, dan dijadikan ‘obor hidup’, yaitu dibakar hidup-hidup di luar tembok kota sebagai penerang malam gelap.
Soal latar, suasana Roma di abad pertama pun cukup hidup disajikan. Baik seputar takhta kaisar maupun di jalanan dan amphiteater. Ada suasana latar yang mirip serial film Spartacus yang penuh gambaran kekerasan dan kecabulan itu. Juga bagaimana Roma telah jadi kota heterogen di abad itu, dimana hampir semua suku bangsa Eropa dan sebagian Asia serta Afrika ada dalam pergaulan sehari-hari. Persoalan ideologi dan kepercayaan pun bernasib sama. Ada dewa–dewa Yunani, Mesir, maupun Roma sendiri, lengkap dengan aparat spiritualnya hilir mudik di sana. Ada pula orang Yunani yang penuh seni dan kebijakasanaan, Roma yang kuat kuasa, dan tak ketinggalan pengaruh Mesir maupun mistik negeri-negeri timur.
…………….
Sebagai salah satu peminat seni kata-kata, arwah Nero tentu tidak akan rela kalau dia tidak jadi tokoh utama di novel ini. Tapi apa boleh buat, begitulah nasibnya di tangan pengarang. Justru yang dijadikan tokoh utama di novel ini adalah sepasang Romeo Juliet ciptaan seabad lalu, yaitu Vinicius dan Lygia. Peristiwa utamanya tentulah pembakaran kota. Tetapi sudah jadi ciri khas untuk membuat novel menarik, dimana kisah romantik sepasang kekasih sebagai pemanis pun diciptakan. Dan keduanya lantas dijadikan tokoh sentral dalam novel.
Pemeran utama, Vinicius, adalah seorang perwira militer yang mengabdi pada Nero. Ia jatuh cinta pada Lygia, seorang gadis bangsawan asing yang menjadi tawanan Roma dan dititipkan pada sebuah keluarga Roma. Sayang, keluhuran cinta Licinius mesti dibuat rendah oleh hawa nafsunya, sesuatu yang khas seputar takhta Roma dimana Vinicius ada di lingkaran dalam. Hal itu membuat Ligya lari dari Vinicius, orang yang sebenarnya juga ia cintai dengan sepenuh hati.
Usaha demi usaha dilakukan oleh Vinicius untuk mendapatkan cintanya. Sementara itu, atasannya, si Nero yang juga dipuja dan memuja diri bagai dewa, makin tenggelam dalam mendewakan seni dan juga mendewakan diri sendiri. Demi keindahan sebuah syair, Nero memerintahkan Roma untuk dibakar.
Pada waktu yang sama, di Roma mulai berkembang sebuah ajaran baru, ‘tahyul dari Timur’ alias kekristenan. Roma, terlebih para pemimpinnya, membenci pengikut ajaran baru ini karena terbersit kabar bahwa ajaran tersebut bisa mengancam takhta pemerintahan. Apesnya, Ligya yang dipuja oleh Vinicius-yang adalah seorang aparat Imperium Roma-, ternyata pengikut ajaran ini.
Dengan watak khas seorang sastrawan, setelah memerintahkan Roma untuk dibakar, Nero lalu membangun alur sendiri dengan mengarang cerita bahwa pengikut ajaran baru inilah yang membakar kota. Rakyat maupun takhta pun sepakat menyeret mereka ke dalam penyiksaaan dan pembunuhan. Lygia, kekasih Vinicius, bersama teman-teman pengikut ajaran baru ini otomatis berada di bawah ancaman maut. Dan benarlah. Sebagian besar dari mereka menemui maut jauh sebelum waktu yang seharusnya.
Demi cinta sucinya, dan dengan menggunakan pengaruhnya dalam pemerintahan maupun keluarga kaisar, Vinicius akhirnya bisa menyelamatkan kekasihnya, salah satu dari sangat sedikit orang yang selamat. Akhirnya, keduanya pun diilkat dengan janji suci  pernikahan.
………….
Terbongkar kedoknya sebagai orang yang membakar kota maupun sebagai pembunuh berdarah dingin, Nero pun bunuh diri. Tetapi kedudukan pengganti takhta terus berlanjut, dan tak kalah kejamnya dalam menindas pengikut ajaran baru. Pengikut tinggal sedikit orang, dan mereka terus ditindas dengan salib Roma, salib hukuman.
Dan di ujung novel, legenda tua itu pun kembali muncul.
Petrus, si nelayan tua bungkuk yang bersenjatakan tongkat, bersama Paulus dari Tarsus meninggalkan Roma karena takut disalibkan.
Di luar tembok kota, Petrus terkejut karena menemui pria yang langsung dikenalnya meski dari jarak yang jauh: Yesus.
“Hendak ke mana, Tuhan?” (Quol Vadis, Domine?) tanya Petrus.
“Ke Kota Roma,” begitu si pria itu menjawab,“hendak disalibkan untuk kedua kalinya, karena You dan You (sambil menuding Petrus dan Paulus) takut untuk disalibkan”
……………….
Di novel ini, sejumlah tokoh bisa anda temui. Ada Petrus yang digambarkan secara alami sebagai manusia biasa, tidak sebagai Santo orang Katolik ataupun Paus pertama. Juga Paulus dari Tarsus.
Dari seputar takhta Roma, ada Seneca yang sering disebut-sebut oleh gadis-gadis FISIPOL itu. Juga nama Brutus dan Caligula pun sering muncul di beberapa bagian.
Jadi, ini bukan novel biasa, tetapi ada muatan sejarahnya.
Halaman terakhir novel ini saya tutup esok paginya ditemani segelas teh dan pisang kepok rebus. Matahari pun menanjak di timur kampung. Siap-siap berangkat lagi.
Sebuah karya fiksi klasik yang layak anda baca.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: