![]() |
Gambar: cahyonove.blogspot.com |
Masih jelas teringat ke tahun 1995, SD Inpres
Lamawolo punya satu koperasi sekolah. Satu hal yang membuat kami terkagum-kagum
pada saat itu adalah bahwa barang yang dijual di sana benar-benar murah, lebih
murah daripada harga di pasar Waiwadan sekalipun. Padahal, kami sekalian
tahu bahwa kios-kios di sekitar biasanya menjual barang lebih
mahal daripada harga pasar terdekat.
Sebagai siswa, kami tentu tidak tahu banyak tentang bentuk
koperasi itu, tentang apa dan bagaimana ia beroperasi. Tetapi kami benar-benar
tahu manifestasinya. Harga barang kebutuhan kami yang dijual di sana benar
benar dibuat murah. Kami mengenal baik ballpoint yang dijual murah di sana.
Juga buku-buku, penghapus, mistar, dan lainnya. Tetapi karena kami masih di
usia kanak-kanak, koperasi bersangkutan masih
hanya dikelola oleh salah seorang guru.
Keberadaan koperasi semacam itu tidak saya temui lagi
semasa SMP dan SMA. Hanya ketika menjejak ke sekolah tinggi, saya temui lagi
koperasi mahasiswa alias KOPMA. KOPMA memang cukup membantu juga, dimana para
pelajar bisa meminjam dana apabila kiriman uang dari kampung terlambat.
Bagaimana dengan koperasi belakangan ini? Keberadaan
wadah yang punya misi mulia ini kadang punya kesan negatif di mata masyarakat. Tersebutlah
misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) yang sering diplesetkan menjadi Keuntungan
Untuk Dorang, alias keuntungan untuk pengurus. Dengan datangnya koperasi dari
jenis seperti ini
pun justru memperpanjang jalur
niaga sehingga biaya operasionalnya malah menjadi-jadi dan merugikan petani.
Padahal, tercatat petani sebagai anggotanya. Merekalah yang mestinya diuntungkan.
Koperasi kini pun banyak berupa credit union yang
melayani simpan pinjam dana. Lalu, banyak cerita sukses koperasi produksi yang
tenggelam semisal koperasi petani teripang di kota Kupang yang berhasil membuat
keuntungan dengan menghimpun teripang dalam jumlah besar dari petani teripang
dan menjualnya dengan harga yang tinggi langsung kepada konsumen.