![]() |
Gambar: www.pinterest.com |
Ada sebuah pandangan miring dari sementara kalangan terdidik
yang digambarkan dalam anekdot yang kita sebut saja berjudul ‘Pisang Kepok dan
Kelapa Tua’
……………
Tersebutlah tiga wanita, Ema
Barek, Ina Kewa dan Mbak Nonik. Ema Barek ke pasar, jualan pisang kepok. Ina Kewa
juga ke pasar, jualan kelapa tua. Mbak Nonik pun sempat terlihat di pasar itu.
Sorenya, setelah jualan mereka
laku semuanya, Ema Barek dan Ina Kewa belanja pisang goreng di lapak Mbak Nonik
untuk oleh-oleh pulang rumah.
…………..
Sebenarnya, setelah melewati beberapa tangan, pisang goreng
yang dibeli Ema Barek dan Ina Kewa asalnya dari kelapa dan pisang yang mereka
jual tadi pagi. Lantas, anekdot ini kadang dipandang memberi justifikasi atas kemalasan
Ema Barek dan Ina Kewa semata, karena sesungguhnya mereka dapat membuat sendiri
pisang goreng tersebut.
Entah justifikasi atau cap ‘kemalasan’ ini asal muasalnya
darimana, banyak yang meyakini hal tersebut sebagai kebenaran. Padahal, prinsip
ekonomi yang efisien mau tak mau harus memiliki mekanisme sedemikian.
Apa pasal? Karena justru mekanisme seperti itulah cara
produksi nilai yang paling murah. Sebab cara yang paling murah dan efisien untuk menghasilkan
pisang goreng sudah dikuasai
oleh Mbak Nonik. Sementara cara paling murah dan efisien untuk menyediakan
pisang kepok dan kelapa tua dikuasai oleh Ina Kewa dan Ema Barek. Dengan peran
masing-masing pelaku, sebuah kegiatan ekonomi berlangsung dalam cara yang
paling efisien.
Bayangkan jika Ina Kewa dan Ema Barek, melalui sebuah
intervensi dari luar, diharuskan untuk membuat sendiri pisang goreng tersebut.
Maka sebuah kegiatan ekonomi berbiaya tinggi akan berlangsung.
Dengar saja kutipan dari teori tangan tak terlihat
(invisible hand). Teori yang tentu hanya dipelajari di subyek ekonomi atau
jurusan sejenis ini sudah ditulis di ratusan buku dan jurnal yang mungkin tak habis dibaca
setahun penuh. Tetapi ada parabel kecil tentang teori ini yang sempat penulis
baca di sebuah esai Leonard Read (1898-1983) berjudul ‘Aku, Pensil‘.
Di sana tertulis tentang bagaimana sebuah benda kecil
yang juga penulis pakai untuk menulis ini: pensil, dibuat. Bayangkan, untuk
sebuah pensil di tangan anda, nyatanya dikerjakan oleh ribuan tangan, baik
tangan manusia maupun dengan bantuan mesin-mesin. Setelah melewati tangan orang-orang
yang bahkan tak saling kenal satu sama lain itu, dihasilkanlah sebuah pensil
yang harganya begitu murah.
Bayangkan jika seseorang bersikeras menginginkan bahwa
pensil ini dikerjakan olehnya seorang diri. Ia mencari sendiri bahan mentahnya,
membelah sendiri kayu-kayunya, menggali sendiri grafitnya
(karbon hitam sebagai pengis pensil)
dari tambang, meraut sendiri batang kayu itu dan mengisi grafitnya, hingga
mengecat dan memberi label pada pensil yang barusan dibuatnya. Maka sebatang pensil tersebut harganya akan terlalu
mahal menilik biaya produksinya. Harga jualnya pun jauh meroket jika dibandingkan dengan harga pensil itu di
kios tepi jalan.
Begitu juga dengan pisang goreng tadi. Membandingkan dengan
kisah si pensil, jika kegiatan membuat pisang goreng itu dilakukan sendiri-sendiri
oleh Ina Kewa dan Ema Barek di rumah mereka masing-masing, maka harga pisang goreng
yang mereka hasilkan akan terlalu mahal. Alasannya, coba hitung ongkos produksi
kalau mereka harus menanam kelapa dan pisang sendiri, memetik sendiri kelapa
itu, membuat minyak kelapa sendiri, mempelajari sendiri resep ‘pisang goreng
enak lezat’, membuat sendiri tepung dari gandum yang mereka tanam sendiri, membuat adonan terigu sendiri, hingga menggoreng sendiri, maka
harga satu potong pisang goreng, yang adalah akumulasi dari semua pengeluaran di
atas ditambah untung yang diinginkan,
tak akan cuma seribu perak. Mungkin dua hingga puluhan kali lebih mahal.
Memang, anekdot ini barangkali bertujuan mendorong semangat
wirausaha di kalangan masyarakat. Tetapi begitulah yang harus dilakukan oleh
seorang petani dengan profesi kecil mereka. Sebagai petani, mereka tetap berjiwa
petani dan turut menyumbang produksi komoditas dalam portofolio ekspor. Dan di Adonara,
para wanita
dari keluarga petani yang
biasanya berjualan hasil tani di pasar-pasar. Sementara kegiatan wirausaha nyatanya
sudah dan sedang dilakukan oleh para wirausahawan, bukan oleh para petani ini. Jadi, kampanye
wirausaha yang menyasar petani adalah sebuah kegiatan yang salah alamat dan
terlalu dipaksakan.
Di sini, yang biasanya bergelut dengan aktivitas
wirausaha adalah saudara-saudara kita para pekerja migran seperti Mbak Nonik.
Mereka bermigrasi dari tempat lahir mereka, (migrasi bahkan bukan cuma ciri manusia,
tapi juga ciri makhluk yang lebih rendah tingkatannya) ke tanah kelahiran kita
untuk mencari nafkah. Bukankah mereka juga telah tercatat sebagai warga
setempat, ikut membayar pajak, dan beberapa darinya mempekerjakan tenaga kerja
lokal? Bukankah mereka juga ikut menyumbang pergerakan ekonomi dengan membeli
pisang dari Ina Kewa dan Ema Barek?
Terkait wirausaha, pihak ini yang mesti didorong,
termasuk juga beberapa ‘pribumi’ yang memiliki jiwa serupa. Bukannya malah
mendikte petani dengan satu dua tips wirahusaha kilat dalam program yang hanya spektakuler jika diperdengarkan.
Jika Ema Barek dan Ina Kewa tadi mendadak dicabut dari kalangan petani untuk
dijadikan wirausahawan, mereka akan segera menjadi tidak cocok dengan profesi baru
tersebut.
Nyatanya, tenaga kerja migran asal daerah kita pun tak
kurang juga yang sukses di negeri orang. Seorang teman pernah cerita tentang
seorang tenaga kerja migran dari Solor di Malaysia yang menjual sayur. Ia bahkan
punya mobil sendiri untuk membantu berjualan. Sementara para ‘anak tanah’, -frase
yang rada megalo dan xenofob- di negeri sendiri memang telah mapan dengan
menjadi petani. Tentunya, ada kenyataan miris di depan mata terkait
perlindungan terhadap harga komoditi yang belum terjamin, serta jaminan
keamanan berinvestasi di bidang ini pun masih minim. Ini tantangan besar bagi
pembuat kebijakan.
Yang pasti, pelajaran yang bisa
dipetik adalah bahwa jenis kegiatan
yang terkonsentrasi ke pelaku tertentu adalah cara yang paling efisien untuk aktivitas ekonomi. Tetapi mengapa masyarakat Adonara justru mengadopsi ekstensifikasi dengan
menganekaragamkan tanaman pertanian mereka: petani kelapa, cengkeh, kemiri, kopi dll yang
jenisnya beranekaragam?
Alasannya adalah untuk alternatif berjaga-jaga. Kalau ada panen jenis tanaman tertentu gagal, masih ada harapan untuk komoditi lain. (Jika undang-undang pertanian yang akan berlaku nanti menerapkan asuransi petani, maka penenaman satu jenis komoditi bukan lagi hal yang mustahil, karena kegagalan panen akan ditanggung oleh perusahan asuransi).
Satu alasan lainnya adalah untuk mencegah penumpukkan beban kerja pada saat panen. Untuk komoditi sejenis yang musim panennya ada di satu musim, beban kerja akan sangat berat bagi keluarga petani. Bandingkan dengan penganekaragaman tanaman, beban kerja menjadi lebih ringan karena tersebar di musim-musim panen yang berbeda. Begitulah, kegiatan bertani kita memang masih berlangsung dalam skala rumah tangga sehingga belum berdaya megnatasi persoalan tenaga kerja. Ke depannya, akan lebih mudah apabila kegiatan pertanian beranjak ke skala usaha.
Alasannya adalah untuk alternatif berjaga-jaga. Kalau ada panen jenis tanaman tertentu gagal, masih ada harapan untuk komoditi lain. (Jika undang-undang pertanian yang akan berlaku nanti menerapkan asuransi petani, maka penenaman satu jenis komoditi bukan lagi hal yang mustahil, karena kegagalan panen akan ditanggung oleh perusahan asuransi).
Satu alasan lainnya adalah untuk mencegah penumpukkan beban kerja pada saat panen. Untuk komoditi sejenis yang musim panennya ada di satu musim, beban kerja akan sangat berat bagi keluarga petani. Bandingkan dengan penganekaragaman tanaman, beban kerja menjadi lebih ringan karena tersebar di musim-musim panen yang berbeda. Begitulah, kegiatan bertani kita memang masih berlangsung dalam skala rumah tangga sehingga belum berdaya megnatasi persoalan tenaga kerja. Ke depannya, akan lebih mudah apabila kegiatan pertanian beranjak ke skala usaha.