Senin, 21 Oktober 2013

Pisang Kepok dan Kelapa Tua

Gambar: www.pinterest.com

Ada sebuah pandangan miring dari sementara kalangan terdidik yang digambarkan dalam anekdot yang kita sebut saja berjudul ‘Pisang Kepok dan Kelapa Tua’
……………
Tersebutlah tiga wanita, Ema Barek, Ina Kewa dan Mbak Nonik. Ema Barek ke pasar, jualan pisang kepok. Ina Kewa juga ke pasar, jualan kelapa tua. Mbak Nonik pun sempat terlihat di pasar itu.
Sorenya, setelah jualan mereka laku semuanya, Ema Barek dan Ina Kewa belanja pisang goreng di lapak Mbak Nonik untuk oleh-oleh pulang rumah.
…………..
Sebenarnya, setelah melewati beberapa tangan, pisang goreng yang dibeli Ema Barek dan Ina Kewa asalnya dari kelapa dan pisang yang mereka jual tadi pagi. Lantas, anekdot ini kadang dipandang memberi justifikasi atas kemalasan Ema Barek dan Ina Kewa semata, karena sesungguhnya mereka dapat membuat sendiri pisang goreng tersebut.
Tapi, betulkah? Dan untuk membuat sendiri pisang goreng itu:  perlukah?
Entah justifikasi atau cap ‘kemalasan’ ini asal muasalnya darimana, banyak yang meyakini hal tersebut sebagai kebenaran. Padahal, prinsip ekonomi yang efisien mau tak mau harus memiliki mekanisme sedemikian.
Apa pasal? Karena justru mekanisme seperti itulah cara produksi nilai yang paling murah. Sebab cara yang paling murah dan efisien untuk menghasilkan pisang goreng sudah dikuasai oleh Mbak Nonik. Sementara cara paling murah dan efisien untuk menyediakan pisang kepok dan kelapa tua dikuasai oleh Ina Kewa dan Ema Barek. Dengan peran masing-masing pelaku, sebuah kegiatan ekonomi berlangsung dalam cara yang paling efisien.
Bayangkan jika Ina Kewa dan Ema Barek, melalui sebuah intervensi dari luar, diharuskan untuk membuat sendiri pisang goreng tersebut. Maka sebuah kegiatan ekonomi berbiaya tinggi akan berlangsung.
Dengar saja kutipan dari teori tangan tak terlihat (invisible hand). Teori yang tentu hanya dipelajari di subyek ekonomi atau jurusan sejenis ini sudah ditulis di ratusan buku dan jurnal yang mungkin tak habis dibaca setahun penuh. Tetapi ada parabel kecil tentang teori ini yang sempat penulis baca di sebuah esai Leonard Read (1898-1983) berjudul ‘Aku, Pensil‘.
Di sana tertulis tentang bagaimana sebuah benda kecil yang juga penulis pakai untuk menulis ini: pensil, dibuat. Bayangkan, untuk sebuah pensil di tangan anda, nyatanya dikerjakan oleh ribuan tangan, baik tangan manusia maupun dengan bantuan mesin-mesin. Setelah melewati tangan orang-orang yang bahkan tak saling kenal satu sama lain itu, dihasilkanlah sebuah pensil yang harganya begitu murah.
Bayangkan jika seseorang bersikeras menginginkan bahwa pensil ini dikerjakan olehnya seorang diri. Ia mencari sendiri bahan mentahnya, membelah sendiri kayu-kayunya, menggali sendiri grafitnya (karbon hitam sebagai pengis pensil) dari tambang, meraut sendiri batang kayu itu dan mengisi grafitnya, hingga mengecat dan memberi label pada pensil yang barusan dibuatnya. Maka sebatang pensil tersebut harganya akan terlalu mahal menilik biaya produksinya. Harga jualnya pun jauh meroket jika dibandingkan dengan harga pensil itu di kios tepi jalan.
Begitu juga dengan pisang goreng tadi. Membandingkan dengan kisah si pensil, jika kegiatan membuat pisang goreng itu dilakukan sendiri-sendiri oleh Ina Kewa dan Ema Barek di rumah mereka masing-masing, maka harga pisang goreng yang mereka hasilkan akan terlalu mahal. Alasannya, coba hitung ongkos produksi kalau mereka harus menanam kelapa dan pisang sendiri, memetik sendiri kelapa itu, membuat minyak kelapa sendiri, mempelajari sendiri resep ‘pisang goreng enak lezat’, membuat sendiri tepung dari gandum yang mereka tanam sendiri, membuat adonan terigu sendiri, hingga menggoreng sendiri, maka harga satu potong pisang goreng, yang adalah akumulasi dari semua pengeluaran di atas ditambah untung yang diinginkan, tak akan cuma seribu perak. Mungkin dua hingga puluhan kali lebih mahal.
Memang, anekdot ini barangkali bertujuan mendorong semangat wirausaha di kalangan masyarakat. Tetapi begitulah yang harus dilakukan oleh seorang petani dengan profesi kecil mereka. Sebagai petani, mereka tetap berjiwa petani dan turut menyumbang produksi komoditas dalam portofolio ekspor. Dan di Adonara, para wanita dari keluarga petani yang biasanya berjualan hasil tani di pasar-pasar. Sementara kegiatan wirausaha nyatanya sudah dan sedang dilakukan oleh para wirausahawan, bukan oleh para petani ini. Jadi,  kampanye wirausaha yang menyasar petani adalah sebuah kegiatan yang salah alamat dan terlalu dipaksakan.
Di sini, yang biasanya bergelut dengan aktivitas wirausaha adalah saudara-saudara kita para pekerja migran seperti Mbak Nonik. Mereka bermigrasi dari tempat lahir mereka, (migrasi bahkan bukan cuma ciri manusia, tapi juga ciri makhluk yang lebih rendah tingkatannya) ke tanah kelahiran kita untuk mencari nafkah. Bukankah mereka juga telah tercatat sebagai warga setempat, ikut membayar pajak, dan beberapa darinya mempekerjakan tenaga kerja lokal? Bukankah mereka juga ikut menyumbang pergerakan ekonomi dengan membeli pisang dari Ina Kewa dan Ema Barek?
Terkait wirausaha, pihak ini yang mesti didorong, termasuk juga beberapa ‘pribumi’ yang memiliki jiwa serupa. Bukannya malah mendikte petani dengan satu dua tips wirahusaha kilat dalam program yang hanya spektakuler jika diperdengarkan. Jika Ema Barek dan Ina Kewa tadi mendadak dicabut dari kalangan petani untuk dijadikan wirausahawan, mereka akan segera menjadi tidak cocok dengan profesi baru tersebut.
Nyatanya, tenaga kerja migran asal daerah kita pun tak kurang juga yang sukses di negeri orang. Seorang teman pernah cerita tentang seorang tenaga kerja migran dari Solor di Malaysia yang menjual sayur. Ia bahkan punya mobil sendiri untuk membantu berjualan. Sementara para ‘anak tanah’, -frase yang rada megalo dan xenofob- di negeri sendiri memang telah mapan dengan menjadi petani. Tentunya, ada kenyataan miris di depan mata terkait perlindungan terhadap harga komoditi yang belum terjamin, serta jaminan keamanan berinvestasi di bidang ini pun masih minim. Ini tantangan besar bagi pembuat kebijakan.
Yang pasti, pelajaran yang bisa dipetik adalah bahwa jenis kegiatan yang terkonsentrasi ke pelaku tertentu adalah cara yang paling efisien untuk aktivitas ekonomi. Tetapi mengapa masyarakat Adonara justru mengadopsi ekstensifikasi dengan menganekaragamkan tanaman pertanian mereka: petani kelapa, cengkeh, kemiri, kopi dll yang jenisnya beranekaragam? 
Alasannya adalah untuk alternatif berjaga-jaga. Kalau ada panen jenis tanaman tertentu gagal, masih ada harapan untuk komoditi lain. (Jika undang-undang pertanian yang akan berlaku nanti menerapkan asuransi petani, maka penenaman satu jenis komoditi bukan lagi hal yang mustahil, karena kegagalan panen akan ditanggung oleh perusahan asuransi).
Satu alasan lainnya adalah untuk mencegah penumpukkan beban kerja pada saat panen. Untuk komoditi sejenis yang musim panennya ada di satu musim, beban kerja akan sangat berat bagi keluarga petani. Bandingkan dengan  penganekaragaman tanaman, beban kerja menjadi lebih ringan karena tersebar di musim-musim panen yang berbeda. Begitulah, kegiatan bertani kita memang masih berlangsung dalam skala rumah tangga sehingga belum berdaya megnatasi persoalan tenaga kerja. Ke depannya, akan lebih mudah apabila kegiatan pertanian beranjak ke skala usaha.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: