Senin, 29 Agustus 2011

Legenda “Hua Lo Puu” di antara penduduk Lamalewa


Legenda “Hua Lo Puu” adalah sebuah legenda yang hidup di Maluku. Banyak yang tahu itu, apalagi sejak terbitnya buku karangan Dr. Murti Bunanta yang ikut mempopulerkan legenda tersebut. Sementara itu, Lamalewa adalah sebuah kampung kecil di pedalaman Adonara. Sebagian besar orang Adonara pun bahkan tidak tahu di mana letak kampung ini.
Lantas, apa ada hubungannya sehingga bisa sama-sama disandingkan dalam judul?
Ada. Karena legenda “Hua Lo Puu” hidup juga di Lamalewa, Adonara.
Masa?
Memang, legenda ini dituturkan pula oleh orang tua di Lamalewa kepada anak-anak mereka. Dan bukan hanya itu. Anak laki-laki, yang 'ditetapkan' sebagai penerus suku dalam sistim perkawinan patrilineal dari keempat suku di Lamalewa mempunyai pantangan yang berhubungan langsung dengan legenda ini. Mereka, termasuk juga penulis, dilarang bersentuhan dengan burung yang tertangkap. Menyantap daging unggas liar pun sama sekali dilarang. Peraturan adat larangan ini berlaku hingga kini.
Andai saja oleh Guru sejarah di SD INPRES Lamawolo tidak mewajibkan kami untuk mengusut asal-usul kampung kami, barangkali saya terlambat mendengar penuturan tentang legenda ini. Narasumber informasi kami cari yang kami anggap paling tahu, yaitu orang tertua pada waktu itu. Menyelesaikan tugas ini, kami berkelompok (Oldos, Vitus, Dami, Simpet) memburu informasi dan tanpa diduga menemukannya.
Salah satu pertanyaan kami: “mengapa anak laki-laki di kampung ini dilarang menyantap burung liar?"
Memang, kultur kehidupan subsinsten berupa berburu dan meramu masih cukup kental di kampung terasa tidak cocok dengan larangan tersebut. Desa kami cukup subur, dan kami sebagai anak-anak Lamalewa adalah sekian dari ‘pemburu ulet’ pada masa kanak-kanak. Sejumlah orangtua bahkan sangat gemar berburu binatang liar.
“Karena pada jaman dulu, ada seorang anak kecil yang dirawat oleh burung-burung liar…." jawab narasumber kami.
Awalnya cukup sampai di situ. Tetapi belakangan, ketika ada akses ke dunia ilmu pengetahuan dan informasi yang begitu terbuka, tidak cukup sulit untuk membuat kesimpulan, bahwa penuturan ini adalah inti dari legenda “Hua Lo Puu”.
Tentang pantangan memakan daging burung liar di masyarakat dengan tradisi berburu, bisa kita simak di buku “Totem and Taboo”, yang ringkasnya ada di "Musa dan Monotheisme" karya psikoanalis besar kita Sigmund Freud. Kabarnya, ia bersandar juga pada tesis-tesis Darwin. Ini teruji ilmiah.
Sementara dari diskusi kecil tematik bersama teman-teman saya di Angkatan Muda Adonara, mereka merujuk istilah 'penyelamatan' dengan referensi yang belum saya ketahui. Saya sendiri masih cukup percaya dengan pendapat saya dengan istilah 'tanda' kesatuan kelompok. Menurut saya, dengan adanya peraturan pantangan dibalut legenda, maka identitas kelompok, misalnya suku, akan lebih terasa. Tentu ini pendapat awam pribadi, jadi tidak ilmiah hehehehe. Selamat berpendapat.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: