Senin, 23 April 2012

JEMBATAN KAYU DI DEMONDEI



Di atap bus kayu

Ada acara sambut baru di Demondei, Adonara, pada 2002 lalu. Masih sekolah menengah di Larantuka, nama saya disisipkan dalam daftar orang-orang yang mesti hadir di sana. Bukan undangan lho, tapi sebagai pekerja untuk mengurusi dekorasi tempat acara itu. Saya lalu diongkosi oleh yang punya urusan. Biasa, soal transportasinya.
Nama kampung Demondei tentu pernah saya dengar, tetapi saya belum pernah berada di sana sebelumnya. Pas hari H nya tiba, saya dan seorang teman lain bergabung dengan rombongan keluarga  yang hendak berangkat. Itu selepas sekolah, Sabtu siang.
Hari itu adalah hari pasar di Waiwadan, dan pada jam-jam itu, orang bergegas kembali ke kampung masing-masing. Mereka berkumpul di ujung lorong dengan barang bawaan mereka, barang belanjaan untuk keperluan barangkali selama seminggu itu. Setiap hari Sabtu, para penduduk dari pedesaan yang sebagian besarnya petani memadati pasar Waiwadan untuk menjual hasil bumi mereka, dan pulang kembali ke kampung setelah membelanjakan sebagian uang mereka.
Kami sudah ada di sana, di antara orang-orang ini, dan menunggu kendaraan yang menuju tempat tujuan kami. Dari sana, kami menumpang bus kayu, yaitu truk  yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang  ke pedesaan.
Seperti para remaja lain, saya dan teman mengambil tempat di atap kendaraan. Cara ini biasa kami lakukan jika hendak menumpang kendaraan itu ke desa-desa. Sebelumnya, saya pun pernah menumpang kendaraan ini ke desa di sekitar Bukit Seburi. Ada pertandingan bola di sana yang ingin kami tonton, dan kami menempuh alternatif untuk berangkat dengan kendaraan ketimbang jalan kaki naik-turun bukit. Itu satu atau dua tahun sebelumnya.
Kini, sekitar lima hingga enam remaja ada di atap bus kayu itu. Atap ini terbuat dari lembaran pelat logam lebar, daun pelat logam ini dilas pada penyangganya yang bersilangan di bawahnya sebagai rangka, sehingga cukup kuat untuk menopang beban dari puluhan orang sekaligus.
Di tepi jalan, banyak pepohonan yang cabang-cabang dan daun-daunnya merintang. Setiap orang tahu caranya untuk menghindar bahaya tersangkut pada reranting itu dengan merapatkan badan ke atap truk yang melaju.
"Yang di atap segera turun,” begitu perintah sopir ketika hendak melewati Polsek. Semua mengerti, mengamankan diri dari pemeriksaan petugas yang tak ampun menindak penumpang yang menantang bahaya dengan berjejal di atap bus. Setelah lewat lokasi Polsek, semuanya naik lagi ke atap (pembaca harap jangan meniru hal ini).

Jalan Pengerasan
Jalan sepanjang ibukota hingga ke kampung-kampung bukan dibangun dalam satu paket proyek. Setiap ruas jalan adalah hasil dari sejumlah paket kerja yang berlainan. Satu dua kilometer pertama adalah jalan propinsi, itu masih aspal licin. Selanjutnya, juga masih aspal, lalu jalan batu, yang disebut pengerasan.
Batu-batu seukuran sekitar sebesar kepala yang ditanam di tanah sepanjang jalan adalah defenisi kita untuk jalan pengerasan ini. Sebelum jalan aspal menyentuh desa-desa, jalan pengerasan adalah cara untuk membuat kendaraan roda dua dan roda empat bisa melewatinya sepanjang musim. Sementara itu, jalan tanah akan begitu sulit dilalui, terutama di musim hujan.
Selepas desa Danibao, barulah kami tahu bahwa ternyata letak kampung Demondei menghadap ke arah selatan. Di depan sana terdapat pulau Solor, berbeda dengan kampung sebelumnya yang menghadap ke utara, di mana di sana akan tampak pulau Flores. Jika dibayangkan bahwa pulau ini berbentuk gunung, maka kita telah melewati titik tertinggi di pulau ini menuju lereng di sebelahnya.

Komposisi penduduk yang berbeda.
Tiba di kampung itu, kami menyadari bahwa kampung itu cukup ramai.
"Yah, di sini penduduk usaia muda cukup banyak." kata salah seorang tuan pesta kami, yang memang bekerja sebagai guru dan tinggal di kampung ini.
"Di kampung-kampung asal kita, jumlah kepala keluarga lebih  banyak. Tetapi di sini, jumlah kepala keluarganya sedikit dengan jumlah penduduknya yang banyak." Katanya lagi. Dengan begitu berarti bahwa jumlah masing-masing anggota keluarga di situ didominasi oleh anak-anak. Kualitas layanan kesehatan yang meningkat  barangkali telah sukses menekan angka kematian anak-anak yang berpengaruh besar pada perubahan komposisi penduduknya. Satu sekolah dasar pun telah dibangun di kampung itu untuk pendidikan anak-anak tersebut.

Jembatan kayu.
Setelah kampung Demondei, masih ada satu kampung kecil, semacam kampung satelitnya Demondei. Kampung ini kurang dari sepuluh bangunan rumah, letaknya lebih ke selatan, yang berarti lebih rendah letaknya dari Demondei. Perjalanan ke sana menurun, dengan jalan  tanah.
Di antara kedua kampung ini, telah dipasang sebuah jembatan kayu pada sebuah selokan besar, jalur banjir. Entah apa struktur bangunan ini cukup kuat, tapi yang pasti, kendaraan bus kayu bisa melewati jembatan ini.
Saya dan teman saya sebagai orang yang belum pernah melihat menjadi kagum memikirkan bagaimana truk bisa melewati jembatan kayu ini. Bekas-bekas ban truk memang tampak di dua sisi jembatan kayu itu yang menandakan bahwa jembatan ini sering dilalui kendaraan. Melihat kualitas bangunan ini, pastilah dikerjakan dengan swadaya masyarakat desa.

Terus ke selatan
Kami menyadari, bahwa setelah selesai urusan ini, kami harus secepatnya pulang. Jadi, segala tetak bengek urusan kami di acara itu kami bereskan pada malam hari, dan Minggu paginya, kami siap berangkat. Cukup menyesal juga bahwa kami tidak ikut di hari bahagia itu bersama mereka yang merayakan, tetapi ada hal yang lebih penting bahwa hari Senin besok kami harus ada di kelas sekolah menengah dan tentu segala sesuatunya harus disiapkan pada hari sebelumnya, hari ini.
"Berapa kilometer  jarak jalan dari sini ke selatan?" tanya kami.
Sebuah angka dijawab oleh para tuan  pesta.
Saya dan teman saya lantas berpandangan.
"Itu tak begitu jauh", kata saya menyadari bahwa jarak ke sana bisa ditempuh kurang dari dua jam berjalan kaki. Berdasarkan pengalaman, jarak sejauh ini biasa kami tempuh dari kampung  kami ke kota kecamatan, di mana di sana terdapat satu-satunya SMP Negeri sekecamatan, almamater kami.
"Kami akan menyusuri jalan ini ke arah selatan," begitu kata saya, “hingga kami menemui jalan aspal”.
Memang, di arah selatan dari kampung ini terdapat jalan aspal yang merupakan jalan yang melingkari pulau Adonara. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari pantai. Dari sana kami akan menggunakan jasa ojek menuju pelabuhan terdekat yang ada jadwal perahunya ke Larantuka. Tuan pesta, juga peserta rombongan kami yang lain, para orang-orang tua itu menyetujuinya.
"Soal jalan ke selatan, apa ada cabangnya?" tanya kami lagi, memastikan bahwa tidak ada persimpangan jalan yang akan membingungkan dan bisa membuat kami tersesat.
"Tidak. Ikutlah saja jalan setapak yang cukup besar ini jika ada jalan setapak yang lebih kecil, itu bukan jalan kalian." Jawab salah satu dari mereka.
Kami lalu mengerti dan siap berangkat.

Pembangunan akses jalan.
Entah sengaja atau tidak, warga desa tampaknya menyadari bahwa akses jalan desa menuju jalan beraspal cukup penting untuk kemajuan mereka. Ini tampak dari kegiatan pembukaan jalan swadaya yang menjadi pokok perhatian pemerintah desa setempat.
Terbukti sepanjang penjalanan kami, terlihat bagaimana mereka membuka jalan di salah satu ruas. Di ruas jalan yang sulit itu, yang berupa tebing-tebing, mereka membelah tanah itu dengan arah melintang untuk jalur jalan kendaraan. Ruas jalan di desa itu ke Mewet tampak ditangani secara swadaya dengan menggunakan tanaga manusia, tanpa  bantuan alat-alat berat. Mereka menggali di kaki tebing, meratakan tanah untuk dilalui kendaraan nantinya.

Masih banyak daerah hutan.
Dibandingkan dengan desa asal saya, tampaknya bahwa daerah hutan di tempat ini masih lebih luas. Akibat  bagusnya adalah bahwa masih ada sumber air yang melimpah yang mengalir deras dari desa ini dan mengalir menuju ke Mewet.
Di Mewet, air tersebut dimanfaatkan untuk menanam sayur-sayuran. Ada lahan luas untuk menanam sayur-sayuran ini di sebelah utara desa, sebelum masuk kampung jika kita berjalan dari arah Demondei.
Kabarnya pula, penduduk Mewet pun sebenarnya berasal dari Demondei. Pada jaman pemerintahan jauh sebelumnya, mereka diperintahkan untuk berpindah ke Demondei karena alasan tertentu, tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan di Demondei dengan alasan merewat tanaman  di kebun mereka di sana.

Terperdaya
Meski tak banyak tahu tentang lokasi tempat-tempat di sekitar sini, sayangnya kami tak banyak bertanya sebelum berangkat tadi. Begitu tiba di Mewet, barulah kami kebingungan. Berdiri di ujung jalan tanah, kami harus memutuskan untuk menuju ke arah kiri atau kanan di jalan beraspal itu. Ke kiri, sejauh yang kami tahu, kami menuju Waiwerang, sementara ke kanan, kami akan menuju Tobilota.
Beberapa anak laki-laki di situ tampaknya bisa ditanyai. "coba beritahu ke kami, mana jarak terdekat, ke Waiwerang, atau ke Tobilota?" tanya kami dengan bahasa Indonesia resmi. Maklum, beda logat percakapan bisa cukup menyulitkan.
Mereka tampak bingung, tak menjawab pertanyaan.
Waktu itu, tiba seorang pengojek, yang langsung kami beri tanda untuk berhenti.
"Mana jarak terdekat, ke Waiwerang, atau Tobilota?" tanya kami.
"Anda mau mengojek?" ia balik bertanya. Kami mengangguk.
"Darimana kalian?", ia mencoba memastikan.
Sejauh yang kami tahu, jika ia tahu kami orang baru, pasti tarifnya tinggi. "Kami orang Adonara juga. Ada pesta di Demondei, tapi kami harus kembali ke Larantuka."
"Yah, yah', ia mengangguk, "kalian anak muda, jadi mesti harus ke pesta itu", katanya, tak nyambung.
"Kami mau diantar ke pelabuhan terdekat," saya coba menegaskan.
"Ya, pastinya itu ke Tobilota." ia menjawab.  Kami lalu menyimpulkan, bahwa jarak Mewet ke Tobilota lebih dekat daripada Mewet ke Waiwerang. Setelah tawar menawar harga, kami lalu berangkat.
Berulah bertahun-tahun setelah itu, saya menyadari bahwa Mewet sebenarnya dekat dengan Waiwerang, sekitar tiga kali lebih dekat jauhnya.

Sudah terhubung
Kini, 2012, jalan dari Demondei ke Mewet sudah terhubung.
“Kami sudah bisa naik kendaraan ke Mewet, roda dua maupun roda empat.” kata salah satu warga Mewet yang tak sengaja saya temui di Waiwerang.
“Yah, sekitar delapan tahun lalu, jalan baru dibangun, dan roda dua maupun roda empat belum bisa melewatinya”, kata saya mengenang, bahwa pada waktu itu, saya pernah melalui jarak itu dengan berjalan  kaki.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: