Di atap bus kayu
Ada acara sambut baru di
Demondei, Adonara, pada 2002 lalu. Masih sekolah menengah di Larantuka, nama
saya disisipkan dalam daftar orang-orang yang mesti hadir di sana. Bukan
undangan lho, tapi sebagai pekerja
untuk mengurusi dekorasi tempat acara itu. Saya lalu diongkosi oleh yang punya
urusan. Biasa, soal transportasinya.
Nama kampung Demondei
tentu pernah saya dengar, tetapi saya belum pernah berada di sana sebelumnya. Pas
hari H nya tiba, saya dan seorang teman lain bergabung dengan rombongan
keluarga yang hendak berangkat. Itu selepas
sekolah, Sabtu siang.
Hari itu adalah hari
pasar di Waiwadan, dan pada jam-jam itu, orang bergegas kembali ke kampung
masing-masing. Mereka berkumpul di ujung lorong dengan barang bawaan mereka,
barang belanjaan untuk keperluan barangkali selama seminggu itu. Setiap hari
Sabtu, para penduduk dari pedesaan yang sebagian besarnya petani memadati pasar
Waiwadan untuk menjual hasil bumi mereka, dan pulang kembali ke kampung setelah
membelanjakan sebagian uang mereka.
Kami sudah ada di sana,
di antara orang-orang ini, dan menunggu kendaraan yang menuju tempat tujuan
kami. Dari sana, kami menumpang bus kayu, yaitu truk yang dimodifikasi menjadi angkutan
penumpang ke pedesaan.
Seperti para remaja
lain, saya dan teman mengambil tempat di atap kendaraan. Cara ini biasa kami
lakukan jika hendak menumpang kendaraan itu ke desa-desa. Sebelumnya, saya pun
pernah menumpang kendaraan ini ke desa di sekitar Bukit Seburi. Ada
pertandingan bola di sana yang ingin kami tonton, dan kami menempuh alternatif
untuk berangkat dengan kendaraan ketimbang jalan kaki naik-turun bukit. Itu
satu atau dua tahun sebelumnya.
Kini, sekitar lima
hingga enam remaja ada di atap bus kayu itu. Atap ini terbuat dari lembaran
pelat logam lebar, daun pelat logam ini dilas pada penyangganya yang
bersilangan di bawahnya sebagai rangka, sehingga cukup kuat untuk menopang beban
dari puluhan orang sekaligus.
Di tepi jalan, banyak pepohonan
yang cabang-cabang dan daun-daunnya merintang. Setiap orang tahu caranya untuk
menghindar bahaya tersangkut pada reranting itu dengan merapatkan badan ke atap
truk yang melaju.
"Yang di atap
segera turun,” begitu perintah sopir ketika hendak melewati Polsek. Semua
mengerti, mengamankan diri dari pemeriksaan petugas yang tak ampun menindak
penumpang yang menantang bahaya dengan berjejal di atap bus. Setelah lewat lokasi
Polsek, semuanya naik lagi ke atap (pembaca harap jangan meniru hal ini).
Jalan Pengerasan
Jalan sepanjang ibukota
hingga ke kampung-kampung bukan dibangun dalam satu paket proyek. Setiap ruas
jalan adalah hasil dari sejumlah paket kerja yang berlainan. Satu dua kilometer
pertama adalah jalan propinsi, itu masih aspal licin. Selanjutnya, juga masih
aspal, lalu jalan batu, yang disebut pengerasan.
Batu-batu seukuran
sekitar sebesar kepala yang ditanam di tanah sepanjang jalan adalah defenisi
kita untuk jalan pengerasan ini. Sebelum jalan aspal menyentuh desa-desa, jalan
pengerasan adalah cara untuk membuat kendaraan roda dua dan roda empat bisa
melewatinya sepanjang musim. Sementara itu, jalan tanah akan begitu sulit
dilalui, terutama di musim hujan.
Selepas desa Danibao,
barulah kami tahu bahwa ternyata letak kampung Demondei menghadap ke arah
selatan. Di depan sana terdapat pulau Solor, berbeda dengan kampung sebelumnya
yang menghadap ke utara, di mana di sana akan tampak pulau Flores. Jika
dibayangkan bahwa pulau ini berbentuk gunung, maka kita telah melewati titik tertinggi
di pulau ini menuju lereng di sebelahnya.
Komposisi penduduk yang
berbeda.
Tiba di kampung itu,
kami menyadari bahwa kampung itu cukup ramai.
"Yah, di sini
penduduk usaia muda cukup banyak." kata salah seorang tuan pesta kami,
yang memang bekerja sebagai guru dan tinggal di kampung ini.
"Di kampung-kampung
asal kita, jumlah kepala keluarga lebih
banyak. Tetapi di sini, jumlah kepala keluarganya sedikit dengan jumlah
penduduknya yang banyak." Katanya lagi. Dengan begitu berarti bahwa jumlah
masing-masing anggota keluarga di situ didominasi oleh anak-anak. Kualitas
layanan kesehatan yang meningkat
barangkali telah sukses menekan angka kematian anak-anak yang
berpengaruh besar pada perubahan komposisi penduduknya. Satu sekolah dasar pun telah
dibangun di kampung itu untuk pendidikan anak-anak tersebut.
Jembatan
kayu.
Setelah kampung Demondei,
masih ada satu kampung kecil, semacam kampung satelitnya Demondei. Kampung ini
kurang dari sepuluh bangunan rumah, letaknya lebih ke selatan, yang berarti
lebih rendah letaknya dari Demondei. Perjalanan ke sana menurun, dengan jalan tanah.
Di antara kedua kampung
ini, telah dipasang sebuah jembatan kayu pada sebuah selokan besar, jalur
banjir. Entah apa struktur bangunan ini cukup kuat, tapi yang pasti, kendaraan
bus kayu bisa melewati jembatan ini.
Saya dan teman saya sebagai
orang yang belum pernah melihat menjadi kagum memikirkan bagaimana truk bisa melewati
jembatan kayu ini. Bekas-bekas ban truk memang tampak di dua sisi jembatan kayu
itu yang menandakan bahwa jembatan ini sering dilalui kendaraan. Melihat
kualitas bangunan ini, pastilah dikerjakan dengan swadaya masyarakat desa.
Terus
ke selatan
Kami menyadari, bahwa
setelah selesai urusan ini, kami harus secepatnya pulang. Jadi, segala tetak
bengek urusan kami di acara itu kami bereskan pada malam hari, dan Minggu
paginya, kami siap berangkat. Cukup menyesal juga bahwa kami tidak ikut di hari
bahagia itu bersama mereka yang merayakan, tetapi ada hal yang lebih penting
bahwa hari Senin besok kami harus ada di kelas sekolah menengah dan tentu
segala sesuatunya harus disiapkan pada hari sebelumnya, hari ini.
"Berapa kilometer jarak jalan dari sini ke selatan?" tanya
kami.
Sebuah angka dijawab
oleh para tuan pesta.
Saya dan teman saya
lantas berpandangan.
"Itu tak begitu
jauh", kata saya menyadari bahwa jarak ke sana bisa ditempuh kurang dari
dua jam berjalan kaki. Berdasarkan pengalaman, jarak sejauh ini biasa kami
tempuh dari kampung kami ke kota
kecamatan, di mana di sana terdapat satu-satunya SMP Negeri sekecamatan, almamater
kami.
"Kami akan menyusuri jalan
ini ke arah selatan," begitu kata saya, “hingga kami menemui jalan aspal”.
Memang, di arah selatan
dari kampung ini terdapat jalan aspal yang merupakan jalan yang melingkari
pulau Adonara. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari pantai. Dari sana kami
akan menggunakan jasa ojek menuju pelabuhan terdekat yang ada jadwal perahunya
ke Larantuka. Tuan pesta, juga peserta rombongan kami yang lain, para
orang-orang tua itu menyetujuinya.
"Soal jalan ke
selatan, apa ada cabangnya?" tanya kami lagi, memastikan bahwa tidak ada
persimpangan jalan yang akan membingungkan dan bisa membuat kami tersesat.
"Tidak. Ikutlah
saja jalan setapak yang cukup besar ini jika ada jalan setapak yang lebih
kecil, itu bukan jalan kalian." Jawab salah satu dari mereka.
Kami lalu mengerti dan
siap berangkat.
Pembangunan
akses jalan.
Entah sengaja atau
tidak, warga desa tampaknya menyadari bahwa akses jalan desa menuju jalan
beraspal cukup penting untuk kemajuan mereka. Ini tampak dari kegiatan
pembukaan jalan swadaya yang menjadi pokok perhatian pemerintah desa setempat.
Terbukti sepanjang
penjalanan kami, terlihat bagaimana mereka membuka jalan di salah satu ruas. Di
ruas jalan yang sulit itu, yang berupa tebing-tebing, mereka membelah tanah itu
dengan arah melintang untuk jalur jalan kendaraan. Ruas jalan di desa itu ke Mewet
tampak ditangani secara swadaya dengan menggunakan tanaga manusia, tanpa bantuan alat-alat berat. Mereka menggali di
kaki tebing, meratakan tanah untuk dilalui kendaraan nantinya.
Masih
banyak daerah hutan.
Dibandingkan dengan desa
asal saya, tampaknya bahwa daerah hutan di tempat ini masih lebih luas.
Akibat bagusnya adalah bahwa masih ada
sumber air yang melimpah yang mengalir deras dari desa ini dan mengalir menuju
ke Mewet.
Di Mewet, air tersebut
dimanfaatkan untuk menanam sayur-sayuran. Ada lahan luas untuk menanam sayur-sayuran
ini di sebelah utara desa, sebelum masuk kampung jika kita berjalan dari arah
Demondei.
Kabarnya pula, penduduk
Mewet pun sebenarnya berasal dari Demondei. Pada jaman pemerintahan jauh
sebelumnya, mereka diperintahkan untuk berpindah ke Demondei karena alasan
tertentu, tetapi sebagian dari mereka tetap bertahan di Demondei dengan alasan
merewat tanaman di kebun mereka di sana.
Terperdaya
Meski tak banyak tahu
tentang lokasi tempat-tempat di sekitar sini, sayangnya kami tak banyak bertanya
sebelum berangkat tadi. Begitu tiba di Mewet, barulah kami kebingungan. Berdiri
di ujung jalan tanah, kami harus memutuskan untuk menuju ke arah kiri atau
kanan di jalan beraspal itu. Ke kiri, sejauh yang kami tahu, kami menuju Waiwerang,
sementara ke kanan, kami akan menuju Tobilota.
Beberapa anak laki-laki
di situ tampaknya bisa ditanyai. "coba beritahu ke kami, mana jarak
terdekat, ke Waiwerang, atau ke Tobilota?" tanya kami dengan bahasa Indonesia
resmi. Maklum, beda logat percakapan bisa cukup menyulitkan.
Mereka tampak bingung,
tak menjawab pertanyaan.
Waktu itu, tiba seorang
pengojek, yang langsung kami beri tanda untuk berhenti.
"Mana jarak
terdekat, ke Waiwerang, atau Tobilota?" tanya kami.
"Anda mau
mengojek?" ia balik bertanya. Kami mengangguk.
"Darimana
kalian?", ia mencoba memastikan.
Sejauh yang kami tahu, jika
ia tahu kami orang baru, pasti tarifnya tinggi. "Kami orang Adonara juga.
Ada pesta di Demondei, tapi kami harus kembali ke Larantuka."
"Yah, yah', ia
mengangguk, "kalian anak muda, jadi mesti harus ke pesta itu",
katanya, tak nyambung.
"Kami mau diantar
ke pelabuhan terdekat," saya coba menegaskan.
"Ya, pastinya itu ke
Tobilota." ia menjawab. Kami lalu
menyimpulkan, bahwa jarak Mewet ke Tobilota lebih dekat daripada Mewet ke
Waiwerang. Setelah tawar menawar harga, kami lalu berangkat.
Berulah bertahun-tahun
setelah itu, saya menyadari bahwa Mewet sebenarnya dekat dengan Waiwerang,
sekitar tiga kali lebih dekat jauhnya.
Sudah
terhubung
Kini, 2012, jalan dari Demondei
ke Mewet sudah terhubung.
“Kami sudah bisa naik
kendaraan ke Mewet, roda dua maupun roda empat.” kata salah satu warga Mewet yang
tak sengaja saya temui di Waiwerang.
“Yah, sekitar delapan
tahun lalu, jalan baru dibangun, dan roda dua maupun roda empat belum bisa
melewatinya”, kata saya mengenang, bahwa pada waktu itu, saya pernah melalui
jarak itu dengan berjalan kaki.