Di suatu musim liburan, saya pernah
menjadi buruh bangunan di sebuah biara. Lokasinya ada di pinggiran kota Kupang.
Tugas saya sepanjang minggu-minggu itu adalah mengecat tembok keliling biara.
Saya diawasi oleh Boss saya, seorang kontraktor asal Bandung, yang juga
mengawasi sejumlah besar pekerja lainnya di tempat terpisah.
Suatu hari menjelang tengah hari itu,
hampir bertepatan dengan jam istirahat makan yang hanya sejam itu, muncul
seorang gadis. Ia bertanya apakah saya kenal dengan salah satu penghuni biara
dengan nama yang ia sebutkan. Karena memang saya tak kenal, ia saya suruh
menanyakan sendiri ke penghuni atau menunggu saja di kursi tamu yang ada. Ia
memilih yang kedua.
Penampilan gadis itu rapi, bertentangan
dengan sebagian besar penduduk sekitar yang bermata pencaharian petani dan buruh. Jadi
saya duga, ia seorang mahasiswi. Saat ia tiba, saya memang sedang membereskan
peralatan, hendak istirahat dan membongkar kantung bekal makan saya. Tetapi
sebelum itu, saya menuju meja tamu yang penuh dengan tumpukan koran, majalah,
dan buletin. Seperti biasanya, saya tahu kalau koran hari ini sudah tiba. Tangan
saya yang penuh bercak-bercak cat pun menelusuri halaman-halaman berwarna itu.
Saat itulah si gadis meledek:
“Anda juga membaca koran?”
Sempat kaget juga, tetapi saya
langsung sadar: buruh bangunan kan aneh kalau serius membaca. Perlahan, saya
tutup rapi-rapi lembaran koran itu, lalu mundur teratur menuju bagian paling
belakang biara. Padahal, topik-topik di koran hari itu cukup menarik.
Cerita singkat ini memunculkan
refleksi: baca tulis adalah kemampuan dan bahkan barangkali juga “hak” yang
hanya dimiliki sedikit orang. Orang-orang kecil kebanyakan seperti buruh
bangunan, petani, nelayan, buruh tambang dan lainnya tentu tak boleh membuang-buang
delapan jam kerja sehari mereka hanya dengan membaca. Produktivitas kerja
mereka tentu jadinya menurun, suatu hal yang tidak diinginkan siapapun termasuk
gadis dalam cerita di atas.
Itu untuk kebanyakan orang. Tetapi bagi
sedikit orang yang “berhak” membaca dan menulis, apakah mereka cukup
menggunakan prifilese itu dengan cukup baik? Ini juga barangkali patut
dipertanyakan. Sedikit orang ini adalah kaum terpelajar, dari siswa-siswa
sekolah menengah hingga sekolah tinggi. Merekalah orang-orang yang menggunakan
sebagian besar waktu mereka untuk belajar, sebagian besarnya dilakukan dengan
menulis dan membaca selain berhitung, berdiskusi, dan setumpuk aktivitas
lainnya.
Menengok ke masa lampau, baca tulis
memang benar-benar dimiliki oleh sangat sedikit orang, bahkan hanya untuk
orang-orang istimewa. Bahan bacaannya pun mahal dan sangat sedikit tersedia. Sementara
itu, perbanyakannya pun dilakukan dengan tulisan tangan.
Kalau di jaman kini, mengirimkan
serta menggandakan dokumen ratusan halaman bisa berjalan dengan sekali klik pada
komputer jinjing di tas anda, maka pekerjaan yang sama berlangsung berhari-hari,
berminggu-minggu bahkan berbula-bulan pada masa lalu. Menyalin dokumen,
misalnya dokumen keagamaan seperti kitab suci, dilakukan lembar demi lembar
dengan pena bulu unggas di kertas perkamen
atau kulit binatang. Penyalinan dokumen lain seperti buku teks ilmu pengetahuan
juga dilakukan dengan cara yang serupa. Barangkali inilah alasannya mengapa
ilmu pengetahuan pada masa itu tidak berkembang secepat masa kini.
Di abad ini, kita boleh bernapas
lega. Dengan adanya kertas yang murah meriah, menulis bukan lagi hal yang
mahal. Di ruang-ruang kelas sejak usia muda, semua anak-anak kita dilatih menulis.
Dijamin, beberapa waktu berada di kelas awal sekolah dasar, mereka sudah cukup
menguasai ketrampilan dasar ini. Apalagi, dengan dukungan peralatan komputer
dan segenap perangkat lunaknya, menulis bukan lagi hal yang istimewa.
Tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan
menulis dan membaca nyatanya menjadi hal yang cukup langka ditemui. Pada
sekolah-sekolah dasar, pelajaran menulis memang bukan pelajaran khusus pada
kelas-kelas akhir. Siswa hanya menulis ringkasan, tugas-tugas, mengisi
titik-titik, menjawab pertanyaan singkat dan sejenisnya. Keterampilan seperti
meringkas kemudian menceritakan kembali isi ringkasan tidak banyak dilakukan,
ataupun seandainya dilakukan pun hanya untuk formalitas belaka, dan tak
dipertanggungjawabkan isi ringkasan mereka. Keluhan sementara adalah bahwa
alokasi waktu untuk mata pelajaran untuk menulis memang tidak banyak setiap
minggunya.
Kita pun kini sering memaklumi,
bahwa kutip menutip hasil tulisan kadang merupakan hal yang biasa. Ketika
seorang mahasiswa ditugaskan membuat tulisan, ia tinggal melenggang dengan
flash disk ke internet, mengutip tulisan dari sana, dan mengeprintnya dengan
menggunakan nama sendiri. Sekali lagi, formalitas belaka tanpa
pertanggungjawaban tentang isi tulisan, bahwa tulisan tersebut adalah
benar-benar hasil karyanaya. Jujur saja, saya sendiri pun pernah melakukannya
hehehe.
Beberapa waktu belakangan, tersebar
kabar bahwa publikasi karya tulis mahasiswa adalah salah satu syarat kelulusan.
Sekali lagi tentang menulis. Meski tidak banyak, dari media didapati kabar
bahwa ada segelintir mahasiswa yang menyatakan tidak siap. Padahal, pertanggungjawaban
karya tulis di depan tim penguji adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka,
menjadi kewajiban kelulusan jenjang strata satu ke atas. Dugaan saya,
barangkali mereka khawatir atas tulisan mereka yang tak layak muat?
Tak begitu jadi persoalan bila
kategori “tak layak muat” ini karena terkait kesalahan teknis penulisan, bukan
terkait metodologi maupun isi penelitian. Kenapa? Karena dalam penerbitan, ada
orang yang berprofesi untuk mengerjakan tugas ini. Siapa dia? Yah, editor.
Profesi terkait kepenulisan seperti
ini memang jarang kita jumpai. Di antara ribuan orang, mungkin hanya dijumpai
satu dua orang yang bekerja di bidang kepenulisan ini, misalanya editor pada
penerbitan buku atau surat kabar. Kerja mereka, tentu saja adalah memperbaiki
kesalahan-kesalahan teknis, kesalahan susunan kata dan kalimat dsb. Kita tahu,
di kampus, sering dipersoalkan tatabahasa maupun ejaan serta susunan kata dan
kalimat yang tidak sempurna yang sebenarnya saja menjadi urusan para editor
ini. Sedangkan para peneliti sendiri, atau orang yang dilatih untuk meneliti,
mereka bisa fokus pada penelitiannya tanpa pusing-pusing atau banyak tergoda
untuk urusan teknis semacam ini, yang sebenarnya menjadi pekerjaan para editor.
Begitu pula bagi para
penulis-penulis sastra, mereka cukup menulis secara kreatif, sedangkan urusan
tatabahasa dan susunan kalimat-kalimat serta kata-katanya menjadi urusannya
para editor.
Akhirnya, selamat menulis tanpa
takut tak terbaca.