Selasa, 22 Mei 2012

Tulis dan Baca



Di suatu musim liburan, saya pernah menjadi buruh bangunan di sebuah biara. Lokasinya ada di pinggiran kota Kupang. Tugas saya sepanjang minggu-minggu itu adalah mengecat tembok keliling biara. Saya diawasi oleh Boss saya, seorang kontraktor asal Bandung, yang juga mengawasi sejumlah besar pekerja lainnya di tempat terpisah.
Suatu hari menjelang tengah hari itu, hampir bertepatan dengan jam istirahat makan yang hanya sejam itu, muncul seorang gadis. Ia bertanya apakah saya kenal dengan salah satu penghuni biara dengan nama yang ia sebutkan. Karena memang saya tak kenal, ia saya suruh menanyakan sendiri ke penghuni atau menunggu saja di kursi tamu yang ada. Ia memilih yang kedua.
Penampilan gadis itu rapi, bertentangan dengan sebagian besar penduduk sekitar  yang bermata pencaharian petani dan buruh. Jadi saya duga, ia seorang mahasiswi. Saat ia tiba, saya memang sedang membereskan peralatan, hendak istirahat dan membongkar kantung bekal makan saya. Tetapi sebelum itu, saya menuju meja tamu yang penuh dengan tumpukan koran, majalah, dan buletin. Seperti biasanya, saya tahu kalau koran hari ini sudah tiba. Tangan saya yang penuh bercak-bercak cat pun menelusuri halaman-halaman berwarna itu.
Saat itulah si gadis meledek:
“Anda juga membaca koran?”
Sempat kaget juga, tetapi saya langsung sadar: buruh bangunan kan aneh kalau serius membaca. Perlahan, saya tutup rapi-rapi lembaran koran itu, lalu mundur teratur menuju bagian paling belakang biara. Padahal, topik-topik di koran hari itu cukup menarik.
Cerita singkat ini memunculkan refleksi: baca tulis adalah kemampuan dan bahkan barangkali juga “hak” yang hanya dimiliki sedikit orang. Orang-orang kecil kebanyakan seperti buruh bangunan, petani, nelayan, buruh tambang dan lainnya tentu tak boleh membuang-buang delapan jam kerja sehari mereka hanya dengan membaca. Produktivitas kerja mereka tentu jadinya menurun, suatu hal yang tidak diinginkan siapapun termasuk gadis dalam cerita di atas.
 Itu untuk kebanyakan orang. Tetapi bagi sedikit orang yang “berhak” membaca dan menulis, apakah mereka cukup menggunakan prifilese itu dengan cukup baik? Ini juga barangkali patut dipertanyakan. Sedikit orang ini adalah kaum terpelajar, dari siswa-siswa sekolah menengah hingga sekolah tinggi. Merekalah orang-orang yang menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk belajar, sebagian besarnya dilakukan dengan menulis dan membaca selain berhitung, berdiskusi, dan setumpuk aktivitas lainnya.
Menengok ke masa lampau, baca tulis memang benar-benar dimiliki oleh sangat sedikit orang, bahkan hanya untuk orang-orang istimewa. Bahan bacaannya pun mahal dan sangat sedikit tersedia. Sementara itu, perbanyakannya pun dilakukan dengan tulisan tangan.
Kalau di jaman kini, mengirimkan serta menggandakan dokumen ratusan halaman bisa berjalan dengan sekali klik pada komputer jinjing di tas anda, maka pekerjaan yang sama berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbula-bulan pada masa lalu. Menyalin dokumen, misalnya dokumen keagamaan seperti kitab suci, dilakukan lembar demi lembar dengan pena bulu unggas di kertas perkamen  atau kulit binatang. Penyalinan dokumen lain seperti buku teks ilmu pengetahuan juga dilakukan dengan cara yang serupa. Barangkali inilah alasannya mengapa ilmu pengetahuan pada masa itu tidak berkembang secepat masa kini.
Di abad ini, kita boleh bernapas lega. Dengan adanya kertas yang murah meriah, menulis bukan lagi hal yang mahal. Di ruang-ruang kelas sejak usia muda, semua anak-anak kita dilatih menulis. Dijamin, beberapa waktu berada di kelas awal sekolah dasar, mereka sudah cukup menguasai ketrampilan dasar ini. Apalagi, dengan dukungan peralatan komputer dan segenap perangkat lunaknya, menulis bukan lagi hal yang istimewa.
Tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan menulis dan membaca nyatanya menjadi hal yang cukup langka ditemui. Pada sekolah-sekolah dasar, pelajaran menulis memang bukan pelajaran khusus pada kelas-kelas akhir. Siswa hanya menulis ringkasan, tugas-tugas, mengisi titik-titik, menjawab pertanyaan singkat dan sejenisnya. Keterampilan seperti meringkas kemudian menceritakan kembali isi ringkasan tidak banyak dilakukan, ataupun seandainya dilakukan pun hanya untuk formalitas belaka, dan tak dipertanggungjawabkan isi ringkasan mereka. Keluhan sementara adalah bahwa alokasi waktu untuk mata pelajaran untuk menulis memang tidak banyak setiap minggunya.
Kita pun kini sering memaklumi, bahwa kutip menutip hasil tulisan kadang merupakan hal yang biasa. Ketika seorang mahasiswa ditugaskan membuat tulisan, ia tinggal melenggang dengan flash disk ke internet, mengutip tulisan dari sana, dan mengeprintnya dengan menggunakan nama sendiri. Sekali lagi, formalitas belaka tanpa pertanggungjawaban tentang isi tulisan, bahwa tulisan tersebut adalah benar-benar hasil karyanaya. Jujur saja, saya sendiri pun pernah melakukannya hehehe.
Beberapa waktu belakangan, tersebar kabar bahwa publikasi karya tulis mahasiswa adalah salah satu syarat kelulusan. Sekali lagi tentang menulis. Meski tidak banyak, dari media didapati kabar bahwa ada segelintir mahasiswa yang menyatakan tidak siap. Padahal, pertanggungjawaban karya tulis di depan tim penguji adalah sesuatu yang lumrah bagi mereka, menjadi kewajiban kelulusan jenjang strata satu ke atas. Dugaan saya, barangkali mereka khawatir atas tulisan mereka yang tak layak muat?
Tak begitu jadi persoalan bila kategori “tak layak muat” ini karena terkait kesalahan teknis penulisan, bukan terkait metodologi maupun isi penelitian. Kenapa? Karena dalam penerbitan, ada orang yang berprofesi untuk mengerjakan tugas ini. Siapa dia? Yah, editor.
Profesi terkait kepenulisan seperti ini memang jarang kita jumpai. Di antara ribuan orang, mungkin hanya dijumpai satu dua orang yang bekerja di bidang kepenulisan ini, misalanya editor pada penerbitan buku atau surat kabar. Kerja mereka, tentu saja adalah memperbaiki kesalahan-kesalahan teknis, kesalahan susunan kata dan kalimat dsb. Kita tahu, di kampus, sering dipersoalkan tatabahasa maupun ejaan serta susunan kata dan kalimat yang tidak sempurna yang sebenarnya saja menjadi urusan para editor ini. Sedangkan para peneliti sendiri, atau orang yang dilatih untuk meneliti, mereka bisa fokus pada penelitiannya tanpa pusing-pusing atau banyak tergoda untuk urusan teknis semacam ini, yang sebenarnya menjadi pekerjaan para editor.
Begitu pula bagi para penulis-penulis sastra, mereka cukup menulis secara kreatif, sedangkan urusan tatabahasa dan susunan kalimat-kalimat serta kata-katanya menjadi urusannya para editor.
Akhirnya, selamat menulis tanpa takut tak terbaca.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: