Sabtu, 01 Desember 2012

Kemarin.....


Kemarin sempat ke pengadilan Larantuka. Ada sidang perkara di sana, dengan si terdakwa yang saya kenal dekat.
Di jadwal, sidang katanya dimulai jam sepuluh. Tetapi ketika saya datang belakangan, sidangnya belum mulai juga. Tampak di pelataran gedung ada beberapa teman kerja dari si terdakwa yang akan disidang. Mereka ngobrol dengan santai di emperan menunggu sidang dimulai. Sementara pengacara yang memang telah duluan datang memberi kabar bahwa hadirin sedang menunggu kedatangan jaksa.
Baru kali ini masuk ke gedung pengadilan. Tapi saya yakin suasananya sama dengan pengadilan manapun seperti yang terlihat di buku-buku atau di film. Pernah sih beberapa kali nonton film gelar perkara ala Amerika di serial Law & Order dan juga CSI (Crime Scene Investigation- Penyelidikan TKP). Ada banyak adegan sidangnya di serial itu. Juga ada satu novel Sidney Sheldon yang punya adegan sidang perkara yang sempat saya lihat.
Jadi, saya bisa bayangkan pihak-pihak yang ada di sana. Terdakwa di kursinya, hakim yang memutus perkara, jaksa yang menuntut terdakwa, pengacara yang mendampingi terdakwa, juga polisi yang menjadi pengawal, serta lain-lain petugas seperti panitera sidang alias si juru tulis.
Tapi beda sedikit di film, sidang hari ini tidak pakai juri untuk putusannya. Cukup hakim saja. Kalau di teve kan hakim lebih tampak sebagai moderator. Pak hakimlah yang memutuskan sebuah pembelaan diterima atau tidak, sebuah pertanyaan harus dijawab terdakwa atau tidak, seorang saksi harus dihadapkan atau tidak, dan lain-lainnya. Sedangkan putusan perkara didengar dari juri.
Di film, bukti-bukti dikumpulkan oleh para detektif alias penyidik (saya sendiri masih bingung membedakan antara ‘penyidikan’ dan penyelidikan’ dalam proses hukum kita). Terdakwa pun hanya boleh berbicara ketika ada pengacaranya kalau sudah meminta didampingi. Tapi di Indonesia saya belum tau pasti. Kelihatannya, tanpa pengacara pun si terdakwa boleh bebas berbicara.
Pas masuk, tampak tempat itu sepi saja. Eh, di ruangan besar di depan sana tampaknya ada sidang. Tapi bukan sidang pengadilan. Hanya sidang staf, pinjam pakai ruang sidang pengadilan dengan kursi terdakwanya yang terisi angin saja.
Di los tengah gedung, tampak seorang satpam gemuk dan seorang lainnya berseragam PNS. Mereka pegawai di situ.
Langsung ke samping kanan bangunan, di mana ada ruang tahanan. Ternyata memang tahanannya boleh bebas saja. Mungkin karena tindakan mereka kooperatif, sehingga mereka boleh bebas begitu. Lagipula, tahanan kan masih belum terbukti kesalahannya, jadi tak masuk akallah kalau terus ditempatkan dalam kurungan. Setelah putusan hakim tentang kesalahan mereka, maka status hukum mereka jadi jelas sebagai orang terhukum alias narapidana.
Sementara sebelumnya tadi ketika sempat ke rutan, tampak para tahanan tidak seram-seram amat kehidupan sehari-harinya. Mereka boleh bebas di lingkungan mereka, dan kelihatan segar-segar selalu. Bahkan ada beberapa darinya yang punya keahlian mengetik boleh saja membantu mengetikkan surat-surat di kantor itu. Wah, untungnya rutan ini kecil saja, dan tak ada niat jahat mereka untuk membuat dokumen-dokumen palsu misalnya.
Para tahanan kelihatan bisa menikmati suasana. Misalnya kalau ibadat minggu, ada koor-nya. Memang, ibadatnya agak lebih cepat karena terpaku jadwal. Tetapi katanya banyak umat dari luar yang ikut ibadat di rutan itu. Salah satu penyebabnya, menurut seorang tahanan, adalah karena koor mereka yang bagus. Hanya saja, untuk masuk ruangan itu, mesti ada surat-surat kelengkapan tertentu bagi pengunjung. Pintu memang terkunci dan ada penjagaan ketat di sana.
 “Itu aula kah?”
Tanya saya menuding sebuah ruangan besar dan luas dekat situ.
“Oh, bukan. Itu ruangan sidang”, jawab si petugas berseragam PNS ini.
Besar sekali ruangannya. Lagipula, ruangan sidang kok dipakai untuk rapat staf.
Dipikir-pikir, kalau mau efisien, alangkah baiknya jika ruangan sidang mesti dibikin banyak karena berkas-berkas perkara seringkali bejibun. Di sini cuma ada dua, memang imbang dengan tenaga hakim dan jaksanya yang sedikit saja itu. Jadi, masuk akallah kalau banyak kasus tidak ingin diproses ke pengadilan. Kasus kecil-kecilan sering berakhir dengan pernyataan damai dan pelaku-pelakunya tak sampai menyentuh pintu pengadilan. Kurang tahu apakah ‘pernyataan damai’ ini punya kekuatan hukum yangmengikat dan diakui di ruangan pengadilan, bukan cuma selembar kertas bodoh untuk menggertak orang kampung yang tak melek hukum.
Ruangan lainnya di sini cukup banyak. Ada ruangan barang bukti, ruang mediasi, ruang advokat, juga ruang hakim serta pegawai-pegawai lainnya.
Menunggu sidang, saya terus ke belakang. Ngobrol dengan seorang pengacara muda yang sudah saya kenal. Ada beberapa pegawai menemaninya di sana. Juga seorang yang sedang memproses perkaranya, yang dari ceritanya langsung saya kenali karena kasusnya santer diberitakan di koran. Mereka duduk mengopi. Ditawari kopi, saya menolak. Hanya mengambil sebatang rokok sekedar untuk basa-basi.
Banyak cerita untuk lucu-lucuan di meja kantin dengan pak pengacara. Seorang petugas bercerita tentang caranya mengerjai  beberapa orang yang akan disidang. Orang yang disidang ini adalah beberapa lelaki dari luar pulau yang jauh.
Yah, di sana ‘kan para hakim dipanggil yang mulia. Kayak gelar Uskup atau raja-raja abad pertengahan di Eropa gitu.
Para terdakwa yang akan masuk ruang sidang bertanya ke petugas itu bagaimana tatacaranya masuk ruangan pengadilan.
Mereka diajari.
Kalau masuk, ucapkan begini: selamat selamat pagi pak hakim yang mulia, yang maha esa…..
Mereka benar-benar mengatakan itu!
Pas masuk ruang, mereka bilang: Selamat pagi pak hakim yang mulia, yang maha esa.
Semua terbahak-bahak.
Pasti ini kerjanya si anu…… kata mereka.
Nah, pengacara resmi di sini hanya ada sedikit. Tetapi di kampung-kampung atau di tempat lain  ada banyak pengacara tak resmi. Kepala desa, pejabat dan mantan mahasiswa hukum tiba-tiba saja bisa jadi pengacara alias orang yang mendampingi pihak-pihak dalam perkara. Mereka memang tidak dibayar, tetapi banyak perannya bahkan besar sekali dalam mengurus perkara.
Polisi pun demikian, bertindak selaku pengacara dengan mempengaruhi klien mencabut laporan perkara. Jadi, biar pun ada banyak perkara pelanggaran, tetapi berhenti di tangan polisi dengan akhir damai atau pula dengan cara adat. Perdamaian adat pun tampaknya kabur, sebab yang berperan di sana bukan tokoh adat dengan infrastruktur adatnya, tetapi para pengacara tak resmi ini dan orang lain yang tak terkait. Jadi kesan mengikatnya tidak terlalu terasa. (Ingat-ingat, peristiwa bentrok antar pemuda di kampung dengan pemuda kampung lain diakhiri dengan acara perdamaian adat. Anehnya, acara itu dilakukan di kantor polisi. Uh, susah dimengerti kalau kantor polisi adalah bagian dari infrastruktur adat)
Akhirnya, sidangnya terlaksana juga. Tidak mirip memang dengan di film. Kalau di film, mula-mula panitera mengajak hadirin berdiri ketika pak hakim masuk ruangan. Di sini, hakim yang duluan bicara dan membuka sidang. Eh, palu sidangnya juga tak ada tuh.
Hari ini mendengar tuntutan jaksa, dan dilanjut lagi untuk pembelaan, dan diakhiri dengan vonis mungkin dua tiga minggu lagi.
Moga keadilan ditegakkan di sini, dan trims saja buat semua yang mewujudkannya!


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: