Kemarin
sempat ke pengadilan Larantuka. Ada sidang perkara di sana, dengan si terdakwa yang saya kenal dekat.
Di
jadwal, sidang katanya dimulai jam sepuluh. Tetapi ketika saya datang
belakangan, sidangnya belum mulai juga. Tampak di pelataran gedung ada beberapa teman kerja dari si
terdakwa yang akan disidang. Mereka ngobrol dengan santai di emperan menunggu
sidang dimulai. Sementara pengacara yang memang telah duluan datang
memberi kabar bahwa hadirin sedang menunggu kedatangan jaksa.
Baru
kali ini masuk ke gedung pengadilan. Tapi saya yakin suasananya sama dengan
pengadilan manapun seperti yang terlihat di buku-buku atau di film. Pernah sih beberapa kali nonton film gelar
perkara ala Amerika di serial Law & Order dan juga CSI (Crime Scene Investigation- Penyelidikan TKP). Ada banyak adegan sidangnya di serial itu. Juga
ada satu novel Sidney Sheldon
yang punya adegan sidang
perkara yang sempat saya lihat.
Jadi,
saya bisa bayangkan pihak-pihak yang ada di sana. Terdakwa di kursinya, hakim
yang memutus perkara, jaksa yang menuntut terdakwa, pengacara yang mendampingi
terdakwa, juga polisi yang menjadi pengawal, serta lain-lain petugas seperti
panitera sidang alias si juru tulis.
Tapi
beda sedikit di film, sidang hari ini tidak pakai juri untuk putusannya. Cukup
hakim saja. Kalau di teve kan hakim lebih tampak sebagai moderator. Pak
hakimlah yang memutuskan sebuah pembelaan diterima atau tidak, sebuah
pertanyaan harus dijawab terdakwa atau tidak, seorang saksi harus dihadapkan
atau tidak, dan lain-lainnya. Sedangkan putusan perkara didengar dari juri.
Di
film, bukti-bukti dikumpulkan oleh para detektif alias penyidik (saya
sendiri masih bingung membedakan antara ‘penyidikan’ dan penyelidikan’ dalam
proses hukum kita). Terdakwa pun
hanya boleh berbicara ketika ada pengacaranya kalau sudah meminta didampingi.
Tapi di Indonesia saya belum tau pasti. Kelihatannya, tanpa pengacara pun si
terdakwa boleh bebas berbicara.
Pas
masuk, tampak tempat itu sepi saja. Eh, di ruangan besar di depan sana
tampaknya ada sidang. Tapi bukan sidang pengadilan. Hanya sidang staf, pinjam
pakai ruang sidang pengadilan dengan kursi terdakwanya yang terisi angin
saja.
Di los
tengah gedung, tampak seorang satpam gemuk dan seorang lainnya berseragam PNS. Mereka
pegawai di situ.
Langsung
ke samping kanan bangunan, di mana ada ruang tahanan. Ternyata memang tahanannya
boleh bebas saja. Mungkin karena tindakan mereka kooperatif, sehingga mereka
boleh bebas begitu. Lagipula, tahanan kan masih belum terbukti kesalahannya,
jadi tak masuk akallah kalau terus ditempatkan dalam kurungan. Setelah putusan
hakim tentang kesalahan mereka, maka status hukum mereka jadi jelas sebagai
orang terhukum alias narapidana.
Sementara
sebelumnya tadi ketika sempat ke rutan, tampak para tahanan tidak seram-seram
amat kehidupan sehari-harinya. Mereka boleh bebas di lingkungan mereka, dan
kelihatan segar-segar selalu. Bahkan ada beberapa darinya yang punya keahlian
mengetik boleh saja membantu mengetikkan surat-surat di kantor itu. Wah,
untungnya rutan ini kecil saja, dan tak ada niat jahat mereka untuk membuat
dokumen-dokumen palsu misalnya.
Para
tahanan kelihatan bisa menikmati suasana. Misalnya kalau ibadat minggu, ada
koor-nya. Memang, ibadatnya agak lebih cepat karena terpaku jadwal. Tetapi
katanya banyak umat dari luar yang ikut ibadat di rutan itu. Salah satu
penyebabnya, menurut seorang tahanan, adalah karena koor mereka yang bagus.
Hanya saja, untuk masuk ruangan itu, mesti ada surat-surat kelengkapan tertentu
bagi pengunjung. Pintu memang terkunci dan ada penjagaan ketat di sana.
“Itu aula kah?”
Tanya
saya menuding sebuah ruangan besar dan luas dekat situ.
“Oh,
bukan. Itu ruangan sidang”, jawab si petugas berseragam PNS ini.
Besar sekali
ruangannya. Lagipula, ruangan sidang kok dipakai untuk rapat staf.
Dipikir-pikir,
kalau mau efisien, alangkah baiknya jika ruangan sidang mesti dibikin banyak
karena berkas-berkas perkara seringkali bejibun. Di sini cuma ada dua, memang
imbang dengan tenaga hakim dan
jaksanya yang sedikit saja itu. Jadi, masuk akallah kalau banyak kasus tidak
ingin diproses ke pengadilan. Kasus kecil-kecilan sering berakhir dengan
pernyataan damai dan pelaku-pelakunya tak sampai menyentuh pintu pengadilan.
Kurang tahu apakah ‘pernyataan damai’ ini punya kekuatan hukum yangmengikat dan
diakui di ruangan pengadilan, bukan cuma selembar kertas bodoh untuk menggertak
orang kampung yang tak melek hukum.
Ruangan
lainnya di sini cukup banyak. Ada ruangan barang bukti, ruang mediasi, ruang
advokat, juga ruang hakim serta pegawai-pegawai lainnya.
Menunggu
sidang, saya terus ke belakang. Ngobrol dengan seorang pengacara muda yang
sudah saya kenal. Ada beberapa pegawai menemaninya di sana. Juga seorang yang
sedang memproses perkaranya, yang dari ceritanya langsung saya kenali karena
kasusnya santer diberitakan di koran. Mereka duduk mengopi. Ditawari kopi, saya
menolak. Hanya mengambil sebatang rokok sekedar untuk basa-basi.
Banyak
cerita untuk lucu-lucuan di meja kantin dengan pak pengacara. Seorang petugas bercerita tentang
caranya mengerjai beberapa orang yang
akan disidang. Orang yang disidang ini adalah beberapa lelaki dari luar pulau
yang jauh.
Yah, di
sana ‘kan para hakim dipanggil yang mulia. Kayak
gelar Uskup atau raja-raja abad pertengahan di Eropa gitu.
Para terdakwa
yang akan masuk ruang sidang bertanya ke petugas itu bagaimana tatacaranya
masuk ruangan pengadilan.
Mereka
diajari.
Kalau
masuk, ucapkan begini: selamat selamat pagi pak hakim yang mulia, yang maha
esa…..
Mereka benar-benar
mengatakan itu!
Pas
masuk ruang, mereka bilang: Selamat pagi pak hakim yang mulia, yang maha esa.
Semua
terbahak-bahak.
Pasti
ini kerjanya si anu…… kata mereka.
Nah,
pengacara resmi di sini hanya ada sedikit. Tetapi di kampung-kampung atau di
tempat lain ada banyak pengacara tak
resmi. Kepala desa, pejabat dan mantan mahasiswa hukum tiba-tiba saja bisa jadi
pengacara alias orang yang mendampingi pihak-pihak dalam perkara. Mereka memang
tidak dibayar, tetapi banyak perannya bahkan besar sekali dalam mengurus
perkara.
Polisi
pun demikian, bertindak selaku pengacara dengan mempengaruhi klien mencabut
laporan perkara. Jadi, biar pun ada banyak perkara pelanggaran, tetapi berhenti
di tangan polisi dengan akhir damai atau pula dengan cara adat. Perdamaian adat pun tampaknya kabur, sebab yang berperan di
sana bukan tokoh adat dengan infrastruktur adatnya, tetapi para pengacara tak
resmi ini dan orang lain yang tak terkait. Jadi kesan mengikatnya tidak terlalu
terasa. (Ingat-ingat, peristiwa bentrok antar pemuda di kampung dengan
pemuda kampung lain diakhiri dengan acara perdamaian adat. Anehnya, acara itu
dilakukan di kantor polisi. Uh, susah dimengerti kalau kantor polisi adalah
bagian dari infrastruktur adat)
Akhirnya,
sidangnya terlaksana juga. Tidak mirip memang dengan di film. Kalau di film,
mula-mula panitera mengajak hadirin berdiri ketika pak hakim masuk ruangan. Di
sini, hakim yang duluan bicara dan membuka sidang. Eh, palu sidangnya juga tak
ada tuh.
Hari
ini mendengar tuntutan jaksa, dan dilanjut lagi untuk pembelaan, dan diakhiri
dengan vonis mungkin dua tiga minggu lagi.
Moga
keadilan ditegakkan di sini, dan trims saja buat semua yang mewujudkannya!