Selasa, 04 Desember 2012

Di Kapal Laut


by S. M. Dosi

Pengeras suara mengumandang, menyuruh setiap penumpang yang memegang tiket makan kelas ekonomi menuju pantry untuk mengambil jatah makan mereka. Baga menggeliat. Tidurnya betul-betul tak nyaman, tetapi ia memang hendak melelapkan matanya.
Usianya pria ini 50-an tahun. Tampak sisa sisa ketampanan di wajahnya. Urat urat tangannya terlihat jelas. Pembuluh nadi tampak menonjol dari pergelangan dan punggung tangannya. Kulitnya hitam legam. Telapak tangannya kekuningan, menunjukkan detil-detil garis yang tampak kontras di bawah cahaya lampu yang suram.
 “Bangun, pak?” seorang wanita di dekatnya menyentuh bahunya dan mengguncang sedikit. Sudah saatnya jam makan, dan orang ini belum bangun juga. Gerutu Suminah, si wanita muda itu, dalam hatinya.
 “Uhm?” Baga menggeliat, tak menghiraukan Suminah, tapi melihat penumpang lain yang beranjak menghindari kesesakan ruangan itu menuju tempat di belakang kapal.
Ukuran ruangan kecil saja. Dibatasi oleh sekat-sekat. Deru mesin terdengar seperti suara bariton. Angin menghembus dari sela-sela jendela bulat, tetapi tak cukup kuat untuk mengusir udara yang pengap. Terlalu banyak orang di ruangan sempit ini.
Melawan kemauan Suminah,  Baga tetap tak bangun.
Ya Allah. Sudah sampai hari ketiga ini ia tak makan sedikitpun. Setiap orang di kiri kanan heran. Tetapi yang tampak peduli, hanya satu orang. Suminah, wanita muda ini. Terpaksa ia peduli, bukan karena ia salah satu keluarganya, atau orang dekatnya. Ketemu pun barusan tiga hari lalu, pas mereka dapat ruangan yang sama di kapal itu.
Hanya saja, rasa simpati bisa jadi sifat lemah manusia. Kedekatan bisa terbangun begitu saja lantaran satu tempat di perjalanan yang lama itu dan persoalan-persoalan kecil yang terjadi.
Seperti pria di sisi tempat duduk Suminah. Sudah selama perjalanan, ia tak kelihatan membuka kantung bekalnya.
Di hari pertama, sempat tampak sebuah bungkusan nasi di kursinya. Tak ia sentuh. Lantas, karena tampak mengering, bungkusan itu dibuang ke tempat sampah. Lalu hari berikutnya, makanan kering, seperti serbuk dari bahan tepung ubi atau jagung. Orang-orang melihat seorang gadis datang membawa itu. Ditaruh begitu saja di sisi si pria dengan sebuah biscuit dan air mineral. Hanya air kemasan botol yang tampak berkurang isinya. Sedangnkan makanan tak dibuka.
“Makan, pak? MakanBegitu selalu kata Suminah setiap jam makan tiba. Bukan. Bukan pamitan makan, tapi menyuruhnya makan.
 “Kenapa ia tak makan?” pertanyaan penuh penasaran menggumam di tengah lautan, dalam kapal yang sedang berlayar ke timur. Ini sebetulnya perjalanan yang tidak lama. Kapal hanya baru saja meninggalkan pelabuhan Benoa, Bali. Lewat selat Sape, masuk Lombok, Bima, kepulauan sekitar Komodo. Terus menuju Flores.
…….
Ini cerita saya. Saya orang Adonara, seorang ibu rumah tangga. Barusan mudik ke kampung halaman orang tua saya di di Jawa Timur. Beberapa bulan di sana, menemui sanak keluarga yang telah lama terpisah dan hanya saling kontak di ponsel. Sama, di sana kami di pedesaan. Saya ajak anak saya ikut serta. Ia sedang liburan sekolah SMK-nya.
Hanya berdua, perjalanan pergi pulang kami lalui via kapal laut. Meski lambat, itu cukup murah untuk kami berdua, apalagi kondisi kantong tak mungkin untuk lewat udara.
Sejujurnya, saya tidak bisa menikmati perjalanan ini. Berdesak-desakkan, penumpang yang bertumpuk-tumpuk seperti ikan kering di los pasar, adalah pemandangan yang kurang manusiawi  dari timur kita.
Pulangnya, kapal yang kami naiki sempat singgah di Nagekeo.
Ini cerita saya tentang seorang Bapak yang begitu setia kepada sang istri. Sang bapak saya kenal di kapal itu.
Tahu dari mana kalau ia begitu setia?
Istrinya ikut serta?
Bukan. Bukan begitu. Tidak ada istrinya di sana.
Lantas, dari mana saya tahu?
Justru di sinilah ceritanya dimulai.
……………..
Baga ternyata punya seorang anak yang bekerja di Bali. Jadi pegawai di sebuah bandara. Dengan ayah yang bertani di kampung, si anak ingin supaya orang tuanya tahu tentang keberadaannya di Bali, sekaligus menyelesaikan sebuah keperluan penting.
Hari itu, si anak meneleponnya supaya ia sejenak berkunjung ke kotanya. Berat bagi Baga. Tak ingin sekalipun meninggalkan kampung walau sehari saja. Tetapi ke Bali merupakan hal penting bagi si anak. Mau tak mau. Baga sendiri harus ke sana untuk mengurus sesuatu tentang rencana mendirikan rumah bagus di kampung. Harus ada pertemuan berhadap-hadapan dengan sang anak. Urusan itu akan segera selesai, dan Baga boleh kembali ke kampung, begitu kata si anak di telepon, berulangkali. Karena itu, Baga pun akhirnya turuti kemauan anaknya.
Tanah Bali sudah di telapak kaki. Tapi intensitas kesibukan yang tinggi di kota bukanlah hal yang ramah bagi Baga dan anaknya. Itu membuat urusan keduanya molor sejadi-jadinya. Si anak punya kesibukan sendiri. Sementara Baga tidak bisa menunggu lama-lama di hunian.  Ia tak sabaran ingin cepat pulang, tetapi karena tujuan kedatangannya belum kesampaian, ia belum boleh pulang. Seminggu, belum selesai juga. Akan segera dibereskan, begitu kata anaknya selalu. Tapi ia malah terlihat makin sibuk dengan pekerjaan pokoknya. Sebulan berlalu, hingga akhirnya masuk bulan kedua.
Bersabar segera, bersabar seinggu, dan bersabar sebulan. Setiap hari, Baga terus mengingatkan anaknya untuk selesaikan urusan ini. Atau ia pulang. Tetapi sang anak ngotot, karena sudah telanjur ke Bali, Baga tidak boleh pulang begitu saja. Tak ada kesempatan lagi di lain waktu untuk urusan itu.
Memang, mengapa hendak cepat-cepat pulang? Sergah si wanita muda.
Oh tidak apa-apa. ” Cerita gadis remaja yang tampak muncul di situ. “Ia hanya ingat istrinya di kampung”.
Hening lama. Semuanya mendengarkan aliran angin dan debur ombak. Juga deru mesin. Semua yakin, kapal akan makin dekat ke daratan, ke kampung halaman mereka.
“Kamu keluarganya?”
“Hanya keluarga jauh, yang kebetulan dalam satu perjalanan.”
“Oh, ya. Kamu teman perjalanannya” Sumiyati menyimpulkan.
“Seperti itulah”, si gadis tampak memiringkan kepalanya, lalu mengangguk kecil.
Si gadis remajalah yang akhirnya menceritakan semuanya ini.
Di kampungnya, semua putra-putri Baga sudah tidak bersamanya. Setelah sukses dengan sekolah tinggi, mereka mencari rejeki jauh dari kampung halaman. Jadilah Baga sendirian dengan istrinya, mengurusi ladang dan ternak sebagai sumber penghidupan mereka sejak nenek moyang.
Sekali ini, Baga tampak ke bagian belakang kapal. Lama kemudian baru muncul. Baju kuningnya kentara di antara penumpang lain. Ia tinggi, bahunya tampak lebar dan tulang lengannya tampak besar. Tapi ia kelihatan begitu kurus. Kapal akan tiba hari ini.
Sekali itu, pas hendak duduk, Suminah menyergapnya ketika ada kontak mata. Lalu ini percakapan mereka.
“Kamu ingat istri kamu yah”.
Si Bapak mengangguk pelan.
“Sudah kamu telepon?”
“Tadi, saya ke belakang meneleponnya”
“Di mana dia?”
“Dia sudah dalam oto, sedang menuju dermaga” katanya menerawang ke dinding kapal yang putih pudar. Lantas matanya kini difokuskan ke pemandangan di dekatnya. Seorang wanita muda.
“Terus , kamu? Suami kamu?”
Sumiyati tiba-tiba merapikan posisi duduknya. Kakinya yang tadi deselonjorkan ditarik dan tangannya memeluk lutut. Membayangkan suaminya yang kini tak jelas rimbanya di Negeri Melayu tetangga kita, Malaysia. Sejak bertahun-tahun, mencari nafkah adalah alasan yang memisahkan keluarga kecil itu. Kini, entah bagaimana kabarnya di sana.
“Jauh.”
“Kamu tidak ingat dia?”
“Tidak.”
“Lho?” Si Bapak melongo.
“Eh, jangan begitu. Kamu harus telepon dia.”
“Ah, tidak penting.” Suminah  sewot.
Menyesal memang, kenapa Tuhan tidak beri pria ini jadi suami saya? Mengeluh Suminah dalam hatinya. Ia lalu punya pikiran gila.
Lihat wajahnya, pria ini tampan di masa mudanya. Jadi pensaran juga mau lihat bagaimana rupa istrinya. Tapi pastilah. Sebentar, perahu pasti merapat. Pasti ada waktu untuk bisa melihat.
Celingukan sebentar, lihat apa anak saya tidak di dekat sini.
“Pak, mau tidak, kalau kamu menikah dengan saya?”
“Ah, tidak bisa.”
Kenapa?
Satu saja sudah susah begini, apalagi dua
Uh, lamarannya ditolak.
Kapal makin merepat menuju Nagekeo.
Setengah jam lagi. Begitu kumandang dari pengeras suara terdengar, Si Bapak bangkit. Meminta sedikit makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. Menuju kamar mandi, merapikan tubuhnya. Menyisir rambutnya.
Tak lama, ia muncul dari sana dengan wajah lebih terang dari warna bilah bilah sinar mentari dari jendela.
Kapal ternyata tak sempat sandar di pelabuhan. Hanya memakai perahu kecil untuk ke darat. Ketika pintu samping dibuka, Baga yang lebih dulu turun. Badannya yang kurus tampak menggelosot dari jaring yang dipakai untuk turunnya penumpang.
Dan di sinilah perpisahan  kita.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: