by S. M. Dosi
Pengeras suara mengumandang, menyuruh
setiap penumpang yang memegang tiket makan kelas ekonomi menuju pantry untuk
mengambil jatah makan mereka. Baga menggeliat. Tidurnya betul-betul tak nyaman,
tetapi ia memang hendak melelapkan matanya.
Usianya pria ini 50-an tahun. Tampak
sisa sisa ketampanan di wajahnya. Urat urat tangannya terlihat jelas. Pembuluh
nadi tampak menonjol dari pergelangan dan punggung tangannya. Kulitnya hitam
legam. Telapak tangannya kekuningan, menunjukkan detil-detil garis yang tampak
kontras di bawah cahaya lampu yang suram.
“Bangun, pak?” seorang wanita
di dekatnya menyentuh bahunya dan mengguncang sedikit. Sudah saatnya jam makan,
dan orang ini belum bangun juga. Gerutu Suminah, si wanita muda itu, dalam
hatinya.
“Uhm?” Baga menggeliat, tak menghiraukan Suminah,
tapi melihat penumpang lain yang beranjak menghindari kesesakan ruangan itu
menuju tempat di belakang kapal.
Ukuran ruangan kecil saja. Dibatasi
oleh sekat-sekat. Deru mesin terdengar seperti suara bariton. Angin menghembus
dari sela-sela jendela bulat, tetapi tak cukup kuat untuk mengusir udara yang
pengap. Terlalu banyak orang di ruangan sempit ini.
Melawan kemauan Suminah, Baga tetap tak bangun.
Ya Allah. Sudah sampai hari ketiga ini
ia tak makan sedikitpun. Setiap orang di kiri kanan heran. Tetapi yang tampak
peduli, hanya satu orang. Suminah, wanita muda ini. Terpaksa ia
peduli, bukan karena ia salah satu keluarganya, atau orang dekatnya. Ketemu pun
barusan tiga hari lalu, pas mereka dapat ruangan yang sama di kapal itu.
Hanya saja, rasa simpati bisa jadi
sifat lemah manusia. Kedekatan bisa terbangun begitu saja lantaran satu tempat
di perjalanan yang lama itu
dan persoalan-persoalan kecil yang terjadi.
Seperti pria di sisi tempat duduk Suminah. Sudah
selama perjalanan, ia tak kelihatan membuka kantung bekalnya.
Di hari pertama, sempat tampak sebuah bungkusan nasi di kursinya. Tak ia sentuh. Lantas, karena tampak mengering, bungkusan itu dibuang ke tempat sampah. Lalu hari berikutnya, makanan kering, seperti serbuk dari bahan tepung ubi atau jagung. Orang-orang melihat seorang gadis datang membawa itu. Ditaruh begitu saja di sisi si pria dengan sebuah biscuit dan air mineral. Hanya air kemasan botol yang tampak berkurang isinya.
Sedangnkan makanan tak dibuka.
“Makan, pak? Makan” Begitu selalu kata Suminah setiap jam makan tiba. Bukan. Bukan pamitan makan, tapi
menyuruhnya makan.
“Kenapa
ia tak makan?” pertanyaan penuh penasaran menggumam di tengah lautan, dalam
kapal yang sedang berlayar ke timur. Ini sebetulnya perjalanan yang tidak lama.
Kapal hanya baru saja meninggalkan pelabuhan Benoa, Bali. Lewat selat Sape,
masuk Lombok, Bima, kepulauan sekitar Komodo. Terus menuju Flores.
…….
Ini cerita saya. Saya orang Adonara, seorang ibu
rumah tangga. Barusan mudik ke kampung halaman orang tua saya di di Jawa Timur.
Beberapa bulan di sana, menemui sanak keluarga yang telah lama terpisah dan
hanya saling kontak di ponsel. Sama, di sana kami di pedesaan.
Saya ajak anak saya ikut serta. Ia sedang liburan sekolah SMK-nya.
Hanya berdua, perjalanan pergi pulang kami lalui via kapal laut. Meski lambat, itu cukup murah
untuk kami berdua, apalagi kondisi kantong tak mungkin untuk lewat udara.
Sejujurnya, saya tidak bisa
menikmati perjalanan ini. Berdesak-desakkan, penumpang yang bertumpuk-tumpuk
seperti ikan kering di los pasar, adalah pemandangan yang kurang manusiawi dari timur kita.
Pulangnya, kapal yang kami naiki sempat singgah di Nagekeo.
Ini cerita saya tentang seorang Bapak
yang begitu setia kepada sang istri. Sang bapak saya kenal di kapal itu.
Tahu dari mana kalau ia begitu
setia?
Istrinya ikut serta?
Bukan. Bukan begitu. Tidak ada
istrinya di sana.
Lantas, dari mana saya tahu?
Justru di sinilah ceritanya dimulai.
……………..
Baga
ternyata punya seorang anak yang bekerja di
Bali. Jadi pegawai di sebuah bandara. Dengan ayah yang bertani di kampung, si
anak ingin supaya orang tuanya tahu tentang keberadaannya di Bali, sekaligus
menyelesaikan sebuah keperluan
penting.
Hari itu, si anak meneleponnya supaya ia sejenak berkunjung ke kotanya.
Berat bagi Baga. Tak ingin sekalipun meninggalkan
kampung walau sehari saja. Tetapi ke Bali merupakan hal penting bagi si anak.
Mau tak mau. Baga sendiri harus ke sana
untuk mengurus sesuatu tentang rencana mendirikan rumah bagus di
kampung. Harus ada pertemuan berhadap-hadapan dengan sang anak. Urusan itu akan
segera selesai, dan Baga boleh kembali ke kampung, begitu
kata si anak di telepon, berulangkali. Karena itu, Baga pun akhirnya turuti kemauan anaknya.
Tanah Bali sudah di telapak kaki.
Tapi intensitas kesibukan yang tinggi di kota bukanlah hal yang ramah bagi Baga dan anaknya. Itu membuat urusan keduanya molor
sejadi-jadinya. Si anak punya kesibukan sendiri. Sementara Baga tidak bisa menunggu lama-lama di hunian. Ia tak sabaran ingin cepat pulang, tetapi
karena tujuan kedatangannya belum kesampaian, ia belum boleh pulang. Seminggu, belum selesai juga. Akan segera dibereskan, begitu kata anaknya selalu. Tapi ia malah terlihat makin sibuk dengan
pekerjaan pokoknya. Sebulan
berlalu, hingga akhirnya masuk bulan kedua.
Bersabar segera, bersabar seinggu, dan bersabar sebulan. Setiap hari,
Baga terus mengingatkan
anaknya untuk selesaikan urusan ini.
Atau ia
pulang. Tetapi sang anak ngotot, karena
sudah telanjur ke Bali, Baga tidak boleh pulang begitu saja. Tak ada kesempatan lagi di lain waktu
untuk urusan itu.
Memang, mengapa hendak cepat-cepat
pulang? Sergah si wanita muda.
“Oh tidak apa-apa. ” Cerita gadis remaja yang tampak muncul di situ. “Ia hanya ingat istrinya di kampung”.
Hening lama. Semuanya mendengarkan
aliran angin dan debur ombak. Juga deru mesin. Semua yakin, kapal akan makin
dekat ke daratan, ke kampung halaman mereka.
“Kamu keluarganya?”
“Hanya keluarga jauh, yang kebetulan
dalam satu perjalanan.”
“Oh, ya. Kamu teman perjalanannya” Sumiyati menyimpulkan.
“Seperti itulah”, si gadis tampak
memiringkan kepalanya, lalu mengangguk kecil.
Si gadis remajalah yang akhirnya
menceritakan semuanya ini.
Di kampungnya, semua putra-putri Baga sudah tidak bersamanya. Setelah sukses dengan sekolah tinggi, mereka mencari
rejeki jauh dari kampung halaman. Jadilah Baga
sendirian dengan istrinya, mengurusi ladang dan ternak
sebagai sumber penghidupan mereka sejak nenek moyang.
Sekali ini, Baga tampak ke bagian belakang kapal. Lama kemudian baru muncul. Baju kuningnya kentara di antara penumpang lain. Ia tinggi,
bahunya tampak lebar dan tulang lengannya tampak besar. Tapi ia kelihatan
begitu kurus. Kapal akan
tiba hari ini.
Sekali itu, pas hendak duduk, Suminah menyergapnya ketika ada kontak mata. Lalu ini percakapan mereka.
“Kamu ingat istri kamu yah”.
Si Bapak mengangguk pelan.
“Sudah kamu telepon?”
“Tadi, saya ke belakang
meneleponnya”
“Di mana dia?”
“Dia sudah dalam oto, sedang menuju
dermaga” katanya menerawang ke dinding kapal yang putih pudar. Lantas matanya kini
difokuskan ke pemandangan di dekatnya. Seorang wanita muda.
“Terus , kamu? Suami kamu?”
Sumiyati tiba-tiba merapikan posisi
duduknya. Kakinya yang tadi deselonjorkan ditarik dan tangannya memeluk lutut. Membayangkan suaminya yang kini tak
jelas rimbanya di Negeri Melayu tetangga kita, Malaysia. Sejak bertahun-tahun,
mencari nafkah adalah alasan yang memisahkan keluarga kecil itu. Kini, entah
bagaimana kabarnya di sana.
“Jauh.”
“Kamu tidak ingat dia?”
“Tidak.”
“Lho?” Si Bapak melongo.
“Eh, jangan begitu. Kamu harus
telepon dia.”
“Ah, tidak penting.” Suminah sewot.
Menyesal memang, kenapa Tuhan tidak
beri pria ini jadi suami saya? Mengeluh Suminah dalam hatinya. Ia lalu punya pikiran gila.
Lihat wajahnya,
pria ini tampan di masa mudanya. Jadi pensaran juga mau lihat bagaimana rupa
istrinya. Tapi pastilah. Sebentar, perahu pasti merapat. Pasti ada waktu untuk bisa melihat.
Celingukan sebentar, lihat apa anak
saya tidak di dekat sini.
“Pak, mau tidak, kalau kamu menikah
dengan saya?”
“Ah, tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Satu saja sudah susah begini, apalagi dua”
Uh, lamarannya ditolak.
Kapal makin merepat menuju Nagekeo.
Setengah jam lagi. Begitu kumandang
dari pengeras suara terdengar, Si Bapak bangkit. Meminta sedikit
makanan untuk mengisi perutnya yang kosong. Menuju kamar mandi, merapikan tubuhnya. Menyisir rambutnya.
Tak lama, ia muncul dari sana dengan
wajah lebih terang dari warna bilah bilah sinar mentari dari jendela.
Kapal ternyata tak
sempat sandar di pelabuhan. Hanya memakai
perahu kecil untuk ke darat. Ketika
pintu samping dibuka, Baga
yang lebih dulu turun. Badannya yang kurus tampak
menggelosot dari jaring yang dipakai untuk turunnya penumpang.
Dan di sinilah perpisahan kita.