Perpustakaan
Pledo saya dengar pertama kali waktu masih tinggal di Kupang. Saya masih ingat
waktu itu teman-teman kita dari Ikatan Mahasiswa Witihama (IMW) Kupang di bawah
komando Ama Trisno dan ama Nelis Tokan mengumpulkan sejumlah besar buku. Mereka
dekati perpustakaan Negara, Gramedia, Toko Buku Suci, dan juga warga untuk bisa
menyumbang buku. Dipaketkan dengan kegiatan seminar dan pameran pendidikan,
kegiatan mereka sukses terselenggara
di kampung. Sejumlah besar buku akhirnya disumbangkan ke
perpustakaan desa ini
untuk menambah koleksi.
Setidaknya
dari sinilah terdengar bahwa di Adonara terdapat juga perpustakaan desa selain
perpustakaan sekolah yang biasanya tidak dapat diakses umum. Selama ini, saya
hanya tahu ada Perpustakaan Daerah Flotim.
Sumber gambar: http://www.facebook.com/perpustakaan.witihama |
Pernah,
seorang pria sangat senang ketika saya beritahu bahwa buku yang saya pegang
saya pinjam di Perpusda. “Terimakasih ya. Akhirnya saya tahu kalau kita punya
perpustakaan di dekat sini” katanya cengengesan. Ia ‘orang asing’ bagi saya.
Mungkin lama menjalani masa hidupnya di luar. Padahal ketemunya di perjalanan
dengan perahu motor dari Larantuka ke Waiwadan. Pastinya ia tetangga kampung
saya.
Perpustakaan
daerah ini, waktu itu koleksinya tak banyak kalau tak dikatakan super minim.
Hanya ada beberapa buku tua, juga buku bekas anak kuliahan hukum dan humaniora.
Kini, kabarnya, letak perpustakaan ini telah pindah ke dekat pasar baru di Pohon
Bao. Sementara lokasi lama sudah dijadikan rumah makan. Kalau buku tamu masih
pakai yang lama, pasti nama saya masih ada di sana hehehe.
Ada tempat
baca-baca yang lainnya. Ini bacaan ringan buat anak-anak dan remaja. Bukan
perpustakaan, tetapi tempat persewaan buku dan majalah. Dulu, sering saya lama
mangkal di sana. Meski tak cukup banyak, hitung-hitung cukuplah bagi anak
sekolahan untuk mengisi waktu senggang. Ada bacaan novel, komik, juga majalah.
Waktu SMA, majalah HAI memang cukup menarik mata hingga sering saya pinjami.
Kini, persewaan buku itu tampaknya hilang dari bumi Larantuka.
Kembali ke
pokok kita, soal perpustakaan Pledo ini. Katanya, ide perpustakaan ini
datangnya dari para perantau di seberang lautan. Kak Hila, putra Witihama yang
kini berdomisili di benua tetangga, Australia. Dari sejumlah keterangan didapat
bahwa ide ini datang darinya. Ia juga sempat mengorganisir penggalangan dana
dan pengadaan fasilitas.
Hasilnya,
benar-benar mengagumkan. Salah satu ruangan di Kantor Desa Pledo dimanfaatkan menjadi perpustakaan ini. Lokasinya terletak tepat di bagian
depan, langsung tampak papan namanya terlihat dari lorong.
Karena
memendam keinginan untuk ke sana, sempat beberapa waktu lalu merapat ke lokasi tersebut. Kebetulan, seorang
teman yang sedang penelitian sedang mengambil data di sama, dan saya beralasan
menemaninya.
Ruangan
bersih, tertata rapi. Ada rak-rak buku tersusun merapat ke dinding. Buku-buku
dikelompokkan dalam kategori masing-masing. Seperti di perpustakaan lainnya,
setiap sampul dilengkapi dengan pernomoran katalog. Artinya, perpustakaan
kecil ini dikelola secara benar-benar professional. Tampak beberapa orang
sedang melihat-lihat koleksi itu ketika kami tiba pada Jumad pagi itu.
“Tidak
hendak masuk?” tanya
teman saya, yang
memang asli Witihama.
Saya hanya berat melangkah
karena papan nama itu tertulis ‘perpustakaan
desa’.
Dan saya bukan warga desa ini.
Seandainya
ada informasi bahwa ruangan tersebut boleh diakses umum, dari pagi saya sudah
di dalam sana, bukan duduk melongo di emperan sini sementaraa si teman pasang
aksi kayak wartawan perang, lengkap dengan kamera dan alat perekam sebesar ibu
jari di dalam sana. Dasar peneliti!
Para petugas
di sana ramah. Tampak dua wanita, mereka mungkin pengurus desa, beberapa pria,
dan kades sendiri yang sedang meladeni teman saya tadi.
Sekali, sang Kades
menanyakan apa urusan saya. ‘Menemani orang penelitian’ kata saya. Padahal,
mata saya dari tadi kentara melotot terus ke rak-rak buku di dalam sana.