Di tanah merah. Antar bocah unyu-unyu
yang SMP di seberang. Adik bungsu saya.
Laut di depan seperti
sungai besar. Daratan yang berhadapan ada dekat saja, sepuluh menit dengan
motor tempel mesin diesel kecil. Fasilitas kecil ini ramai dan sibuk. Memang,
lalulintas menyeberang kini makin ramai. Bahkan kini, sejumlah pegawai yang
menetap di Larantuka bolak-balik setiap hari kerja ke kantornya di Adonara.
Tiba di sana, disapa seseorang.
“Hei Bung!” melambai
dari tempatnya, menyebut nama saya.
Siapa ya?
Tubuh tegak proporsi pas,
kumis, jenggot, penampilan OK, tampang keren, dan tahu nama saya! Sepertinya saya tidak pernah kenal
orang ini sebelumnya.
Hm hm… akhirnya dia saya kenali juga dari suaranya. Yah, itu tuh. Kumis dan jenggot kreasi terbaru membuat tampangnya susah dikenali lagi.
“Hmm…. lagi rame-rame
nih” kata saya melihat sekeliling.
Ngobrol sejenak,
tanyakan tentang kabar kawan-kawan
lain satu tongkrongan semasa jadi pelajar. Sebetulnya, dia adik tingkat. Tapi tak salah jika di luar pintu kampus, orang masih berteman juga kan?
“Terus, kenapa dia di sini?”
Setahu saya, kampungnya di seberang laut.
Dia ada bisnis rupanya. Bantu bapaknya mengurus pengadaan buku
buku yang didanai oleh BOS dari
UPTD kecamatan kami. Mengisi waktu
lowong. Begitu ceritanya.
Ngobrol terus,
soal aktual seputar kami tentu saja.
“Setahu saya, dulu
Bupati Simon Hayon pernah bilang, kalau nanti ada peraturan yang mewajibkan
semua kontraktor, baik PT maupun CV di Flotim untuk punya tenaga tetap
berijazah teknik sebagai persyaratan tender proyek pembangunan. Gimana yah, kabarnya sekarang?” pertanyaan khas orang pulau untuk orang kabupaten.
“Yah, itu yang sedang
jalan kini. Saya sekarang lagi bantu di kerjaan itu, mengurus dokumen-dokumen
tender si Boss” katanya.
“Apa yang Boss kamu
urus?”
“Jalan raya…”
“Hmm baguslah”
Dia lantas berceritera
setelah menawari rokok. Thx, saya masih tetap tak merokok.
“Sebenarnya, info saya
tahu pas duduk minum-minum,” Teringat
perjamuan miras yang sering kami lakukan sekadar pelarian dari suasana kampus
yang penuh tekanan, “yah, kabarnya, mereka burtuh orang. Jadi saya masuk”
Boss-nya, yang punya
usaha toko besar di Larantuka, juga punya sebuah perusahan yang sering terikat
kontrak dengan pemerintah. Tender proyek.
Si Boss memang punya
duit-nya, tapi tidak punya orang yang lengkap untuk mengurus kerjaan itu. Saya
memang sempat baca di koran, tentang bagaimana kini segenap kontraktor mesti
mengurus dokumen tender secara online. Jadi, pertemuan person to person dengan orang PU tidak bisa lagi dilakukan. Kalau
dulu, kabarnya dokumen tender bahkan diurus oleh orang PU sendiri. Aneh kan?
Hehehe. Alur tender yang menyimpang, tanda KKN menjamur. Itu tadi, kontak person to person membuka peluang.
“Lalu, dipanggilah tenaga
ahli” katanya.
Hahahaha.
Memang tampangnya sih
bukan tenaga ahli banget. Celana
sobek-sobek, anting, gelang-gelang, dan acak-acakan.
Tapi dia punya ijazah
itu. Ijazah tenaga ahli.
Kabar mengejutkan, dia
ternyata lulus semester dua belas. Cukup cepat untuk ukuran kampus kami, teknik
mesin. Yah, ini kampus semacam perangkap yang menarik minat. Gampang masuk,
tidak gampang keluar.
Waktu tercepat untuk
lulus adalah lima tahun. Anda harus berotak brilian dan punya fasilitas lengkap
untuk bisa melakukannya. Dalam sejarah, belum genap jumlah orang-orang itu
dihitung dengan jari.
Berikutnya, semester
dua belas. Itu semester pecah rekor untuk istilah di angkatan kami. Saya
sendiri tamat di semester dua belas, dan bangga dicap pemecah rekor hehehe. Dan
waktu normalnya adalah semester empat belas. Tapi begitulah. Namanya juga
perjuangan hidup. Mesti ada seleksi.
Tak lama, dari depan
kami muncul perahu dengan muatan dus dus. Jam kerjanya dimulai. Mengawasi
pekerja memindahkan muatan ke mobil pick up. Ditemani seorang gadis, mungkin
karyawan rupanya.
Ok, back to bussines yah. Malam bae skeli.