Kamis, 07 Februari 2013

@Tanah Merah



Di tanah merah. Antar bocah unyu-unyu yang SMP di seberang. Adik bungsu saya.
Laut di depan seperti sungai besar. Daratan yang berhadapan ada dekat saja, sepuluh menit dengan motor tempel mesin diesel kecil. Fasilitas kecil ini ramai dan sibuk. Memang, lalulintas menyeberang kini makin ramai. Bahkan kini, sejumlah pegawai yang menetap di Larantuka bolak-balik setiap hari kerja ke kantornya di Adonara.
Tiba di sana, disapa seseorang.
“Hei Bung!” melambai dari tempatnya, menyebut nama saya.
Siapa ya?
Tubuh tegak proporsi pas, kumis, jenggot, penampilan OK, tampang keren, dan tahu nama saya! Sepertinya saya tidak pernah kenal orang ini sebelumnya.
Hm hm… akhirnya dia saya kenali juga dari suaranya. Yah, itu tuh. Kumis dan jenggot kreasi terbaru membuat tampangnya susah dikenali lagi.
“Hmm…. lagi rame-rame nih” kata saya melihat sekeliling.
Ngobrol sejenak, tanyakan tentang kabar kawan-kawan lain satu tongkrongan semasa jadi pelajar. Sebetulnya, dia adik tingkat. Tapi tak salah jika di luar pintu kampus, orang masih berteman juga kan?
“Terus, kenapa dia di sini?”
Setahu saya, kampungnya di seberang laut. 
Dia ada bisnis rupanya. Bantu bapaknya mengurus pengadaan buku buku yang didanai oleh BOS dari UPTD kecamatan kami. Mengisi waktu lowong. Begitu ceritanya.
Ngobrol terus, soal aktual seputar kami tentu saja.
“Setahu saya, dulu Bupati Simon Hayon pernah bilang, kalau nanti ada peraturan yang mewajibkan semua kontraktor, baik PT maupun CV di Flotim untuk punya tenaga tetap berijazah teknik sebagai persyaratan tender proyek pembangunan. Gimana yah, kabarnya sekarang?” pertanyaan khas orang pulau untuk orang kabupaten.
“Yah, itu yang sedang jalan kini. Saya sekarang lagi bantu di kerjaan itu, mengurus dokumen-dokumen tender si Boss” katanya.
“Apa yang Boss kamu urus?”
“Jalan raya…”
“Hmm baguslah”
Dia lantas berceritera setelah menawari rokok. Thx, saya masih tetap tak merokok.
“Sebenarnya, info saya tahu pas duduk minum-minum,” Teringat perjamuan miras yang sering kami lakukan sekadar pelarian dari suasana kampus yang penuh tekanan, “yah, kabarnya, mereka burtuh orang. Jadi saya masuk”
Boss-nya, yang punya usaha toko besar di Larantuka, juga punya sebuah perusahan yang sering terikat kontrak dengan pemerintah. Tender proyek.
Si Boss memang punya duit-nya, tapi tidak punya orang yang lengkap untuk mengurus kerjaan itu. Saya memang sempat baca di koran, tentang bagaimana kini segenap kontraktor mesti mengurus dokumen tender secara online. Jadi, pertemuan person to person dengan orang PU tidak bisa lagi dilakukan. Kalau dulu, kabarnya dokumen tender bahkan diurus oleh orang PU sendiri. Aneh kan? Hehehe. Alur tender yang menyimpang, tanda KKN menjamur. Itu tadi, kontak person to person membuka peluang.
“Lalu, dipanggilah tenaga ahli” katanya.
Hahahaha.
Memang tampangnya sih bukan tenaga ahli banget. Celana sobek-sobek, anting, gelang-gelang, dan acak-acakan.
Tapi dia punya ijazah itu. Ijazah tenaga ahli.
Kabar mengejutkan, dia ternyata lulus semester dua belas. Cukup cepat untuk ukuran kampus kami, teknik mesin. Yah, ini kampus semacam perangkap yang menarik minat. Gampang masuk, tidak gampang keluar.
Waktu tercepat untuk lulus adalah lima tahun. Anda harus berotak brilian dan punya fasilitas lengkap untuk bisa melakukannya. Dalam sejarah, belum genap jumlah orang-orang itu dihitung dengan jari.
Berikutnya, semester dua belas. Itu semester pecah rekor untuk istilah di angkatan kami. Saya sendiri tamat di semester dua belas, dan bangga dicap pemecah rekor hehehe. Dan waktu normalnya adalah semester empat belas. Tapi begitulah. Namanya juga perjuangan hidup. Mesti ada seleksi.
Tak lama, dari depan kami muncul perahu dengan muatan dus dus. Jam kerjanya dimulai. Mengawasi pekerja memindahkan muatan ke mobil pick up. Ditemani seorang gadis, mungkin karyawan rupanya.
Ok, back to bussines yah. Malam bae skeli.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: