Satu
lagi novel yang lahir dari tangan penulis yang adalah putra-putra Lamaholot.
Setelah Bang Yos Gerard dengan Petra, Ama Pion Ratuloly dengan Atma, Inyo Soro
dengan Belis Imamat, kini muncul Ama Kopong Bunga Lamawuran dengan Rumah
Lipatan.
Novel-novel
musim pancaroba, atau meminjam ungkapan Pak Marsel Robot ‘masa puber sastra’ ini
turut meramaikan dunia kepengarangan di NTT kita. Begitu pula yang dikatakan
Pak Yan Sehandi dalam ulasannya di sebuah koran lokal.
Dengan kemunculan karya ini pun turut menyentak kesadaran bahwa di tengah kemahajayaan satra lisan dan seni pertunjukkan, sastra tulis merupakan sebuah keniscayaan yang mesti hadir. Pun kita saksikan bagaimana kehidupan sehari-hari adalah inspirasi yang tak terduga untuk mengukir serentetan kisah ini.
Dengan kemunculan karya ini pun turut menyentak kesadaran bahwa di tengah kemahajayaan satra lisan dan seni pertunjukkan, sastra tulis merupakan sebuah keniscayaan yang mesti hadir. Pun kita saksikan bagaimana kehidupan sehari-hari adalah inspirasi yang tak terduga untuk mengukir serentetan kisah ini.
Novel
Rumah Lipatan justru dibuka dari akhir kisah dalam bab epilog. Tentang seorang
pemuda yang harus meninggalkan realitas karena idealismenya. Kampus adalah
sebuah realitas absurd yang coba ia jalani, hal mana yang bertabrakan dengan
idealisme akan kebebasan berkreasi. Ide tentang kebebasan, terutama kebebasan
berpikir tanpa tekanan apapun yang mengungkung, serta sebuah percaturan bahwa
pencaharian akan kebenaran adalah yang terutama merupakan inti yang coba
dikedepankan oleh si pengarang.
Selepas
bab prolog, pembaca tentu sudah bisa bertanya-tanya, hal apa yang menyebabkan
tokoh yang menggunakan gaya orang pertama tunggal ini meninggalkan sebuah
kegiatan yang merupakan kewajiban yang dilekatkan padanya? Padahal, berada di ruang belajar dengan satu
dua variasi aktivitasnya adalah tuntutan yang lahir dari kesadaran massal,
tuntutan keluarga, juga tuntutan ‘masyarakat’. Dari titik ini, pembaca dapat
menelusuri semacam kumpulan kisah-kisah seputar lingkungan pelajar sekolah
tinggi yang berujung pada musabab ‘tragedi’ pada epilog tadi. Di tengah-tengah
cerita, diungkapkan bagaimana pelaku berusaha mengembalikan lingkungan kampus
tersebut ke asalnya, menjadi ruangan pembebasan kemampuan berpikir manusia,
bukannya sebagai sarana untuk melanggengkan keinginan dangkal akan kepastian
masa depan dalam struktur masyarakat kita. Meski secara kronologis si tokoh ‘aku’ tampaknya gagal, tetapi secara
ide ia menang sambil menunggu waktu yang tepat. Dan di bab terakhir, kita
digiring kembali untuk mengingat bab pembuka dengan nama prolog tadi.
Pentas
cerita, baik secara geografis maupun mental masih ingin memberi kita kesan tentang
pertarungan ide yang sering bertabrakan dengan kenyataan. Tentang bagaimana
kampus yang diidealkan sebagai tempat pembebasan bagi wacana ilmiah, kini telah
dibelenggu dalam aturan-aturan periferal yang secara simbolis justru mengikat
kebebasan itu.
Memang,
pentas dengan latar ini barangkali jamak kita temui. Setelah Inyo soro dengan
belis imamat-nya menceritakan kehidupan pelajar berasrama, Ama pion pun menulis
tentang pelajar seniman dalam novel Atma. Belum lagi bung Yos Gerard yang
menuliskan hal yang hampir serupa di Petra. Lalu kali ini, di novel terbitan
tahun 2012 ini. Semuanya tentang kehidupan yang lekat dengan kelas dalam
gelombang baru di timur kita, yaitu kalangan terpelajar di seputar lingkungan
mereka. Di sini dapat disimpulkan bahwa kalangan penulis telah cukup mengekspos
latar ini. Selanjutnya, apresiasi pembaca akan menentukan bahwa apa yang
diangkat layak mendapat tempat atau bukan.
Menghakimi sang ayah.
Analisa
lain memandang bagaimana para pelaku dalam novel mendukung serta menentang ide
si penulis tentang apa yang dipandang baik secara moral cerita. Dan cerita
novel ini mengisahkan tentang pemberontakan sang anak, di lingkungan di mana
ada dominasi oleh seorang tokoh yang kental dalam alam paternalistik kita. Sang
professor yang merupakan ayah atas segala-galanya, yang maha tahu tentang
segala apa yang baik.
Menghakimi
sang ayah sebagai tokoh patriakal adalah kutipan bernas dari Totem and Taboonya
Freud. Saya coba mengulang apa yang dikatakan oleh Sil Hurint dalam nada
mengobrol di tengah sebuah even sastra beberapa saat lalu: sang ayah harus
dimatikan untuk kebebasan anak-anaknya.
Dalam
novel ini, tokoh utama ‘aku’ memandang sang ayah layak dihakimi dalam
keterbukaan. Tetapi sang ayah yang tampil menterang, nyatanya gagal diperlakukan
sedemikian. Keberadaannya: Professor Dorio yang terlalu mendominasi adalah ancaman
bagi kebesaran sang anak: si mahasiswa. Lalu, si tokoh utama digambarkan tanpa
kesepakatan sedikitpun dengan kaumnya, coba menghakimi tokoh patriakal ini
dengan sarana sederhana: sebuah puisi.
Watak pencerita
Tak
terhindarkan bahwa kita dibentuk dalam kultur masyarakat pencerita, bukan
kultur penulis. Begitu pula kecendrungan siapapun yang lahir dari latar demikian.
Dalam kultur ini, momen pertemuan berhadap-hadapan yang intens akan memungkinkan
‘watak pencerita’ kita lebih dominan dibanding dengan ‘watak penulis’. Kultur
pencerita memang berbeda manifestasinya meski kemudian ditulis. Ketika
seseorang berceritera dikelilingi teman-temannya, maka isi ceriteranya boleh
jadi hanya berupa hal-hal khusus yang dapat dimengerti dalam konteks di sekitar
mereka saja, dengan latar maupun informasi tambahan yang sudah sama-sama
dimaklumi dan tidak perlu lagi diungkapkan. Di sana, pencerita boleh leluasa
berceritera dengan konteks tersebut yang dipahamai dengan gamblang oleh
orang-orang yang mengelilinginya secara fisik.
Berbeda dengan kulktur penulis, ia harus merebut pembacanya (bukan
pendengarnya), dan demikian mesti menyajikannya dalam bentuk sepopuler mungkin.
Ia mesti bisa menjangkau pemahaman pihak yang paling awam sekalipun tentang
dunia yang ditampilkan dalam novel, juga dalam jangkauan jarak ruang dan mental
yang terpisah jauh sekalipun.
Dan
dalam karya ini, justru watak penceritalah yang muncul dengan segar bugarnya.
Watak kepengarangan ini dapat dikatakan sebagai titik menyulitkan untuk
memahami isi novel ini dalam sekali baca. Indikasinya, seperti dikatakan di
atas, adalah tampilnya sejumlah hal teknis yang hanya dimengerti oleh sekelompok
orang. Misalnya obrolan tela’ah tetralogi Pulau Buruh-nya si Pram yang diniatkan
sebagai penegas bahwa si tokoh aku adalah orang yang punya apresiasi terhadap
sastra. Tetapi bagi sebagian orang, justru ia harus dulu memahamai novel-novel Pram
itu untuk bisa mendalami isi novel Rumah Lipatan. Tak populis tentu. Kejamnya,
pengarang menganggap semua pembaca sudah sepenuhnya memahami konteks tersebut.
Ada juga
satu dua kesulitan lainnya. Untuk novel yang yang ‘waktu cerita’ dan ‘waktu
bercerita’-nya relatif singkat ini dapat dilihat ada terlalu banyaknya pelaku.
Jika didaftarkan, ada lebih dari sepuluh pelaku yang berebutan untuk dibuat
penokohan mereka masing-masing. Dengan jumlah ini, maka porsi untuk menegaskan
penokohan si ‘aku’ jadi berkurang, dan
juga di lain pihak energi penulis untuk mewujudkan ide cerita jadi terkuras.
Tokoh-tokoh
tambahan memang utamanya diarahkan untuk menegaskan penokohan si aku. Manfaat
mereka, yah untuk menceritakan si ‘aku’ dari pandangan orang lain ketimbang menulis
monolog si ‘aku’ dan semacamnya. Misalnya keberadaan Bhima. Apalagi, ketahuan
kalau Bhima sendiri adalah tetangga dari tokoh aku. Contohnya pula, daripada menggambarkan
setelan pakaian si ‘aku’ dari sudut pandangnya sendiri secara monolog, akan
lebih hidup jika dipakai sudut pandang orang lain lagi, si Bibi. “Kau lebih rapi hari ini,” ucap bibi saat
aku mendekati meja makan. Dengan senyum tipis, kuambil sepotong ubi goreng
buatannya dan bergegas pergi. Tentu saja, tentang bagaimana keberadaan si
bibi ini tidak usah diurai lebih jauh lagi kecuali untuk menokohkan si ‘aku’
ini.
………
Meski
ada titik sulit dalam karya ini seperti yang diungkapkan di atas, bagi saya ada
dua hal yang mesti dilihat dalam karya ini. Pertama, sisi teknis karya, tentang
bentuk karya yang dibuat, bagaimana konstruksinya, kuat dan lemahnya karya, dan
lainnya. Tetapi ada sisi lainnya yang kedua, isi karya, yaitu tentang apa yang ingin ditampilkan
dalam karya. Kita dapat melihanya antara lain sisi dokumentasi sosial. Coba
kita kenang misalnya ide semacam ‘license to kill’ dalam novel Fyodor Destoyefsky
‘Kejahatan dan Hukuman’, pada saat mula-mula ditulis tak sekalipun dilirik.
Novel ini dihargai sebagai mahakarya justru jauh setelah kematian sang
penulis. Tentulah, di sana ada banyak
dokumentasi yang mengungkapkan apa yang terjadi pada jamannya langsung dari
pelaku, bukannya dari telaah ilmiah.
Tentang Kritik
Kritik
sastra membuat kita dapat menimbang-nimbang di mana letak karyanya dalam
percaturan karya, tidak hanya dalam skala NTT, hal mana yang selama ini
terjadi, tetapi juga dalam scope yang lebih luas, semisal penggolongan karya
serta lingkup pembaca, peringkat-peringkat kronologis ‘era’, dan lainnya.
Bersama Pak Yan Sehandi dengan opininya, kita sekalian masih menunggu. Tentu
saja masih boleh sambil membahas secara debat kusir untuk kemudian mendapat
palu kesepahaman dari para punggawa sastra kita, para kritikus. Tentang kritik
inipun lebih kita maknai sebagai pembebasan, bukan alat pengikatan kepada
pakem-pakem mapan. Kritik yang mengarah pada pembebasan akan membuat para
pekarya menjadi lebih mampu menghasilkan ciptaannya.
Selamat berpendapat.
Kurang dan lebihnya dengan terbuka mari kita wacanakan.
Simpet
Soge