Rabu, 10 Juli 2013

Sekilas tentang Novel Rumah Lipatan



 Satu lagi novel yang lahir dari tangan penulis yang adalah putra-putra Lamaholot. Setelah Bang Yos Gerard dengan Petra, Ama Pion Ratuloly dengan Atma, Inyo Soro dengan Belis Imamat, kini muncul Ama Kopong Bunga Lamawuran dengan Rumah Lipatan.
Novel-novel musim pancaroba, atau meminjam ungkapan Pak Marsel Robot ‘masa puber sastra’ ini turut meramaikan dunia kepengarangan di NTT kita. Begitu pula yang dikatakan Pak Yan Sehandi dalam ulasannya di sebuah koran lokal.
Dengan kemunculan karya ini pun turut menyentak kesadaran bahwa di tengah kemahajayaan satra lisan dan seni pertunjukkan, sastra tulis merupakan sebuah keniscayaan yang mesti hadir. Pun kita saksikan bagaimana kehidupan sehari-hari adalah inspirasi yang tak terduga untuk mengukir serentetan kisah ini.
Novel Rumah Lipatan justru dibuka dari akhir kisah dalam bab epilog. Tentang seorang pemuda yang harus meninggalkan realitas karena idealismenya. Kampus adalah sebuah realitas absurd yang coba ia jalani, hal mana yang bertabrakan dengan idealisme akan kebebasan berkreasi. Ide tentang kebebasan, terutama kebebasan berpikir tanpa tekanan apapun yang mengungkung, serta sebuah percaturan bahwa pencaharian akan kebenaran adalah yang terutama merupakan inti yang coba dikedepankan oleh si pengarang.
Selepas bab prolog, pembaca tentu sudah bisa bertanya-tanya, hal apa yang menyebabkan tokoh yang menggunakan gaya orang pertama tunggal ini meninggalkan sebuah kegiatan yang merupakan kewajiban yang dilekatkan padanya?  Padahal, berada di ruang belajar dengan satu dua variasi aktivitasnya adalah tuntutan yang lahir dari kesadaran massal, tuntutan keluarga, juga tuntutan ‘masyarakat’. Dari titik ini, pembaca dapat menelusuri semacam kumpulan kisah-kisah seputar lingkungan pelajar sekolah tinggi yang berujung pada musabab ‘tragedi’ pada epilog tadi. Di tengah-tengah cerita, diungkapkan bagaimana pelaku berusaha mengembalikan lingkungan kampus tersebut ke asalnya, menjadi ruangan pembebasan kemampuan berpikir manusia, bukannya sebagai sarana untuk melanggengkan keinginan dangkal akan kepastian masa depan dalam struktur masyarakat kita. Meski secara kronologis si  tokoh ‘aku’ tampaknya gagal, tetapi secara ide ia menang sambil menunggu waktu yang tepat. Dan di bab terakhir, kita digiring kembali untuk mengingat bab pembuka dengan nama prolog tadi.
Pentas cerita, baik secara geografis maupun mental masih ingin memberi kita kesan tentang pertarungan ide yang sering bertabrakan dengan kenyataan. Tentang bagaimana kampus yang diidealkan sebagai tempat pembebasan bagi wacana ilmiah, kini telah dibelenggu dalam aturan-aturan periferal yang secara simbolis justru mengikat kebebasan itu.
Memang, pentas dengan latar ini barangkali jamak kita temui. Setelah Inyo soro dengan belis imamat-nya menceritakan kehidupan pelajar berasrama, Ama pion pun menulis tentang pelajar seniman dalam novel Atma. Belum lagi bung Yos Gerard yang menuliskan hal yang hampir serupa di Petra. Lalu kali ini, di novel terbitan tahun 2012 ini. Semuanya tentang kehidupan yang lekat dengan kelas dalam gelombang baru di timur kita, yaitu kalangan terpelajar di seputar lingkungan mereka. Di sini dapat disimpulkan bahwa kalangan penulis telah cukup mengekspos latar ini. Selanjutnya, apresiasi pembaca akan menentukan bahwa apa yang diangkat layak mendapat tempat atau bukan.

Menghakimi sang ayah.
Analisa lain memandang bagaimana para pelaku dalam novel mendukung serta menentang ide si penulis tentang apa yang dipandang baik secara moral cerita. Dan cerita novel ini mengisahkan tentang pemberontakan sang anak, di lingkungan di mana ada dominasi oleh seorang tokoh yang kental dalam alam paternalistik kita. Sang professor yang merupakan ayah atas segala-galanya, yang maha tahu tentang segala apa yang baik.
Menghakimi sang ayah sebagai tokoh patriakal adalah kutipan bernas dari Totem and Taboonya Freud. Saya coba mengulang apa yang dikatakan oleh Sil Hurint dalam nada mengobrol di tengah sebuah even sastra beberapa saat lalu: sang ayah harus dimatikan untuk kebebasan anak-anaknya.
Dalam novel ini, tokoh utama ‘aku’ memandang sang ayah layak dihakimi dalam keterbukaan. Tetapi sang ayah yang tampil menterang, nyatanya gagal diperlakukan sedemikian. Keberadaannya: Professor Dorio yang terlalu mendominasi adalah ancaman bagi kebesaran sang anak: si mahasiswa. Lalu, si tokoh utama digambarkan tanpa kesepakatan sedikitpun dengan kaumnya, coba menghakimi tokoh patriakal ini dengan sarana sederhana: sebuah puisi.

Watak pencerita
Tak terhindarkan bahwa kita dibentuk dalam kultur masyarakat pencerita, bukan kultur penulis. Begitu pula kecendrungan siapapun yang lahir dari latar demikian. Dalam kultur ini, momen pertemuan berhadap-hadapan yang intens akan memungkinkan ‘watak pencerita’ kita lebih dominan dibanding dengan ‘watak penulis’. Kultur pencerita memang berbeda manifestasinya meski kemudian ditulis. Ketika seseorang berceritera dikelilingi teman-temannya, maka isi ceriteranya boleh jadi hanya berupa hal-hal khusus yang dapat dimengerti dalam konteks di sekitar mereka saja, dengan latar maupun informasi tambahan yang sudah sama-sama dimaklumi dan tidak perlu lagi diungkapkan. Di sana, pencerita boleh leluasa berceritera dengan konteks tersebut yang dipahamai dengan gamblang oleh orang-orang yang mengelilinginya secara fisik.  Berbeda dengan kulktur penulis, ia harus merebut pembacanya (bukan pendengarnya), dan demikian mesti menyajikannya dalam bentuk sepopuler mungkin. Ia mesti bisa menjangkau pemahaman pihak yang paling awam sekalipun tentang dunia yang ditampilkan dalam novel, juga dalam jangkauan jarak ruang dan mental yang terpisah jauh sekalipun.
Dan dalam karya ini, justru watak penceritalah yang muncul dengan segar bugarnya. Watak kepengarangan ini dapat dikatakan sebagai titik menyulitkan untuk memahami isi novel ini dalam sekali baca. Indikasinya, seperti dikatakan di atas, adalah tampilnya sejumlah hal teknis yang hanya dimengerti oleh sekelompok orang. Misalnya obrolan tela’ah tetralogi Pulau Buruh-nya si Pram yang diniatkan sebagai penegas bahwa si tokoh aku adalah orang yang punya apresiasi terhadap sastra. Tetapi bagi sebagian orang, justru ia harus dulu memahamai novel-novel Pram itu untuk bisa mendalami isi novel Rumah Lipatan. Tak populis tentu. Kejamnya, pengarang menganggap semua pembaca sudah sepenuhnya memahami konteks tersebut.
Ada juga satu dua kesulitan lainnya. Untuk novel yang yang ‘waktu cerita’ dan ‘waktu bercerita’-nya relatif singkat ini dapat dilihat ada terlalu banyaknya pelaku. Jika didaftarkan, ada lebih dari sepuluh pelaku yang berebutan untuk dibuat penokohan mereka masing-masing. Dengan jumlah ini, maka porsi untuk menegaskan penokohan si ‘aku’ jadi berkurang,  dan juga di lain pihak energi penulis untuk mewujudkan ide cerita jadi terkuras.
Tokoh-tokoh tambahan memang utamanya diarahkan untuk menegaskan penokohan si aku. Manfaat mereka, yah untuk menceritakan si ‘aku’ dari pandangan orang lain ketimbang menulis monolog si ‘aku’ dan semacamnya. Misalnya keberadaan Bhima. Apalagi, ketahuan kalau Bhima sendiri adalah tetangga dari tokoh aku. Contohnya pula, daripada menggambarkan setelan pakaian si ‘aku’ dari sudut pandangnya sendiri secara monolog, akan lebih hidup jika dipakai sudut pandang orang lain lagi, si Bibi. “Kau lebih rapi hari ini,” ucap bibi saat aku mendekati meja makan. Dengan senyum tipis, kuambil sepotong ubi goreng buatannya dan bergegas pergi. Tentu saja, tentang bagaimana keberadaan si bibi ini tidak usah diurai lebih jauh lagi kecuali untuk menokohkan si ‘aku’ ini.
………
Meski ada titik sulit dalam karya ini seperti yang diungkapkan di atas, bagi saya ada dua hal yang mesti dilihat dalam karya ini. Pertama, sisi teknis karya, tentang bentuk karya yang dibuat, bagaimana konstruksinya, kuat dan lemahnya karya, dan lainnya. Tetapi ada sisi lainnya yang kedua, isi karya,  yaitu tentang apa yang ingin ditampilkan dalam karya. Kita dapat melihanya antara lain sisi dokumentasi sosial. Coba kita kenang misalnya ide semacam ‘license to kill’ dalam novel Fyodor Destoyefsky ‘Kejahatan dan Hukuman’, pada saat mula-mula ditulis tak sekalipun dilirik. Novel ini dihargai sebagai mahakarya justru jauh setelah kematian sang penulis.  Tentulah, di sana ada banyak dokumentasi yang mengungkapkan apa yang terjadi pada jamannya langsung dari pelaku, bukannya dari telaah ilmiah.

Tentang Kritik
Kritik sastra membuat kita dapat menimbang-nimbang di mana letak karyanya dalam percaturan karya, tidak hanya dalam skala NTT, hal mana yang selama ini terjadi, tetapi juga dalam scope yang lebih luas, semisal penggolongan karya serta lingkup pembaca, peringkat-peringkat kronologis ‘era’, dan lainnya. Bersama Pak Yan Sehandi dengan opininya, kita sekalian masih menunggu. Tentu saja masih boleh sambil membahas secara debat kusir untuk kemudian mendapat palu kesepahaman dari para punggawa sastra kita, para kritikus. Tentang kritik inipun lebih kita maknai sebagai pembebasan, bukan alat pengikatan kepada pakem-pakem mapan. Kritik yang mengarah pada pembebasan akan membuat para pekarya menjadi lebih mampu menghasilkan ciptaannya.
Selamat berpendapat. Kurang dan lebihnya dengan terbuka mari kita wacanakan.

Simpet Soge

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: