Buku
kumpulan puisi ini saya dapat dari anak Timor, Bung Deo Parera yang sengaja
datang jauh-jauh ke Larantuka untuk
menghadiri sebuah event sastra. Ada sembilan puluh puisi Bung
Ishack Sonlay dalam buku ini.
Coba lihat
baris demi baris yang saya kutip dari salah satu halaman:
“Lampara di pantai Timor
Tempat kita gantung kaki
Nyanyi Sioh Mama
Sambil hitung ikan dan lontar
Dua hari lalu ada pesta di Salore
Sakit hati e, lihat orang menari bertukar pantun
Sambil bernyanyi tanam jagung….”
Jadi…… kalau
mau buku kumpulan puisi yang citarasa temporer ‘Tana Timor’ -nya kena, ini dia nih salah satunya. Sempat saya bilang temporer karena
sebagian besar puisi masih suntuk dengan suasana di era belakangan dengan gaya
bahasa yang lumayan populer dan mendapat imbas mass media. Sehingga kalau mau
cari konotasi yang diakrabi oleh sastra lisan setempat yang umurnya telah puluhan atau
ratusan tahun, maka buku ini belum begitu menjawab. Memang, meski dengan isi
yang menceritakan kehidupan kepulauan kita, langkah sang penulis telah jadi
loncatan yang jauh melewati jejak pendahulunya: puisi lisan. Jenis yang disebut belakangan selalu
terikat dengan irama serta rima. Lagipula, jenis ini masih nyaman dengan bentuknya semula dan belum lanjut melangkah, dan
kelihatan bahwa apresiasi sastra ini mulai pudar di kalangan generasi yang begitu terkooptasi
dengan pendidikan ala tradisi literaris Barat.
Sempat dalam
obrolan dengan Ama Pion Ratuloly dalam event yang sama, puisi lisan sering
dibawakan dalam peristiwa-peristiwa titik balik kehidupan manusia seperti pada acara
perkabungan di mana ada kehadiran sejumlah besar orang. Memang, bentuk lisan
membuatnya diapresiasi terbatas pada peristiwa-peristiwa tersebut. Peralihan
ke bentuk literal tampaknya perlu usaha tambahan dan kreatifitas, dan terutama
didahului identifikasi ilmiah (dan ini bukan beban kerjanya sastrawan!) ke
dalam jenis-jenis tertentu sastra daerah dengan bahasanya masing-masing. Tetapi
yang nyata, ikatan penciptaan sastra ini dalam irama dan rima dikenal dalam
wilayah tradisi manapun.
Walau dengan
setumpuk fakta di atas, keberadaan terbitan serupa “Kuyub Basahmu” ini masih
jadi barang langka karena buku-buku sastra dari jenis maupun segmen pendukung
budaya secara teritori wilayah ini nyatanya masih jarang kalau tidak kita
katakan sukar kita jumpai.
Mengenal
negeri ini
bisa kita lakukan
dengan melewati
lorong-lorong mempesona yang penuh jejak para seniman kita: puisi. Dan kalau
adik-adik atau anak-anak kita boleh kita ajak menelusuri jejak-jejak tersebut,
buku ini cocok untuk hadiah ulang tahun mereka. (Kok melantur yah J)
Judul : Kuyub Basahmu
Penulis : Ishack Sonlay
Penerbit : Indie Book Corner, Yogya.
Cet I : 2013
Jumlah
halaman : 92+xxi
ISBN : 978-602-95-3