Senin, 27 Januari 2014

Kue Rambut

Gambar: http://indonesia.travel

Pagi-pagi buta, seperti hari-hari sebelumnya, Tanta Melly sudah bangun. Pukul lima. Tepung beras putih yang dibeli siang kemarin sudah dicampur air dan gula. Adonan kental itu kemudian dituang ke dalam wadah kaleng susu yang telah dilubangi kecil-kecil, meleleh turun seperti rambut dan masuk dalam wajan dengan minyak mendidih. Sepanjang malam tadi pun Tanta telah bekerja, dan pagi itu empat puluh potong kue rambut sudah siap di meja besar. Beberapa potong yang masih panas tampak mengeluarkan uap.
Jika di dapur terlihat sibuk, kamar belakang juga mulai bangun dari aktifitas. Di sana jadi tempat hunian beberapa remaja putra. Anak-anak kost dari desa yang datang dan  bersekolah di kota kecil ini. Mereka ada beberapa orang, dan dua orang darinya mendapat tugas untuk membantu Tanta berjualan. Satu anak culun dengan rambut keriting. Popi.
Dinding dapur Tanta layaknya pajangan banyak peralatan. Mal kue kembang goyang, wajan, dan kotak pemanas dari seng serta sejumlah jenis wadah. Benda-benda itu jarang ditemui di rumah-rumah kebanyakan. Popi ingin tahu darimana Tanta mendapatkan barang-barang itu, tetapi tidak mudah untuk menanyakannya. Enggan. Sama enggannya untuk tahu kenapa tanta Melly yang masih muda itu tidak menikah lagi setelah mendiang suaminya berpulang. Yang ia perlu tahu adalah membantu Tanta sebaik mungkin.
Kampungtua tempat tinggal tanta Melly adalah bagian dari sebuah kota kecil. Orang-orang dari gunung setiap di hari ramai-ramai ke kota ini, di mana Tanta pun ikut berjualan kue di sana. Tertarik dengan  pusat keramaian sejak jaman baheula, pemerintah mendirikan kantor-kantor mereka di sini, yang juga menarik datang para pedagang membuka usaha.
Orang-orang yang sehari-harinya bergiat di sini banyak yang menjadi pelanggan tanta Melly. Kue rambut buatannya sudah dikenal sejak lama. Jika seorang remaja muka baru tampak menjual kue rambut, orang pasti akan bertanya, apa ini buatan tanta Melly? Jika iya, pasti laris.
Pagi ini pun Tanta sama sibuknya. Kayu bakar ia potong, masukkan ke anglo, wajan besar yang mendesis dengan minyak panas terdengar dari kamar belakang. Usai kesibukannya itu, ia melongok ke bagian belakang rumah.
 “Sepi saja di sini sepanjang kemarin sore. Ke mana saja kalian?”
Popi tengadah. “Oh, Tanta. Kami mencari kayu. Menelusuri jalan tiga, masuk di bawah perdu-perdu, dan mengambil apa saja yang disediakan alam” panjang lebar ucapannya seperti penyiar RSPD membacakan warta desa.
Tanta Melly menengok ke samping. Benar. Ada cabang-cabang pohon kesambi kering di sana. Tumpukannya menggunung di halaman samping. Dua ikat kayu kering tampaknya baru didatangkan, empat potong cabang besar dan ranting-ranting kecil, terikat dengan tali dari tumbuhan rambat hijau. Akan cukup untuk dua hari masak memasak.
“Hmm, bagus. Tetapi waktu makan semalam, kenapa tidak memberitahu?”
“Kejutan!” satu kata saja dari Popi.
“Jangan selalu sendirian ke kebun-kebun itu. Lebih baik ajak serta temanmu”
Popi tentu tahu, meski sejak awal sekolah dasar ia sudah tinggal di Kampungtua, ia tetap bukan putra desa ini. Jadi, tak banyak petani desa yang punya kebun di jalan tiga untuk kenal baik dirinya. Berbeda dengan sejumlah teman yang terlahir di kampung tua, yang turun-temurun telah dikenal baik.
 “Iya, bik, kemarin saya diajak Lewiju ke sana”
Senyum tipis di wajah Tanta. Ia angkat lengannya dengan jari-jari terkepal di dada dan bergerak seperti memukul. Isyarat khas tanta Melly yang kira-kira sama dengan ‘two thumbs up’.
 “Sudah. Itu barang-barangmu di meja besar. Pergilah, sekarang jamnya untuk orang-orang mengopi.” Tanta menutup brifing paginya lalu ngeloyor pergi.
Dalam seminggu, Popi tiga kali jualan keliling kampung ini pagi-pagi sebelum ke sekolah. Ia dengan senang  hati melakukannya, membawa keranjang hijau dan berteriak lantang ‘beli kue rambut…’
Tapi ada halangannya belakangan ini. Berangsur-angsur sejak setahun lalu, suaranya tak lagi lantang. Ia kini beranjak remaja. Suara kanak-kanaknya hilang sudah. Tak mempan lagi digunakan untuk berteriak ‘beli kue rambut’.
“No, suara kamu tidak lantang lagi. Lagian kamu sudah SMP, tak baik lagi menjual kue.” tanta pegawai yang melintas berucap spontan di hadapannya lalu melengos pergi. Cetus.
Popi terpaku. Ia memang tahu kalau suaranya kini tidak lagi lantang. Tapi ia tak tahu bahwa ini mungkin penyebabnya mengapa beberapa waktu belakangan ini jualannya tak selaris dulu. Ia mesti pulang, dan mengatakannya kepada tanta Melly.
……
Kini, dua puluh tahun berlalu. Tanta Melly sudah lanjut usianya. Putri satu-satunya kini tinggal di rumah tua itu. Ketika Popy datang menjenguk, tanta masih mengenalnya dengan baik.
Si penjual kue rambut Kampungtua itu kini telah jadi Pak Popi, kepala Sekolah di pulau seberang. Ia juga merintis pendirian sekolah dasar di desa asalnya.
“Tanta Melly sudah lanjut usia, tidak perlu lagi menampung anak-anak SD dari kampung untuk tinggal di kost Kampungtua.” Begitu kata Pak Popi. Seperti ia dulu. (S. M. Dosi)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: