![]() |
| Gambar: http://indonesia.travel |
Jika di dapur terlihat sibuk, kamar belakang juga mulai
bangun dari aktifitas. Di sana jadi tempat hunian beberapa remaja putra.
Anak-anak kost dari desa yang datang dan
bersekolah di kota kecil ini. Mereka ada beberapa orang, dan dua orang darinya
mendapat tugas untuk membantu Tanta berjualan. Satu anak culun dengan rambut
keriting. Popi.
Dinding dapur Tanta layaknya pajangan banyak peralatan.
Mal kue kembang goyang, wajan, dan kotak pemanas dari seng serta sejumlah jenis
wadah. Benda-benda itu jarang ditemui di rumah-rumah kebanyakan. Popi ingin
tahu darimana Tanta mendapatkan barang-barang itu, tetapi tidak mudah untuk
menanyakannya. Enggan. Sama enggannya untuk tahu kenapa tanta Melly yang masih
muda itu tidak menikah lagi setelah mendiang suaminya berpulang. Yang ia perlu
tahu adalah membantu Tanta sebaik mungkin.
Kampungtua tempat tinggal tanta Melly adalah bagian dari
sebuah kota kecil. Orang-orang dari gunung setiap di hari ramai-ramai ke kota
ini, di mana Tanta pun ikut berjualan kue di sana. Tertarik dengan pusat keramaian sejak jaman baheula,
pemerintah mendirikan kantor-kantor mereka di sini, yang juga menarik datang
para pedagang membuka usaha.
Orang-orang yang sehari-harinya bergiat di sini banyak
yang menjadi pelanggan tanta Melly. Kue rambut buatannya sudah dikenal sejak
lama. Jika seorang remaja muka baru tampak menjual kue rambut, orang pasti akan
bertanya, apa ini buatan tanta Melly? Jika iya, pasti laris.
Pagi ini pun Tanta sama sibuknya. Kayu bakar ia potong,
masukkan ke anglo, wajan besar yang mendesis dengan minyak panas terdengar dari
kamar belakang. Usai kesibukannya itu, ia melongok ke bagian belakang rumah.
“Sepi saja di sini
sepanjang kemarin sore. Ke mana saja kalian?”
Popi tengadah. “Oh, Tanta. Kami mencari kayu. Menelusuri jalan
tiga, masuk di bawah perdu-perdu, dan mengambil apa saja yang disediakan alam”
panjang lebar ucapannya seperti penyiar RSPD membacakan warta desa.
Tanta Melly menengok ke samping. Benar. Ada cabang-cabang
pohon kesambi kering di sana. Tumpukannya menggunung di halaman samping. Dua ikat
kayu kering tampaknya baru didatangkan, empat potong cabang besar dan ranting-ranting
kecil, terikat dengan tali dari tumbuhan rambat hijau. Akan cukup untuk dua
hari masak memasak.
“Hmm, bagus. Tetapi waktu makan semalam, kenapa tidak
memberitahu?”
“Kejutan!” satu kata saja dari Popi.
“Jangan selalu sendirian ke kebun-kebun itu. Lebih baik ajak
serta temanmu”
Popi tentu tahu, meski sejak awal sekolah dasar ia sudah
tinggal di Kampungtua, ia tetap bukan putra desa ini. Jadi, tak banyak petani
desa yang punya kebun di jalan tiga untuk kenal baik dirinya. Berbeda dengan
sejumlah teman yang terlahir di kampung tua, yang turun-temurun telah dikenal
baik.
“Iya, bik, kemarin
saya diajak Lewiju ke sana”
Senyum tipis di wajah Tanta. Ia angkat lengannya dengan
jari-jari terkepal di dada dan bergerak seperti memukul. Isyarat khas tanta Melly
yang kira-kira sama dengan ‘two thumbs up’.
“Sudah. Itu barang-barangmu
di meja besar. Pergilah, sekarang jamnya untuk orang-orang mengopi.” Tanta
menutup brifing paginya lalu ngeloyor pergi.
Dalam seminggu, Popi tiga kali jualan keliling kampung
ini pagi-pagi sebelum ke sekolah. Ia dengan senang hati melakukannya, membawa keranjang hijau
dan berteriak lantang ‘beli kue rambut…’
Tapi ada halangannya belakangan ini. Berangsur-angsur sejak
setahun lalu, suaranya tak lagi lantang. Ia kini beranjak remaja. Suara
kanak-kanaknya hilang sudah. Tak mempan lagi digunakan untuk berteriak ‘beli
kue rambut’.
“No, suara kamu tidak lantang lagi. Lagian kamu sudah SMP,
tak baik lagi menjual kue.” tanta pegawai yang melintas berucap spontan di
hadapannya lalu melengos pergi. Cetus.
Popi terpaku. Ia memang tahu kalau suaranya kini tidak lagi
lantang. Tapi ia tak tahu bahwa ini mungkin penyebabnya mengapa beberapa waktu
belakangan ini jualannya tak selaris dulu. Ia mesti pulang, dan mengatakannya
kepada tanta Melly.
……
Kini, dua puluh tahun berlalu. Tanta Melly sudah lanjut
usianya. Putri satu-satunya kini tinggal di rumah tua itu. Ketika Popy datang
menjenguk, tanta masih mengenalnya dengan baik.
Si penjual kue rambut Kampungtua itu kini telah jadi Pak
Popi, kepala Sekolah di pulau seberang. Ia juga merintis pendirian sekolah dasar
di desa asalnya.
“Tanta Melly sudah lanjut usia, tidak perlu lagi menampung
anak-anak SD dari kampung untuk tinggal di kost Kampungtua.” Begitu kata Pak Popi.
Seperti ia dulu. (S. M. Dosi)
.jpg)
