Senin, 30 November 2015

Buruh NTT dan Jaminan Sosial

Peristiwa itu masih saya ingat baik. Di siang yang panas tahun 2009, saya duduk sendirian menikmati sepinya suasana sunyai di bilangan Jl. Shooping Centre Kupang. Tiba-tiba saya kedatangan seorang tamu. 
Agak kaget juga karena si tamu belum saya kenal sebelumnya. Tetapi karena gubuk tempat saya berada kini adalah base camp dari sebuah organisasi mahasiswa, maka saya maklum saja bahwa banyak orang-orang di luar sana yang berkepentingan di tempat ini. Tak hanya teman-teman lintas OKP seperti PMKRI, banyak juga kelompok mahasiswa Lamaholot yang sering kumpul bareng di sini.
''Ayo, silahkan masuk,'' begitu saya beramah-ramah mempersilahkan si tamu. Ia terpaku di pintu  sementara saya mengambil kursi. Ia masuk, melihat berputar sekeliling ruangan kecil. Saya pun berinisiatif menyalami kami punu memperkenalkan nama masing-masing.
Gubuk yang saya diami siang itu tak begitu mewah. Hanya berdinding gedeg dengan dua ruangan, plus satu dapur dan emperan. Saya berada di sini karena tengah menjabat sebagai ketua termandat sementara para pengurus inti dan anggota lain sedang ke Adonara untuk sebuah kegiatan mengisi liburan.
Si tamu lantas menuturkan alasannya menerobos masuk. ''Saya lihat papan nama di luar itu tulisannya Angkatan Muda Adonara'' katanya, ''makanya saya ingin diskusi.'' 
Lalu meluncurlah diskusi kami yang hanya dua orang itu. Si tamu memperkenalkan diri  sebagai pekerja instalatir listrik di sebuah perusahan yang cukup besar serta mempekerjakan banyak karyawan. Bidang kerja mereka adalah menangani instalasi listrik pada bangunan bangunan besar di seputar kota Kupang dan juga menjangkau kota-kota lainnya di Indonesia. 
Dan yang mendorong ia untuk melakukan diskusi adalah tentang kenyataan bahwa para karyawan di perusahannya tidak dilindungi oleh jaminan sosial.
''Bayangkan pekerjaan kami yang beresiko tinggi, dan dengan kondisi tersebut kami tak dipayungi jaminan sosial'' begitu ucapnya prihatin. Dari bahasanya yang cukup teratur, saya menduga kalau tamu saya ini cukup terdidik.
Sebagai orang yang ke depannya akan menjadi bagian dari apa yang menjadi bahan diskusi kami, tak pelak saya ikut hanyut dalam alur pembicaraan sore itu.
Saya katakan padanya bahwa saya sendiri kuliah di teknik dan ke depannya tentu terjun di dunia kerja yang sama, usaha konstruksi serta bermacam-macam unit kerjanya itu. Apa yang ia sampaikan masuk dalam minat saya juga, terutama menyangkut hubungan antara pekerja dan majikan yang diatur dalam hukum perburuhan dan hubungan industri. 
Di kampus, isu ini diakomodir dalam sebuah mata kuliah khusus yang diasuh oleh seorang dosen dari Fakultas Hukum.  Sementara dalam hubungan dengan aktivitas organisasi kami, saya sampaikan kepadanya bahwa sebagai bagian dari elemen mahasiswa, topik yang ia angkat adalah bagian dari perhatian dalam organisasi, tetapi sayangnya tidak menjadi isu utama. 
Di sekretariat kami memang ada diskusi bulanan. Topik diskusinya mungkin bisa saya angkat dalam diskusi, tetapi program advokasi pekerja kami tak punya. Demi arah yang lebih fokus ada teman-teman LMND dan PMKRI yang punya kru advokasi. "Mungkin anda bisa mengadu ke sana." kata saya memberi saran.
Di Kupang, pihak yang saya kenal konsen mengangkat isu buruh, meskipun hanya di ruang kuliah, adalah dosen Hukum Perburuhan di kampus saya. Ia  sering share pengalamannya menyisir buruh di sejumlah unit usaha yang gajinya rendah. Juga isu perlindungan sering ia paparkan. Saya katakan juga pada si tamu, bahwa kalau untuk tukar pikiran, sang dosen hukum perburuhan adalah rujukan yang pas. Sementara sebagai kelompok penekan, sejumlah organisasi mahasiswa bisa didekati. Gubuk sekretariat kami memang terbuka pintunya, tetapi fokus kegiatan kami tidak konsen ke isu tersebut.
Tahun-tahun sudah berlalu. Saya kini pun sudah bekerja di unit usaha yang bermiripan dengan tamu saya sekian tahun lalu itu. Dan masalah yang sama pun kini masih dihadapi oleh pekerja. Perusahan perusahan yang mempekerjakan buruh masih belum konsen mengurus jaminan sosial untuk buruh. Sempat saya survey kecil kecilan ke dealer sepeda motor, eh ternyata karyawannya  tidak dipayungi jaminan sosial. Beberapa unit usaha lainnya pun sama. Tetapi kok mereka lolos dalam proses tender yang dilakukan oleh BUMN dan pemerintah sementara perlakuan terhadap karyawan demikian memprihatinkan. 
Apakah para pekerja ini tidak berhak atas jaminan? Ataukah jaminan ini bersifat tidak resmi, di mana tergantung watak majikan, terutama dalam skala usaha yang masih kecil dengan jumlah karyawan di bawah 50 orang? Bagaimana dengan pekerjaan beresiko tinggi? Bukankah jenis pekerjaan demikian lebih lagi mendapat perlakuan khusus soal perlindungan jaminan sosial? Entahlah.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: