Cerpen by: S.M. Dosi*)
Di kampung saya punya
piaraan seekor burung beo. Kandangnya saya buatkan yang
bagus dan rapi. Saya tambahkan polesan cat warna warni dan saya gantungkan di
beranda rumah.
Rumah saya punya
emperan yang menjorok ke arah halaman umum di tengah kampung. Orang-orang yang
lalulalang di seputar dusun pastilah melintas di depan rumah saya. Akibatnya,
burung beo seolah dapat kesempatan jadi selebriti, selalu dikagumi banyak orang
yang pergi dan pulang kebun.
Dari browsing internet dan tanya ke sana ke
mari, tahulah saya kalau si burung itu bisa diajari mengucapkan
kata-kata. Saya lalu punya ide untuk mengajarkan burung beo itu
berbicara. Tak mau mainstream saja dengan ucapan ‘selamat pagi’. Iya, saya mau
ajari burung beo itu cukup satu kata: gemohing.
Saya pun
berharap setidaknya dengan satu kata itu orang kampung diingatkan
untuk rajin gemohing. Kalau saya sih
tidak ikut gemohing dong. Sebagai
guru PNS, pekerjaan saya sudah cukup nyaman dan tidak perlu berpanas panas di
terik matahari. Palingan ketika kerja bakti saya ikut mampir pegang parang
untuk bersihkan rumput depan balai desa.
Untuk kerja ladang ogah saya. Bisa-bisa
kerjaan pokok terbengkelai nanti. Tapi saya punya ladang sendiri lho. Dengan
menyewa lahan nganggur dan bantuan kelompok gemohing, ladang saya banyak
menghasilkan dan terhitung sebagai ladang terbesar di kampung ini. Hasil ladang
itu tidak benar-benar saya manfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Kalau musim
jagung, cukuplah jadi sumber pasokan jagung muda. Sepanjang tahun pun saya bisa
menikmati makan jagung titi. Sekaligus sebagai camilan kalau lagi nongkrong
bareng teman guru di sekolah. Dan satu lagi yang penting, burung beo saya bisa
makan jagung muda yang lezat itu.
Yap, sudah mantap
bagi saya untuk mengajari burung beo saya satu kata itu: gemohing. Mulanya saya ajari sepotong
demi sepotong. Dari mengucapkan gemo, setelah lancar kemudian mengucapkan satu
kata utuh, gemohing. Tak berapa lama
kemudian, ia sudah bisa mengucapkan kata itu dengan lancar. Saya pun sungguh
senang. Usaha saya berulang-ulang mengajarinya akhirnya punya hasil. Sebagai
bonus buatnya, saya menyewa tukang buatkan kandangnya yang lebih
besar dan makin berwarna. Makanannya pun saya perhatikan khusus. Sesekali saya
bawa ia bermain ke kebun.
Satu hal yang paling
saya sukai adalah bahwa dia bisa membangkitkan semangat para petani untuk rajin
gemohing. Bagaimana tidak. Pagi pagi
sebelum orang bangun minum kopi ia sudah keras berkicau ‘gemohing gemohing gemohing’. Para petani yang punya
rencana lain misal mau bekarang atau berburu bisa tiba tiba ingat kalau hari
itu ada jadwal gemohing. Bahkan anak
anak sekolah SMP yang lagi liburan pun ikut terinspirasi untuk ikut gemohing kecil kecilan. Tentu saja
anak-anak itu diberi uang perangsang oleh pemilik kebun untuk beli alat tulis.
Kehidupan gemohing di dusun kami yang
semula lesu menjadi bersemangat setelah hadirnya burung beo ini. Bahkan ada
yang mengusulkan supaya burung itu dipindahkan saja ke tempat yang lebih
strategis yaitu di rumah dekat gerbang desa.
Desa kami ini memang
punya beberapa dusun. Tapi usul memindahkan burung beo itu saya tolak.
Menurut saya, cukup orang di dusun kami yang setiap hari mendengar suaranya.
Saya toh warga dusun ini, dan sayalah yang berkorban banyak untuk burung beo
ini. Lagipula, apa memang ada yang bisa jamin burung beo ini diperhatikan
dengan baik jika kandangnya dipindah seperti itu? Jangan-jangan malah mati
kekurangan makanan. Jadi, meski ada yang coba meyakinkan, saya tetap mati
matian agar burung beo itu tetap di emperan rumah saya. Kebetulan letak rumah
saya pun cukup strategis di dusun kami.
Dan heranlah saya
setelah setahun lewat, ternyata orang orang dari dusun kamilah
yang tercatat paling banyak hasil panennya. Hasil ladang mereka hampir dua kali
lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Di akhir musim kemarau,
ketika lumbung padi warga dusun lain sudah kosong melompong, lumbung warga
dusun kami justru masih berisi setengahnya sehingga mereka menjual hasil kadang
tersebut ke warga lain. Benar benar fantastis.
Mungkin lantaran
mengatahui fakta itu, Bapak Desa dengan segala hormatnya datang kepada saya. Ia
mengatakan bahwa burung beo saya memang membuat warga lebih bersemangat gemohing.
"Dari tahun
hadirnya burung beo, kelompok gemohing
di dusun Bapak bertambah menjadi dua. Beda dengan dusun lain yang rata rata hanya
satu kelompok gemohing," ujarnya
seolah sedang sosialisasi hasil pembangunan.
“Jadi, apa mau
Bapak?” saya spontan bertanya, sudah menduga kalau Bapak Kepala
Desa ini ada mau maunya yang lain.
Ternyata benar. Bapak
kepala desa lalu meminta supaya burung beo saya ditempatkan di lokasi strategis
yaitu di tengah-tengah desa.
"Kami akan bikin
pondok kecil di sana. Makanannya pun kami perhatikan." katanya. “Dan kalau
Bapak minta kompensasi kerugian dalam bentuk uang, kami pun siap.”
“Oh, tidak. Tidak.
Keberatan saya bukan soal uang. Saya hanya khawatir kalau burung beo itu lantas
ditelantarkan,” keluh saya karena sudah telanjur cinta dengan burung beo
ini.
Tampak berpikir
keras, Bapa Desa hanya diam membisu. Saya memalingkan wajah, memandang burung
beo saya dengan penuh penghayatan. Saya bayangkan andaikata burung itu
benar-benar pergi dari emperan rumah ini. Kicauannya tidak lagi terdengar tiap
hari di telinga saya.
Burung ini dikenal
orang Lamaholot dengan nama Lio. Rupanya sungguh cantik. Hijau hijau mengkilap.
Kilap bulunya seperti permukaan metal tapi lembut. Tiap hari saya kasih makan
pisang raja atau pisang kepok dan kadang kadang ulat. Tentu juga jagung muda
kalau lagi musim. Suaranya kalau sedang bersiul begitu bagus. Dua nada bisa ia
dibunyikannya serentak.
Sejam kemudian,
jadilah kesepakatan antara saya dan Bapak Desa. Burung beo itu pun akan
diboyong ke perempatan kampung. Seorang aparat desa malah khusus diperintahkan
untuk mengawasi burung itu. Sementara yang bertugas menjaga kesejahteraan
burung beo itu adalah petugas kebersihan kantor desa. Dana urunan pun disiapkan
untuknya.
Dan benarlah. Dalam
setahun itu, warga satu desa pun sudah mulai bersemangat gemohing. Bukan saja
di dusun saya seperti setahun lalu. Lihat saja pernah kejadiannya ketika seorang
bapak dari dusun tengah yang punya niat nonton taji ayam di pasar Lite. Sekejap
ia membatalkan niatnya ketika di perempatan ia mendengar suara burung beo itu.
Orang itu lantas pulang, ambil cangkul dan parang terus ke kebun ikut gemohing. ‘Gemohing gemohing’.
Begitu ucap si burung beo selalu setiap pagi.
Hal ini sebelumnya
tidak pernah saya duga. Burung beo itu ternyata benar benar berjasa besar. Tak
hanya di dusun kami yang meroket hasil panen. Dalam tahun kedua karir si beo,
semua dusun di desa kami tercatat meningkat hari panennya. Jika dulu mereka
masih sering membeli jagung dari pedagang Koli di Waiwadan, kini malah
terbalik. Pedagang pedagang dari Koli itu yang malah membeli jagung dari desa
kami untuk dijual ke desa lain. Kepala desa pun puas. Persoalan kesejahteraan
yang bertahun-tahun gagal dipecahkan oleh kepala desa dan pembantu pembantunya
ternyata diselesaikan oleh burung beo dalam sekejap.
Dan pada tahun
ketiga, masalah baru pun muncul. Para warga banyak yang tidak puas karena gemohing itu justru hanya menguntungkan
pihak tertentu.
"Dulu saya punya
tiga konjak yang rajin rajin. Kini mereka semua mengundurkan diri." keluh
om Pudes yang punya bisnis truk angkutan penumpang pasar.
“Setelah saya cek,
ternyata mereka ikut gemohing.”
katanya sambil mengeluh bahwa bisnisnya kini mundur total.
“Saya tuntut gemohing itu karena merugikan bisnis
saya.” kata sang pengusaha itu. Keluhan lain muncul dari para pemilik kebun
kelapa. Upah tenaga kerja jadinya meningkat drastis gara-gara semua orang ikut gemohing.
“Kami malah bayar
pekerja dari luar desa dengan upah dua kali lipat karena warga di sini tidak
mau lagi kerja kepada kami.” Keluh pemilik kebun kelapa itu.
Kini, usaha angkutan
yang dikelola salah satu warga desa itu pun tutup. Penghasilan para pemilik kebun
kelapa pun merosot. Mereka yang dulunya lebih sejahtera malah kini mengetatkan
ikat pinggang. Belakangan mereka pun ikut gemohing karena mengolah kebun kelapa
kini tidak lagi balik modal.
Dengan produksi
jagung di desa kami yang meningkat, pengusaha-pengusaha dari luar desa pun
berlomba lomba menjemput hasil ladang jagung untuk dijual ke desa lain.
Satu hari, koran
Flores Pos langganan kantor desa memuat sebuah headline bahwa produk kopra yang
dulunya andalan desa kami terus menurun produksinya.
“Wah, bagaimana ini?
Ini pasti gara gara gemohing.” keluh
bapak kepala desa. Saya pun teringat kepada burung beo. Apa kira-kira burung
beo punya solusi untuk persoalan ini? Ternyata tidak,
saudara-saudara. Pagi-pagi hingga sore hari di perempatan kampung, burung
beo saya masih setia berbunyi. “Gemohing
gemohing”.
*) Penulis lahir di
Adonara, peserta Temu Sastra Indonesia Timur (7-9 Juni 2013) di Larantuka.