Jumat, 04 Maret 2016

Gemohing

Cerpen by: S.M. Dosi*)


Di kampung saya punya piaraan seekor burung beo. Kandangnya saya buatkan yang bagus dan rapi. Saya tambahkan polesan cat warna warni dan saya gantungkan di beranda rumah. 
Rumah saya punya emperan yang menjorok ke arah halaman umum di tengah kampung. Orang-orang yang lalulalang di seputar dusun pastilah melintas di depan rumah saya. Akibatnya, burung beo seolah dapat kesempatan jadi selebriti, selalu dikagumi banyak orang yang pergi dan pulang kebun.
Dari browsing internet dan tanya ke sana ke mari, tahulah saya  kalau si burung itu bisa diajari mengucapkan kata-kata.  Saya lalu punya ide untuk mengajarkan burung beo itu berbicara. Tak mau mainstream saja dengan ucapan ‘selamat pagi’. Iya, saya mau ajari burung beo itu cukup satu kata: gemohing.

Saya pun berharap setidaknya dengan satu kata itu orang kampung diingatkan untuk rajin gemohing. Kalau saya sih tidak ikut gemohing dong. Sebagai guru PNS, pekerjaan saya sudah cukup nyaman dan tidak perlu berpanas panas di terik matahari. Palingan ketika kerja bakti saya ikut mampir pegang parang untuk bersihkan rumput depan balai desa.
Untuk kerja ladang ogah saya. Bisa-bisa kerjaan pokok terbengkelai nanti. Tapi saya punya ladang sendiri lho. Dengan menyewa lahan nganggur dan bantuan kelompok gemohing, ladang saya banyak menghasilkan dan terhitung sebagai ladang terbesar di kampung ini. Hasil ladang itu tidak benar-benar saya manfaatkan untuk kepentingan ekonomi. Kalau musim jagung, cukuplah jadi sumber pasokan jagung muda. Sepanjang tahun pun saya bisa menikmati makan jagung titi. Sekaligus sebagai camilan kalau lagi nongkrong bareng teman guru di sekolah. Dan satu lagi yang penting, burung beo saya bisa makan jagung muda yang lezat itu.
Yap, sudah mantap bagi saya untuk mengajari burung beo saya satu kata itu: gemohing. Mulanya saya ajari sepotong demi sepotong. Dari mengucapkan gemo, setelah lancar kemudian mengucapkan satu kata utuh, gemohing. Tak berapa lama kemudian, ia sudah bisa mengucapkan kata itu dengan lancar. Saya pun sungguh senang. Usaha saya berulang-ulang mengajarinya akhirnya punya hasil. Sebagai bonus buatnya, saya  menyewa tukang buatkan kandangnya yang lebih besar dan makin berwarna. Makanannya pun saya perhatikan khusus. Sesekali saya bawa ia bermain ke kebun.
Satu hal yang paling saya sukai adalah bahwa dia bisa membangkitkan semangat para petani untuk rajin gemohing. Bagaimana tidak. Pagi pagi sebelum orang bangun minum kopi ia sudah keras berkicau ‘gemohing gemohing gemohing’. Para petani yang punya rencana lain misal mau bekarang atau berburu bisa tiba tiba ingat kalau hari itu ada jadwal gemohing. Bahkan anak anak sekolah SMP yang lagi liburan pun ikut terinspirasi untuk ikut gemohing kecil kecilan. Tentu saja anak-anak itu diberi uang perangsang oleh pemilik kebun untuk beli alat tulis.
Kehidupan gemohing di dusun kami yang semula lesu menjadi bersemangat setelah hadirnya burung beo ini. Bahkan ada yang mengusulkan supaya burung itu dipindahkan saja ke tempat yang lebih strategis yaitu di rumah dekat gerbang desa.
Desa kami ini memang punya beberapa dusun. Tapi usul memindahkan burung beo itu saya tolak. Menurut saya, cukup orang di dusun kami yang setiap hari mendengar suaranya. Saya toh warga dusun ini, dan sayalah yang berkorban banyak untuk burung beo ini. Lagipula, apa memang ada yang bisa jamin burung beo ini diperhatikan dengan baik jika kandangnya dipindah seperti itu? Jangan-jangan malah mati kekurangan makanan. Jadi, meski ada yang coba meyakinkan, saya tetap mati matian agar burung beo itu tetap di emperan rumah saya. Kebetulan letak rumah saya pun cukup strategis di dusun kami.
Dan heranlah saya setelah setahun lewat, ternyata orang orang dari dusun kamilah yang tercatat paling banyak hasil panennya. Hasil ladang mereka hampir dua kali lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya. Di akhir musim kemarau, ketika lumbung padi warga dusun lain sudah kosong melompong, lumbung warga dusun kami justru masih berisi setengahnya sehingga mereka menjual hasil kadang tersebut ke warga lain. Benar benar fantastis.
Mungkin lantaran mengatahui fakta itu, Bapak Desa dengan segala hormatnya datang kepada saya. Ia mengatakan bahwa burung beo saya memang membuat warga lebih bersemangat gemohing.
"Dari tahun hadirnya burung beo, kelompok gemohing di dusun Bapak bertambah menjadi dua. Beda dengan dusun lain yang rata rata hanya satu kelompok gemohing," ujarnya seolah sedang sosialisasi hasil pembangunan.
“Jadi, apa mau Bapak?” saya spontan bertanya, sudah menduga kalau Bapak Kepala Desa ini ada mau maunya yang lain.
Ternyata benar. Bapak kepala desa lalu meminta supaya burung beo saya ditempatkan di lokasi strategis yaitu di tengah-tengah desa.
"Kami akan bikin pondok kecil di sana. Makanannya pun kami perhatikan." katanya. “Dan kalau Bapak minta kompensasi kerugian dalam bentuk uang, kami pun siap.”
“Oh, tidak. Tidak. Keberatan saya bukan soal uang. Saya hanya khawatir kalau burung beo itu lantas ditelantarkan,” keluh saya karena sudah telanjur cinta dengan burung beo ini. 
Tampak berpikir keras, Bapa Desa hanya diam membisu. Saya memalingkan wajah, memandang burung beo saya dengan penuh penghayatan. Saya bayangkan andaikata burung itu benar-benar pergi dari emperan rumah ini. Kicauannya tidak lagi terdengar tiap hari di telinga saya.
Burung ini dikenal orang Lamaholot dengan nama Lio. Rupanya sungguh cantik. Hijau hijau mengkilap. Kilap bulunya seperti permukaan metal tapi lembut. Tiap hari saya kasih makan pisang raja atau pisang kepok dan kadang kadang ulat. Tentu juga jagung muda kalau lagi musim. Suaranya kalau sedang bersiul begitu bagus. Dua nada bisa ia dibunyikannya serentak.
Sejam kemudian, jadilah kesepakatan antara saya dan Bapak Desa. Burung beo itu pun akan diboyong ke perempatan kampung. Seorang aparat desa malah khusus diperintahkan untuk mengawasi burung itu. Sementara yang bertugas menjaga kesejahteraan burung beo itu adalah petugas kebersihan kantor desa. Dana urunan pun disiapkan untuknya.
Dan benarlah. Dalam setahun itu, warga satu desa pun sudah mulai bersemangat gemohing. Bukan saja di dusun saya seperti setahun lalu. Lihat saja pernah kejadiannya ketika seorang bapak dari dusun tengah yang punya niat nonton taji ayam di pasar Lite. Sekejap ia membatalkan niatnya ketika di perempatan ia mendengar suara burung beo itu. Orang itu lantas pulang, ambil cangkul dan parang terus ke kebun ikut gemohing. ‘Gemohing gemohing’. Begitu ucap si burung beo  selalu setiap pagi.
Hal ini sebelumnya tidak pernah saya duga. Burung beo itu ternyata benar benar berjasa besar. Tak hanya di dusun kami yang meroket hasil panen. Dalam tahun kedua karir si beo, semua dusun di desa kami tercatat meningkat hari panennya. Jika dulu mereka masih sering membeli jagung dari pedagang Koli di Waiwadan, kini malah terbalik. Pedagang pedagang dari Koli itu yang malah membeli jagung dari desa kami untuk dijual ke desa lain. Kepala desa pun puas. Persoalan kesejahteraan yang bertahun-tahun gagal dipecahkan oleh kepala desa dan pembantu pembantunya ternyata diselesaikan oleh burung beo dalam sekejap.
Dan pada tahun ketiga, masalah baru pun muncul. Para warga banyak yang tidak puas karena gemohing itu justru hanya menguntungkan pihak tertentu.
"Dulu saya punya tiga konjak yang rajin rajin. Kini mereka semua mengundurkan diri." keluh om Pudes yang punya bisnis truk angkutan penumpang pasar.
“Setelah saya cek, ternyata mereka ikut gemohing.” katanya sambil mengeluh bahwa bisnisnya kini mundur total.
“Saya tuntut gemohing itu karena merugikan bisnis saya.” kata sang pengusaha itu. Keluhan lain muncul dari para pemilik kebun kelapa. Upah tenaga kerja jadinya meningkat drastis gara-gara semua orang ikut gemohing.
“Kami malah bayar pekerja dari luar desa dengan upah dua kali lipat karena warga di sini tidak mau lagi kerja kepada kami.”  Keluh pemilik kebun kelapa itu.
Kini, usaha angkutan yang dikelola salah satu warga desa itu pun tutup. Penghasilan para pemilik kebun kelapa pun merosot. Mereka yang dulunya lebih sejahtera malah kini mengetatkan ikat pinggang. Belakangan mereka pun ikut gemohing karena mengolah kebun kelapa kini tidak lagi balik modal.
Dengan produksi jagung di desa kami yang meningkat, pengusaha-pengusaha dari luar desa pun berlomba lomba menjemput hasil ladang jagung untuk dijual ke desa lain.
Satu hari, koran Flores Pos langganan kantor desa memuat sebuah headline bahwa produk kopra yang dulunya andalan desa kami terus menurun produksinya.
“Wah, bagaimana ini? Ini pasti gara gara gemohing.” keluh bapak kepala desa. Saya pun teringat kepada burung beo. Apa kira-kira burung beo punya solusi untuk persoalan ini? Ternyata tidak, saudara-saudara. Pagi-pagi hingga sore hari di perempatan kampung, burung beo saya masih setia berbunyi. “Gemohing gemohing”.
*) Penulis lahir di Adonara, peserta Temu Sastra Indonesia Timur (7-9 Juni 2013) di Larantuka.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: