Paskah 2016. Bersama seorang teman, saya
melakukan perjalanan ke Konga, sebuah kampung puluhan kilometer di barat
Larantuka. Tujuan kami adalah mengikuti event tahunan, tawaf keliling kampung
kecil ini. Aslinya, ini merupakan tradisi peninggalan Portugis berabad-abad
yang lalu. Di bawah ini adalah sekelumit catatan saya.
Sabtu pagi ini, 26-03-2016. Duduk kongkow
di Larantuka bareng anak-anak komunitas motor antik. Dari bengkel tambal ban,
saya menyusul mereka ke rumah salah satu kru di bilangan Kota Sauh. Rumah kecil
tipikal Larantuka, dengan kost-kostan di belakang dan sebuah bengkel kayu di
depan.
Kami kongkow di rumah induk kecil itu, menggelar beberapa kursi kayu dan
plastik dengan latar belakang mesin bor duduk, kayu serta mebel setengah
jadi. Ngopi sambil mendengar obrolan mereka yang rata-rata menceritakan soal
mesin motor, pengalaman bermotor antik, juga teman teman komunitas lain semacam
Soe yang April tanggal muda nanti ulang tahun komunitas. Mereka berencana
mengirim utusan juga ke sana.
Oh ya, orang-orang ini adalah gabungan
anak Maumere dan Flotim. Mereka turut meramaikan prosesi tahunan Jumad Agung.
Yang tampaknya jadi pemimpin mukanya macam Papua, gemuk bertato dengan rambut
keriting gondrong. Satunya lagi besar putih halus kayak cowok Manado.
Belakangan barusan saya tahu kalau orang ini frater. Ada seorang lagi hitam Papua
juga. Salah satu dari mereka yang anak Maumere masih kenal baik sesama
teman-teman saya dulu waktu di Kupang. Alumni Kupang nih ternyata. Dia cerita
tentang Angkatan Muda Adonara (AMA) Kupang pada jaman baheula, terkesan banyak
puja pujinya tapi saya tutup mulut kalau saya mantan orang dalam.
Ada cerita lagi dari Si Flo tentang pengalaman touring keliling Flores satu
dua bulan belakangan. Tour kelompok waktu itu, berani-berani pergi dengan modal
cekak. Tiba di Labuan Bajo tanpa seorangpun yang dikenal di sana. Mereka duduk
terserak di jalanan kota menjelang malam, dan dari kejauhan terdengar sebuah
suara deruman khas motor antik. Ketika mendekat, kelihatanlah si penunggang
yang badannya besar tatoan dan rambut keriting rasta. Belum kenal tentu. Tapi
begitu teridentifikasi, ia langsung dicegat oleh salah satu anak touring
itu.
"Kamu siapa?" begitu tanya si penunggang, heran ada orang muka
baru beraninya menyetop raja aspal Labuan Bajo yang lumayan dikenal di sejumlah
penjuru kota.
"Flo, dari komunitas CB Adonara."
"Buat apa kalian di sini?"
"Touring, Bung!."
Si pemotor bingung. Tampak berpikir keras. Hari memang mulai gelap, jadi
bukan waktu yang tampan buat touring. Jam begini pun harusnya duduk ngopi di
emperan rumah, bukannya gembel di jalanan kota.
"Itu rombongan kami." Tuding si Flo ke salah satu arah, di mana
di bawah temaram lampu jalan tampak pria lainnya duduk kongkow.
"Hei banyak juga kalian eh?" Si pemotor kaget.
"Bukan itu saja. Ada lagi yang itu." Flo menuding ke arah lain.
Si pemotor tambah lagi kagetnya. "Heh? Itu temanmu juga? Terus malam
ini tidur di mana?"
"Nah, itu! Kami kebetulan mau tanya penginapan murah di sini di
mana?"
"Hush," dengus si pemotor, "saya tau anak CB cekak modal.
Ayo rame rame ke rumah. Kecil sih, tapi cukup untuk baring satu malam."
Yuk!
Akhirnya ketemu juga dengan anggota kawanan meski tak saling kenal. Konvoi
pun bergerak menuju salah satu sudut Labuan Bajo, sebuah kota kecil yang cuma
punya satu jalan utama itu. Ternyata teman baru ini seorang Guide turis. Punya
sebuah rumah kecil untuk anak-anak manusia itu melewati malam. Konvoi memang
sedang dalam perjalanan melintasi destinasi menarik di Flores. Menuju
perkampungan wisata di pantai utara sebelah barat Flores, dan kembali ke timur
dengan satu motor rusak yang ditonda saja sepanjang pulang ke Larantuka. Dari
beberapa motor, hanya dua motor yang full tangki, sementara motor lain hanya
isi Rp 10 ribu di pom bensin. Kalau bensin habis, ya tinggal minta ke yang full
tank.
Itu cerita tentang konvoi rame-rame. Cerita touring solo pun ada. Yang ini
sendirian saja melintasi Flores ujung ke ujung. Mau makan, tinggal beli di
warung, mau tidur malam, di atas aspal jalanan pun boleh. Flores tidak
kekurangan sungai untuk mandi dan cahaya matahari buat jemur pakaian sebelum lanjut
lagi mengaspal.
Ada fakta bahwa ikatan sesama pemotor lumayan solid. Pernah di satu kota di
Flores, konvoi pemotor ditraktir makan dan tidur semalam di hotel
berkelas, dua orang sekamar double bed. Tentu yang mentraktir anak pemotor
antik juga.
Ok, habis kongkow musti balik Waiwerang
nih. Trims saja buat makan siang dengan ikan segar dan merungge yang baru saja
dibeli anak-anak pemotor ini dari pasar baru. Mesti cabut secepatnya yah. Kan
sore ada piket dari jam 4. Tapi karena misa paskah, ya ijin dulu setengah
shift, dan setelah jaga parkir beres jelang jam delapan rencananya segera
nongol ke Terong. Dari OMK memang dapat tugas jaga parkir malam ini, dan
karena kru kuning-kuning ini kurang, saya mesti gabung ke sana.
Wah, ternyata yang misa anekaragam orang.
Ada yang dari Maumere juga lho. Kan pas tadi jaga parkiran, ada cowok seumuran
yang muncul lalu bilang, “eh kamu yang sering di Maumere itu kan?” Saya angguk
saja setengah bingung karena tak kenal orangnya. “Saya juga dari Maumere, ikut
maitua misa di sini”. Begitu katanya lalu beranjak pergi.
Malam ini rekor misa terpanjang tentu. Tapi saya menghilang lebih awal,
langsung menuju PLTD Terong. Piket operator engine. Pulang jam 12 malam ini.
Jumad 25-03-2016
Pagi ini memainkan peran jadi algojo Roma di jalan salib Waiwerang. Figuran
saja tanpa dialog karena memegang mic yang disamarkan jadi tombak algojo. Mic
tempel kecil kurang stok untuk segenap pelaku sehingga muncul siasat 'mic
tombak' ini. Habis itu masih makan bareng Pater tamu dan segenap kru pemeran
jalan salib yang anggotanya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu santa Anna dari
Waiwerang dan Kampung Baru di utara Waiwerang.
Habis tidur tujuh puluh menit dibangunkan alarm untuk berangkat jam dua ini
ke Larantuka. Sudah rencana dari tiga hari lalu kalau Jumad keramat ini menuju
Konga. Ada prosesi di sana yang warisan penjajah Portugis. Itu cuma devosi,
bukan liturgi resmi. Tapi yang menarik 'adalah bahwa ia merupakan tradisi yang
diwariskan tanpa perubahan sejak lima abad lalu.'
Berangkat! Cuma modal revo fit terisi bensin. Sempat singgah ke Mess
Waibalun dan lagi ke rumah Atto Maran di bilangan Lewolaga. Minum kopi di sana
lalu foto-foto alay dengan latar langit sore dan Gereja Lewolaga yang antik
itu. Mumpung kamera DSLR masih moncreng baterai. Tapi tujuan kami sebenarnya
adalah untuk memastikan letak prosesi itu di bagian mana dari wilayah Konga.
Atto Maran tentu tau karena Konga masuk paroki Lewolaga situ. Ternyata
prosesinya tepat di pinggir jalan lintas Flores. Ah, mudah jadinya. Meluncur
lagi seperempat jam menuju spot destinasi. Masih sepi ketika tiba. Dua tiga
petugas polisi dan TNI saja yang mondar mandir sekitar jalan. Acara mulai
jelang jam sepuluh nanti. Belanja belanji air dan makanan kecil di kios. Lilin
sudah beli tadi di Lewolaga. Kami lalu digiring untuk parkir motor di satu
tempat bersama sama dengan pengunjung lain. Ternyata parkirnya di rumah
seseorang yang kemudian ketahuan bernama Pedro de Ornay.
Prosesi keliling kampung itu makan waktu beberapa jam. Total acara dari
awal lamentasi terhitung lima jam karena kami bubar jelang setengah dua
dinihari. Tradisi serupa ini ada di Wureh dan Larantuka, tapi kalau
dengar-dengar alunan koor Konfreria agaknya beda genre deh. Pengunjung dari
luar lumayanlah, termasuk yang dari Larantuka kota. Dalam sesi wawancara
dadakan dengan nona-nona Larantuka yang nongkrong di bawah cahaya bulan samping
gereja sebelum acara, mereka bilang begini: ''Bokap kami yang jadi Lakademu
jadi kami ikut kemari.''
“Eh ternyata jadi Lakademu bisa dari luar daerah ya.” tanya saya yang baru
tahu fakta ini. “Malu-maluin saja saja” mungkin begitu gerutuan sobat
seperjalanan saya. Nona-nona asal dari Larantuka ini ternyata adalah anak-anak
dari guru SMA saya dan kini sudah menjadi kepala sekolah di wilayah itu. Waktu
mau pulang masih sempat jabat tangan dengan Pak Guru yang jadi Lakademu ini.
Setelah bubar langsung gas motor menuju Larantuka. Harusnya bersabar dulu
untuk cium Tuan Ana tapi karena antrian satu-satu itu membludak, kami akhirnya
menyerah dan kabur lebih dulu. Di jalan jelang masuk Mokantarak, iring iringan
kendaraan yang sudah tentu bubaran prosesi Larantuka pun muncul, pertanda
prosesi Larantuka baru saja usai. Tiba di Sandominggo Larantuka, uh
siial. Ban belakang yang ban luarnya belum seminggu diganti bocor. Untung
ketemu konvoi muka-muka asing pemotor antik di bilangan pertokoan. Itu
teman-teman si Flo. Dan orang ini pun harus pindah boncengan. Mengekor
gerombolan konvoi itu menuju ke arah mana saja sesuka mereka. Ternyata konvoi
stop di Ekasapta. Makan tengah malam alias supper di kios tepi jalan. Nasi
goreng dengan mie telur dibabat habis hampir sepuluh boys and girls. Setor lima
puluh ribu ke Flo, dapat kembalian tiga puluh ribu. Usai makan bareng, pamit
kabur ke tujuan masing-masing. Malam ini jelang jam tiga, gedor rumah Ka Ela di
bilangan Pante Palo untuk baring dua tiga jam. Rencananya setelah ngopi pagi
nanti langsung ke Bengkel tambal ban. Eh, ini sudah hari Sabtu lho.