Selasa, 29 Maret 2016

Adonara ke Konga, Cerita Sehari Perjalanan

Paskah 2016. Bersama seorang teman, saya melakukan perjalanan ke Konga, sebuah kampung puluhan kilometer di barat Larantuka. Tujuan kami adalah mengikuti event tahunan, tawaf keliling kampung kecil ini. Aslinya, ini merupakan tradisi peninggalan Portugis berabad-abad yang lalu. Di bawah ini adalah sekelumit catatan saya.
Sabtu pagi ini, 26-03-2016. Duduk kongkow di Larantuka bareng anak-anak komunitas motor antik. Dari bengkel tambal ban, saya menyusul mereka ke rumah salah satu kru di bilangan Kota Sauh. Rumah kecil tipikal Larantuka, dengan kost-kostan di belakang dan sebuah bengkel kayu di depan. 
Kami kongkow di rumah induk kecil itu, menggelar beberapa kursi kayu dan plastik dengan latar belakang mesin  bor duduk, kayu serta mebel setengah jadi. Ngopi sambil mendengar obrolan mereka yang rata-rata menceritakan soal mesin motor, pengalaman bermotor antik, juga teman teman komunitas lain semacam Soe yang April tanggal muda nanti ulang tahun komunitas. Mereka berencana mengirim utusan juga ke sana.
Oh ya, orang-orang ini adalah gabungan anak Maumere dan Flotim. Mereka turut meramaikan prosesi tahunan Jumad Agung. Yang tampaknya jadi pemimpin mukanya macam Papua, gemuk bertato dengan rambut keriting gondrong. Satunya lagi besar putih halus kayak cowok Manado. Belakangan barusan saya tahu kalau orang ini frater. Ada seorang lagi hitam Papua juga. Salah satu dari mereka yang anak Maumere masih kenal baik sesama teman-teman saya dulu waktu di Kupang. Alumni Kupang nih ternyata. Dia cerita tentang Angkatan Muda Adonara (AMA) Kupang pada jaman baheula, terkesan banyak puja pujinya tapi saya tutup mulut kalau saya mantan orang dalam.

Ada cerita lagi dari Si Flo tentang pengalaman touring keliling Flores satu dua bulan belakangan. Tour kelompok waktu itu, berani-berani pergi dengan modal cekak. Tiba di Labuan Bajo tanpa seorangpun yang dikenal di sana. Mereka duduk terserak di jalanan kota menjelang malam, dan dari kejauhan terdengar sebuah suara deruman khas motor antik. Ketika mendekat, kelihatanlah si penunggang yang badannya besar tatoan dan rambut keriting rasta. Belum kenal tentu. Tapi begitu teridentifikasi,  ia langsung dicegat oleh salah satu anak touring itu.
"Kamu siapa?" begitu tanya si penunggang, heran ada orang muka baru beraninya menyetop raja aspal Labuan Bajo yang lumayan dikenal di sejumlah penjuru kota.
"Flo, dari komunitas CB Adonara."
"Buat apa kalian di sini?"
"Touring, Bung!."
Si pemotor bingung. Tampak berpikir keras. Hari memang mulai gelap, jadi bukan waktu yang tampan buat touring. Jam begini pun harusnya duduk ngopi di emperan rumah, bukannya gembel di jalanan kota.
"Itu rombongan kami." Tuding si Flo ke salah satu arah, di mana di bawah temaram lampu jalan tampak pria lainnya duduk kongkow.
"Hei banyak juga kalian eh?" Si pemotor kaget.
"Bukan itu saja. Ada lagi yang itu." Flo menuding ke arah lain.
Si pemotor tambah lagi kagetnya. "Heh? Itu temanmu juga? Terus malam ini tidur di mana?"
"Nah, itu! Kami kebetulan mau tanya penginapan murah di sini di mana?"
"Hush," dengus si pemotor, "saya tau anak CB cekak modal. Ayo rame rame ke rumah. Kecil sih, tapi cukup untuk baring satu malam."
Yuk!
Akhirnya ketemu juga dengan anggota kawanan meski tak saling kenal. Konvoi pun bergerak menuju salah satu sudut Labuan Bajo, sebuah kota kecil yang cuma punya satu jalan utama itu. Ternyata teman baru ini seorang Guide turis. Punya sebuah rumah kecil untuk anak-anak manusia itu melewati malam. Konvoi memang sedang dalam perjalanan melintasi destinasi menarik di Flores. Menuju perkampungan wisata di pantai utara sebelah barat Flores, dan kembali ke timur dengan satu motor rusak yang ditonda saja sepanjang pulang ke Larantuka. Dari beberapa motor, hanya dua motor yang full tangki, sementara motor lain hanya isi Rp 10 ribu di pom bensin. Kalau bensin habis, ya tinggal minta ke yang full tank.
Itu cerita tentang konvoi rame-rame. Cerita touring solo pun ada. Yang ini sendirian saja melintasi Flores ujung ke ujung. Mau makan, tinggal beli di warung, mau tidur malam, di atas aspal jalanan pun boleh. Flores tidak kekurangan sungai untuk mandi dan cahaya matahari buat jemur pakaian sebelum lanjut lagi mengaspal.
Ada fakta bahwa ikatan sesama pemotor lumayan solid. Pernah di satu kota di Flores,  konvoi pemotor ditraktir makan dan tidur semalam di hotel berkelas, dua orang sekamar double bed. Tentu yang mentraktir anak pemotor antik juga.
Ok, habis kongkow musti balik Waiwerang nih. Trims saja buat makan siang dengan ikan segar dan merungge yang baru saja dibeli anak-anak pemotor ini dari pasar baru. Mesti cabut secepatnya yah. Kan sore ada piket dari jam 4. Tapi karena misa paskah, ya ijin dulu setengah shift, dan setelah jaga parkir beres jelang jam delapan rencananya segera nongol ke Terong.  Dari OMK memang dapat tugas jaga parkir malam ini, dan karena kru kuning-kuning ini kurang, saya mesti gabung ke sana. 
Wah, ternyata yang misa anekaragam orang. Ada yang dari Maumere juga lho. Kan pas tadi jaga parkiran, ada cowok seumuran yang muncul lalu bilang, “eh kamu yang sering di Maumere itu kan?” Saya angguk saja setengah bingung karena tak kenal orangnya. “Saya juga dari Maumere, ikut maitua misa di sini”.  Begitu katanya lalu beranjak pergi. 
Malam ini rekor misa terpanjang tentu. Tapi saya menghilang lebih awal, langsung menuju PLTD Terong. Piket operator engine. Pulang jam 12 malam ini.
Jumad 25-03-2016
Pagi ini memainkan peran jadi algojo Roma di jalan salib Waiwerang. Figuran saja tanpa dialog karena memegang mic yang disamarkan jadi tombak algojo. Mic tempel kecil kurang stok untuk segenap pelaku sehingga muncul siasat 'mic tombak' ini. Habis itu masih makan bareng Pater tamu dan segenap kru pemeran jalan salib yang anggotanya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu santa Anna dari Waiwerang dan Kampung Baru di utara Waiwerang.
Habis tidur tujuh puluh menit dibangunkan alarm untuk berangkat jam dua ini ke Larantuka. Sudah rencana dari tiga hari lalu kalau Jumad keramat ini menuju Konga. Ada prosesi di sana yang warisan penjajah Portugis. Itu cuma devosi, bukan liturgi resmi. Tapi yang menarik 'adalah bahwa ia merupakan tradisi yang diwariskan tanpa perubahan sejak lima abad lalu.'
Berangkat! Cuma modal revo fit terisi bensin. Sempat singgah ke Mess Waibalun dan lagi ke rumah Atto Maran di bilangan Lewolaga. Minum kopi di sana lalu foto-foto alay dengan latar langit sore dan Gereja Lewolaga yang antik itu. Mumpung kamera DSLR masih moncreng baterai. Tapi tujuan kami sebenarnya adalah untuk memastikan letak prosesi itu di bagian mana dari wilayah Konga. Atto Maran tentu tau karena Konga masuk paroki Lewolaga situ. Ternyata prosesinya tepat di pinggir jalan lintas Flores. Ah, mudah jadinya. Meluncur lagi seperempat jam menuju spot destinasi. Masih sepi ketika tiba. Dua tiga petugas polisi dan TNI saja yang mondar mandir sekitar jalan. Acara mulai jelang jam sepuluh nanti. Belanja belanji air dan makanan kecil di kios. Lilin sudah beli tadi di Lewolaga. Kami lalu digiring untuk parkir motor di satu tempat bersama sama dengan pengunjung lain. Ternyata parkirnya di rumah seseorang yang kemudian ketahuan bernama Pedro de Ornay.
Prosesi keliling kampung itu makan waktu beberapa jam. Total acara dari awal lamentasi terhitung lima jam karena kami bubar jelang setengah dua dinihari. Tradisi  serupa ini ada di Wureh dan Larantuka, tapi kalau dengar-dengar alunan koor Konfreria agaknya beda genre deh. Pengunjung dari luar lumayanlah, termasuk yang dari Larantuka kota. Dalam sesi wawancara dadakan dengan nona-nona Larantuka yang nongkrong di bawah cahaya bulan samping gereja sebelum acara, mereka bilang begini: ''Bokap kami yang jadi Lakademu jadi kami ikut kemari.''
“Eh ternyata jadi Lakademu bisa dari luar daerah ya.” tanya saya yang baru tahu fakta ini.  “Malu-maluin saja saja” mungkin begitu gerutuan sobat seperjalanan saya. Nona-nona asal dari Larantuka ini ternyata adalah anak-anak dari guru SMA saya dan kini sudah menjadi kepala sekolah di wilayah itu. Waktu mau pulang masih sempat jabat tangan dengan Pak Guru yang jadi Lakademu ini.

Setelah bubar langsung gas motor menuju Larantuka. Harusnya bersabar dulu untuk cium Tuan Ana tapi karena antrian satu-satu itu membludak, kami akhirnya menyerah dan kabur lebih dulu. Di jalan jelang masuk Mokantarak, iring iringan kendaraan yang sudah tentu bubaran prosesi Larantuka pun muncul, pertanda prosesi Larantuka baru saja usai. Tiba di Sandominggo  Larantuka, uh siial. Ban belakang yang ban luarnya belum seminggu diganti bocor. Untung ketemu konvoi muka-muka asing pemotor antik di bilangan pertokoan. Itu teman-teman si Flo. Dan orang ini pun harus pindah boncengan. Mengekor gerombolan konvoi itu menuju ke arah mana saja sesuka mereka. Ternyata konvoi stop di Ekasapta. Makan tengah malam alias supper di kios tepi jalan. Nasi goreng dengan mie telur dibabat habis hampir sepuluh boys and girls. Setor lima puluh ribu ke Flo, dapat kembalian tiga puluh ribu. Usai makan bareng, pamit kabur ke tujuan masing-masing. Malam ini jelang jam tiga, gedor rumah Ka Ela di bilangan Pante Palo untuk baring dua tiga jam. Rencananya setelah ngopi pagi nanti langsung ke Bengkel tambal ban. Eh, ini sudah hari Sabtu lho.



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: