Gambar: web |
Mulanya saya mengira bahwa
mencampuradukkan masalah lahan antara sudut pandang perdata dan administrasi
hanyalah dilakukan oleh kaum awam. Ini dimaklumi karena kekurangpahaman mereka
membedakan kedua entitas ini.
Sering masyarakat umum keliru pandang
terkait kepemilikan (perdata) terhadap sebidang tanah, yang mana
dicampuradukkan dengan masalah administrasi pemerintahan. Administrasi
pemerintahan memang memasukkan data lahan dalam wilayah pemerintahan dimaksud
demi kepentingan pelayanan, evaluasi, statistik dan urusan lainnya.
Ketika sebuah masalah lahan mencuat,
umumnya pada lahan yang terletak di perbatasan antardesa, maka yang sekaligus
muncul adalah konflik perbatasan administrasi antardesa tersebut. Begitu pula
sebaliknya. Ketika ada persoalan perbatasan administrasi antardesa, maka yang
ikut-ikutan menjadi persoalan adalah masalah kepemilikan lahan sehingga
penyelesaian menjadi berlarut larut.
Tiap pihak orang perorangan atau kelompok
pemilik ulayat berlomba lomba mencari bukti kepemilikan (perdata) atas lahan
yang dimaksud. Mereka saling perang bukti maupun klaim. Sementara di lain pihak
pemerintah (baik yang berdaulat kini maupun pemerintah kerajaan pada masa lalu)
pun turun campur dengan bukti-bukti administrasi atau catatan catatan
kepemerintahan yang pernah dibuat atau diputuskan dan mempunyai kekuatan
administratif (bukan hukum perdata).
Pemahaman hukum masyarakat pun belum pada
tahap memadai. Di lain pihak pemerintah pun masih abai dalam menyediakan informasi
yang benar. Tapi yang meresahkan adalah ketika pihak pemerintah ikut-ikutan
memiliki cara pandang yang belum mengena dalam membedakan kedua masalah ini:
antara masalah kepemilikan (perdata) atas lahan dengan hak serta kewajiban yang
melekat pada orang sebagai subyek hukum terhadap lahan dimaksud, dan di lain
pihak masalah data administrasi yang tak ada sangkut pautnya dengan hak
perdata.
Tinjau contoh kasus pada data luas lahan
sawah di Adonara Barat. Lahan ini terletak diapit oleh beberapa desa. Sementara
yang mengelola lahan adalah petani yang bisa saja berasal dari desa lain. Tentu
saja ikatan kepemilikan ataupun hak pengelolaan (perdata) ada pada pihak pihak
yang secara aktual beraktivitas pada lahan tersebut. Sementara itu, data
administrasi tentu masuk pada wilayah
desa dimana obyek/lahan tersebut berada. Bukan pada orang per orang atau subyek
sebagai pelaku hukumnya.
Pemerintah dalam hal ini Pemerintah
Kecamatan Adonara Barat justru mencampur adukkan kedua hal tersebut. Ini
tercermin dari sajian data yang mereka berikan pada laporan "Adonara Barat
Dalam Angka". Dalam sajian tersebut, ada dua problem yang saya lihat.
Pertama, data luas lahan yang kurang
akurat. Ini bisa terjadi karena
kurangnya SDM surveyor/tenaga pengukur lahan serta peralatan mereka. Jadi, luas
lahan yang disajikan hanyalah perkiraan belaka dan tentu jauh dari mendekati
kebenaran faktual. Padahal dengan memanfaatkan fitur peta online gratisan di
internet, perkiraan luas lahan menjadi lebih mendekati tepat.
Pada data lahan yang ada, total luas
menurut publikasi "Adonara Barat dalam Angka" adalah seratus
limapuluh hektar lebih. Ketika dicek ulang, luas lahan ternyata tak lebih dari
enam puluh hektar. Tetapi hal ini dapat ditolerir berhubung terbatasnya SDM surveyor.
Ini tentu berada di luar kendali pihak kecamatan.
Masalah kedua adalah masalah paradigma
administrasi pemerintahan yang memasukkan unsur perdata di dalamnya. Iya, di
dalam data pihak kecamatan dimaksud disebutkan bahwa luas lahan sawah milik
desa Homa adalah seluas 50 ha. Padahal jika kita crosscheck dalam wilayah
pemerintahan desa Homa, di sana tidak terdapat lahan persawahan sepetak pun.
Tapi kenapa nama desa Homa ikut masuk
dalam data kepemilikan lahan? Itu karena lahan sawah tersebut diolah oleh warga
desa Homa. Jadi, ada hubungan perdatanya dengan subyek hukumnya yang adalah
warga desa Homa. Ini masalahnya. Dalam data administrasi luas lahan dimasukan
unsur perdata yaitu hak kepemilikan/pengelolaan dari warga desa Homa.
Semestinya dalam data administrasi, desa
Homa tidak memiliki lahan sawah sepetakpun.
Itu bukan masalah, sebab data administrasi tidak ada sangkut paut
langsung dengan hak kewajiban perdata. Data administrasi hanya terkait
pelayanan pemerintah misalnya memferivikasi kebijakan atas lahan, pengendalian
hama, pengairan dan lainnya. Sementara terkait ikatan perdata, tentu saja warga
Homa tetap memiliki hak atas lahan tersebut. Jadi data administrasi tidak
menghilangkan hak perdata mereka atas lahan yang selama ini mereka olah.
Tegasnya, data administrasi
kepemerintahan memang tidak dapat
dijadikan bukti kepemilikan atas lahan. Seseorang dari desa lain bisa saja
memiliki lahan pada desa tetangga bahkan bila perlu punya lahan di kecamatan
lain. Tetapi lahan tersebut tidak terhitung secara administrasi sebagai wilayah
milik desa tempat ia menjadi warga desa bersangkutan.
Warga desa Homa bisa punya sawah di desa
Waiwadan. Tetapi secara administrasi lahan tersebut tetap masuk dalam wilayah
Waiwadan. Bukan masuk wilayah Homa seperti dalam data kecamatan. Kendali
administrasi Desa hanya melekat pada orang perorangan di wilayahnya, bukan pada
obyek perdata di luar wilayah pemerintahannya.
Justru cara pandang yang mencampuradukkan
iniah yang menjadi salah satu pendorong konflik selama ini. Masyarakat awam
mengira bahwa data administrasi kepemerintahan punya dampak langsung terhadap
hak perdata atas lahan tertentu. Dan sebaliknya, kepemilikan lahan berpengaruh
atas batas administrasi desa. Ini pandangan keliru yang harus diubah.
Dan akhirnya, terimakasih untuk usaha
pihak kecamatan dalam menerbitkan data yang bisa diakses oleh kalangan umum.
(Simpet Soge)
Catatan:
Berbeda dengan data sebelumnya, data Adonara Barat dalam Angka tahun 2016 telah
menghilangkan data lahan sawah Desa Homa. Ini sejalan dengan tujuan artikel
ini.