Kamis, 09 Juni 2016

Data Lahan: Ketika Sudut Pandang Perdata dan Administrasi Dicampuradukkan

Gambar: web
Mulanya saya mengira bahwa mencampuradukkan masalah lahan antara sudut pandang perdata dan administrasi hanyalah dilakukan oleh kaum awam. Ini dimaklumi karena kekurangpahaman mereka membedakan kedua entitas ini.
Sering masyarakat umum keliru pandang terkait kepemilikan (perdata) terhadap sebidang tanah, yang mana dicampuradukkan dengan masalah administrasi pemerintahan. Administrasi pemerintahan memang memasukkan data lahan dalam wilayah pemerintahan dimaksud demi kepentingan pelayanan, evaluasi, statistik dan urusan lainnya.

Ketika sebuah masalah lahan mencuat, umumnya pada lahan yang terletak di perbatasan antardesa, maka yang sekaligus muncul adalah konflik perbatasan administrasi antardesa tersebut. Begitu pula sebaliknya. Ketika ada persoalan perbatasan administrasi antardesa, maka yang ikut-ikutan menjadi persoalan adalah masalah kepemilikan lahan sehingga penyelesaian menjadi berlarut larut.
Tiap pihak orang perorangan atau kelompok pemilik ulayat berlomba lomba mencari bukti kepemilikan (perdata) atas lahan yang dimaksud. Mereka saling perang bukti maupun klaim. Sementara di lain pihak pemerintah (baik yang berdaulat kini maupun pemerintah kerajaan pada masa lalu) pun turun campur dengan bukti-bukti administrasi atau catatan catatan kepemerintahan yang pernah dibuat atau diputuskan dan mempunyai kekuatan administratif (bukan hukum perdata).
Pemahaman hukum masyarakat pun belum pada tahap memadai. Di lain pihak pemerintah pun masih abai dalam menyediakan informasi yang benar. Tapi yang meresahkan adalah ketika pihak pemerintah ikut-ikutan memiliki cara pandang yang belum mengena dalam membedakan kedua masalah ini: antara masalah kepemilikan (perdata) atas lahan dengan hak serta kewajiban yang melekat pada orang sebagai subyek hukum terhadap lahan dimaksud, dan di lain pihak masalah data administrasi yang tak ada sangkut pautnya dengan hak perdata.
Tinjau contoh kasus pada data luas lahan sawah di Adonara Barat. Lahan ini terletak diapit oleh beberapa desa. Sementara yang mengelola lahan adalah petani yang bisa saja berasal dari desa lain. Tentu saja ikatan kepemilikan ataupun hak pengelolaan (perdata) ada pada pihak pihak yang secara aktual beraktivitas pada lahan tersebut. Sementara itu, data administrasi tentu  masuk pada wilayah desa dimana obyek/lahan tersebut berada. Bukan pada orang per orang atau subyek sebagai pelaku hukumnya. 
Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kecamatan Adonara Barat justru mencampur adukkan kedua hal tersebut. Ini tercermin dari sajian data yang mereka berikan pada laporan "Adonara Barat Dalam Angka". Dalam sajian tersebut, ada dua problem yang saya lihat.
Pertama, data luas lahan yang kurang akurat.  Ini bisa terjadi karena kurangnya SDM surveyor/tenaga pengukur lahan serta peralatan mereka. Jadi, luas lahan yang disajikan hanyalah perkiraan belaka dan tentu jauh dari mendekati kebenaran faktual. Padahal dengan memanfaatkan fitur peta online gratisan di internet, perkiraan luas lahan menjadi lebih mendekati tepat.
Pada data lahan yang ada, total luas menurut publikasi "Adonara Barat dalam Angka" adalah seratus limapuluh hektar lebih. Ketika dicek ulang, luas lahan ternyata tak lebih dari enam puluh hektar. Tetapi hal ini dapat ditolerir berhubung terbatasnya SDM surveyor. Ini tentu berada di luar kendali pihak kecamatan.
Masalah kedua adalah masalah paradigma administrasi pemerintahan yang memasukkan unsur perdata di dalamnya. Iya, di dalam data pihak kecamatan dimaksud disebutkan bahwa luas lahan sawah milik desa Homa adalah seluas 50 ha. Padahal jika kita crosscheck dalam wilayah pemerintahan desa Homa, di sana tidak terdapat lahan persawahan sepetak pun.
Tapi kenapa nama desa Homa ikut masuk dalam data kepemilikan lahan? Itu karena lahan sawah tersebut diolah oleh warga desa Homa. Jadi, ada hubungan perdatanya dengan subyek hukumnya yang adalah warga desa Homa. Ini masalahnya. Dalam data administrasi luas lahan dimasukan unsur perdata yaitu hak kepemilikan/pengelolaan dari warga desa Homa.
Semestinya dalam data administrasi, desa Homa tidak memiliki lahan sawah sepetakpun.  Itu bukan masalah, sebab data administrasi tidak ada sangkut paut langsung dengan hak kewajiban perdata. Data administrasi hanya terkait pelayanan pemerintah misalnya memferivikasi kebijakan atas lahan, pengendalian hama, pengairan dan lainnya. Sementara terkait ikatan perdata, tentu saja warga Homa tetap memiliki hak atas lahan tersebut. Jadi data administrasi tidak menghilangkan hak perdata mereka atas lahan yang selama ini mereka olah.
Tegasnya, data administrasi kepemerintahan  memang tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan atas lahan. Seseorang dari desa lain bisa saja memiliki lahan pada desa tetangga bahkan bila perlu punya lahan di kecamatan lain. Tetapi lahan tersebut tidak terhitung secara administrasi sebagai wilayah milik desa tempat ia menjadi warga desa bersangkutan.
Warga desa Homa bisa punya sawah di desa Waiwadan. Tetapi secara administrasi lahan tersebut tetap masuk dalam wilayah Waiwadan. Bukan masuk wilayah Homa seperti dalam data kecamatan. Kendali administrasi Desa hanya melekat pada orang perorangan di wilayahnya, bukan pada obyek perdata di luar wilayah pemerintahannya.
Justru cara pandang yang mencampuradukkan iniah yang menjadi salah satu pendorong konflik selama ini. Masyarakat awam mengira bahwa data administrasi kepemerintahan punya dampak langsung terhadap hak perdata atas lahan tertentu. Dan sebaliknya, kepemilikan lahan berpengaruh atas batas administrasi desa. Ini pandangan keliru yang harus diubah.
Dan akhirnya, terimakasih untuk usaha pihak kecamatan dalam menerbitkan data yang bisa diakses oleh kalangan umum. (Simpet Soge)


Catatan: Berbeda dengan data sebelumnya, data Adonara Barat dalam Angka tahun 2016 telah menghilangkan data lahan sawah Desa Homa. Ini sejalan dengan tujuan artikel ini.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: