Senin, 03 Oktober 2016

Elegi Pisang Raja

by S. M. Dosi

Berdua dengan Kewa, Riani banjir peluh ketika menjunjung beban berat di kepalanya. Tujuannya masih  jauh, sekitar tiga ratus meter lagi. Itu jarak yang dekat untuk dijangkau, tetapi tidak jika beban tiga puluh kilogram ada di kepala. Berat itu berasal dari beberapa sisir pisang di dalam bungkusan kain serbet yang akan dijual di pasar kecamatan.
Lembah Nurhang adalah dataran subur untuk berbagai jenis pisang, termasuk pisang kepok dan pisang raja. Dan sesuai namanya, yang merajai pasaran kota adalah pisang raja. Harganya mahal. Riani membeli dan mengumpulkan pisang itu dari beberapa petak kebun petani dan mengangkutnya ke titik penjemputan kendaraan. Truk kayu rutin setiap pekan menjemput petani di titik itu, dua kilometer lagi menuju jalan dengan perkerasan batu alam. Jalan beraspal ada dua kilometer lagi.  Sementara di sini, tempat untuk bergulirnya roda kendaraan adalah seumpama arena persiapan mud track yang jika hujan tiba hanya dapat dilewati kendaraan sport ekstrim, bukan kendaraan angkutan pedesaan yang akan menjemput besok nanti.
Riani masih yakin, hari ini akan seperti seminggu sebelumya. Sabtu lalu, yang ia bawa ke pasar adalah satu karung asam jawa. Harganya sedang bagus di pasar. Dan perjalanan ke sana pun mulus.

Bagi warga desa, kendaraan bermesin adalah keajaiban baru yang dibawa peradaban. Jika dulunya asam jawa akan diangkut dengan waktu tempuh berjam jam dan harus meninggalkan pondok sejak dini hari dalam perjalanan berkelompok, maka saat ini cukup berdua dan dijemput langsung di tepian luar lahan tani. Tinggal satu jam duduk manis di antara tumpukan muatan dan berjubelnya penumpang, dan simsalabim pasar kota sudah di depan mata.

"Lho kok menghayal?" Sergah Kewa.
"Ah, enggaklah." Riani memandang ke bola emas di ufuk barat. "Menurutmu besok hujan?"
"Tidak." Jawab Kewa.
Riani kurang yakin. Yang ia tahu, besok akan cerah jika langit barat kemerah merahan di sore ini. Tapi yang dilihatnya kini, tidak!
"Iya semoga saja tidak." Doanya.

Sepuluh bakul pisang mereka tutupi dengan karung dan diikat rapat di atas parapara. Keduanya lalu mundur menuju pondok tani tempat biasanya menginap. Mereka menunggu esok tiba. Menyalakan api, memanaskan air, dan membuka kantung bekal. Jika pagi tiba, mereka akan mandi ke sungai, lalu berpakaian pantas untuk ke pasar kota.

Malam berlalu dihiasi nyanyian jangkrik dan binatang nokturnal. Tapi jelang dinihari, suara guruh menggelegar. Ini awal musim hujan. Tapi hujan harusnya tak mendadak tiba seperti ini. Tanpa bisa dicegah, guyuran turun sejadi jadinya. Dan pagi harinya, arena persiapan mud track telah jadi mud track beneran. Nyali sopir angkutan perdesaan tak cukup besar untuk melintasi kubangan lumpur diselingi tanjakan licin.

Habis sudah. Buah buah berwarna emas menggiurkan itu tak jadi diangkut. Hanya Riani yang tegar, sadar tentang resikonya berbisnis. Sementara para petani diam diam meratapi hasil ladang mereka yang akhirnya tinggal puing puing dan dirusak binatang liar yang pesta pora berkarung karung buah buahan gratis.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: