by S. M. Dosi
Berdua dengan Kewa, Riani banjir peluh ketika menjunjung beban berat di
kepalanya. Tujuannya masih jauh, sekitar
tiga ratus meter lagi. Itu jarak yang dekat untuk dijangkau, tetapi tidak jika
beban tiga puluh kilogram ada di kepala. Berat itu berasal dari beberapa sisir
pisang di dalam bungkusan kain serbet yang akan dijual di pasar kecamatan.
Lembah Nurhang adalah dataran subur untuk berbagai jenis pisang, termasuk
pisang kepok dan pisang raja. Dan sesuai namanya, yang merajai pasaran kota
adalah pisang raja. Harganya mahal. Riani membeli dan mengumpulkan pisang itu
dari beberapa petak kebun petani dan mengangkutnya ke titik penjemputan
kendaraan. Truk kayu rutin setiap pekan menjemput petani di titik itu, dua
kilometer lagi menuju jalan dengan perkerasan batu alam. Jalan beraspal ada dua
kilometer lagi. Sementara di sini,
tempat untuk bergulirnya roda kendaraan adalah seumpama arena persiapan mud track yang jika hujan tiba hanya
dapat dilewati kendaraan sport ekstrim, bukan kendaraan angkutan pedesaan yang
akan menjemput besok nanti.
Riani masih yakin, hari ini akan seperti seminggu sebelumya. Sabtu lalu,
yang ia bawa ke pasar adalah satu karung asam jawa. Harganya sedang bagus di
pasar. Dan perjalanan ke sana pun mulus.
Bagi warga desa, kendaraan bermesin adalah keajaiban baru yang dibawa
peradaban. Jika dulunya asam jawa akan diangkut dengan waktu tempuh berjam jam
dan harus meninggalkan pondok sejak dini hari dalam perjalanan berkelompok,
maka saat ini cukup berdua dan dijemput langsung di tepian luar lahan tani.
Tinggal satu jam duduk manis di antara tumpukan muatan dan berjubelnya
penumpang, dan simsalabim pasar kota sudah di depan mata.
"Lho kok menghayal?" Sergah Kewa.
"Ah, enggaklah." Riani memandang ke bola emas di ufuk barat.
"Menurutmu besok hujan?"
"Tidak." Jawab Kewa.
Riani kurang yakin. Yang ia tahu, besok akan cerah jika langit barat
kemerah merahan di sore ini. Tapi yang dilihatnya kini, tidak!
"Iya semoga saja tidak." Doanya.
Sepuluh bakul pisang mereka tutupi dengan karung dan diikat rapat di atas
parapara. Keduanya lalu mundur menuju pondok tani tempat biasanya menginap.
Mereka menunggu esok tiba. Menyalakan api, memanaskan air, dan membuka kantung
bekal. Jika pagi tiba, mereka akan mandi ke sungai, lalu berpakaian pantas
untuk ke pasar kota.
Malam berlalu dihiasi nyanyian jangkrik dan binatang nokturnal. Tapi jelang
dinihari, suara guruh menggelegar. Ini awal musim hujan. Tapi hujan harusnya
tak mendadak tiba seperti ini. Tanpa bisa dicegah, guyuran turun sejadi
jadinya. Dan pagi harinya, arena persiapan mud
track telah jadi mud track
beneran. Nyali sopir angkutan perdesaan tak cukup besar untuk melintasi
kubangan lumpur diselingi tanjakan licin.
Habis sudah. Buah buah berwarna emas menggiurkan itu tak jadi diangkut.
Hanya Riani yang tegar, sadar tentang resikonya berbisnis. Sementara para
petani diam diam meratapi hasil ladang mereka yang akhirnya tinggal puing puing
dan dirusak binatang liar yang pesta pora berkarung karung buah buahan gratis.