Sabtu, 14 Januari 2017

Keliru dalam Tayangan Dialog pada Film Tentang NTT

Film tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu terbilang sangat sedikit. Padahal NTT sendiri adalah tempat di mana cikal bakal film di Indonesia hadir, dengan tonggak milestonenya pada film bisu berjudul "Ria Rago." 
 Belakangan ini, bermunculan film yang lokasi syutingnya, baik seluruh atau sebagiannya, dilakukan di NTT. Sebut saja film "Ketika Bung di Ende", "Tana Air Beta", "Atambua 390oC", "Garuda 19", "Pesan dari Samudra" dan lainnya.
Dari beberapa film tersebut, ada saja film yang menyisakan keanehan pada dialog dialognya, yang oleh penutur bahasa asli di NTT atau warga NTT dirasa janggal. Contoh saja dalam film Garuda 19. Ada dialog antara Yabes dengan pacarnya. Si pacar Yabes (yang diperankan bukan oleh talent lokal), yang harusnya mengatakan "jang lupa deng Beta" malah mengucapkan "jangan lupa sama sa". Kata yang belakangan ini maknanya sangat jauh berbeda dari maksud dialog.
 Alih alih mengatakan jangan lupa dengan saya, ia malah mengatakan jangan lupa sama saja. Tentu saja bagi para penutur asli bahasa merasa canggung dengan dialog tersebut karena keluar dari konteks pembicaraan antara kedua pemeran.
Keliru yang berikut ada di film lainnya berjudul Pesan dari Samudra. Di film ini terdapat penyebutan nama kota Larantuka dengan tidak tepat. Kota yang harusnya disebut Larantuka malah disebut dengan nama Ranatua. Tentu saja kekeliruan tersebut sudah sempat dibahas oleh sejumlah generasi muda di media sosial, dan bahkan ada yang sudah menulis kritik kepada para pekerja film.
Bagi saya, kekeliruan ini setidaknya memberitahu kita dua hal. Untuk film Garuda 19, yang ada kesalahan kosakata pada dialog, hal tersebut memberitahu bahwa kosakata bahasa Melayu Kupang belum begitu dikuasai baik oleh insan perfilman, terutama si penulis naskah. Pertanyaan untuk generasi muda NTT, apakah bahasa melayu Kupang sudah  cukup dipopulerkan sehingga dikuasai dengan mudah oleh siapa saja yang mau belajar atau berkepentingan dengannya? Apakah sudah ada sarana pendukung semisal kamus, buku tatabahasa dan lainnya yang mudah dipelajari? Tentu tanpa sarana tersebut maka bahasa melayu Kupang tidak akan mudah berkembang ke luar melampaui para penutur aslinya. Jika kita menginginkan dialek lokal ini menjadi populer, maka ada tantangan sendiri untuk membuat sendiri sarana dimaksud, misalnya dengan menulis kamus. Dengan cara ini kita bisa melestarikan bahasa melayu lokal.
Yang kedua, tinjauan semacam ini hanyalah riak kecil yang menghiasi gelombang bahkan tsunami budaya pertunjukkan. Dunia film tentu sarat dengan berbagai aktivitasnya, yang mana ketepatan penulisan dialog sesuai dengan konteks percakapan dan bahasa lokal adalah satu bagian kecil saja dari seluruh bangunan dunia tersebut. Dengan demikian, perhatian terhadap hal ini menjadi kecil, bahkan dalam insiden ini, malah luput  terbukti dengan adanya kesalahan yang terjadi. Dan di dunia perfilman yang luas ini, di manakah letaknya peran kita? Ini menjadi pertanyaan menggugah karena film sendiri merupakan karya kreatif yang punya nilai ekonomi juga bagi para pekerjanya. Sebuah kritik yang telah kita mulai kepada para pekerja film hendaknya tak hanya sekadar kritik tetapi juga sebagai titik singgung yang kita lakukan untuk mengenal dunia tersebut dan coba mengenal unsur unsur yang berinteraksi di dalamnya, dan pada gilirannya, semoga kita ikut terlibat di dalamnya.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: