Film
tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu terbilang sangat sedikit. Padahal NTT sendiri adalah tempat di
mana cikal bakal film di Indonesia hadir, dengan tonggak milestonenya pada film
bisu berjudul "Ria Rago."
Belakangan ini, bermunculan film yang lokasi
syutingnya, baik seluruh atau sebagiannya, dilakukan di NTT. Sebut saja film
"Ketika Bung di Ende", "Tana Air Beta", "Atambua 390oC",
"Garuda 19", "Pesan dari Samudra" dan lainnya.
Dari
beberapa film tersebut, ada saja film yang menyisakan keanehan pada dialog
dialognya, yang oleh penutur bahasa asli di NTT atau warga NTT dirasa janggal.
Contoh saja dalam film Garuda 19. Ada dialog antara Yabes dengan pacarnya. Si
pacar Yabes (yang diperankan bukan oleh talent lokal), yang harusnya mengatakan
"jang lupa deng Beta" malah mengucapkan "jangan lupa sama
sa". Kata yang belakangan ini maknanya sangat jauh berbeda dari maksud
dialog.
Alih alih mengatakan jangan lupa dengan saya, ia
malah mengatakan jangan lupa sama saja. Tentu saja bagi para penutur asli
bahasa merasa canggung dengan dialog tersebut karena keluar dari konteks
pembicaraan antara kedua pemeran.
Keliru
yang berikut ada di film lainnya berjudul Pesan dari Samudra. Di film ini
terdapat penyebutan nama kota Larantuka dengan tidak tepat. Kota yang harusnya
disebut Larantuka malah disebut dengan nama Ranatua. Tentu saja kekeliruan tersebut
sudah sempat dibahas oleh sejumlah generasi muda di media sosial, dan bahkan
ada yang sudah menulis kritik kepada para pekerja film.
Bagi
saya, kekeliruan ini setidaknya memberitahu kita dua hal. Untuk film Garuda 19, yang ada kesalahan kosakata pada dialog, hal tersebut memberitahu bahwa
kosakata bahasa Melayu Kupang belum begitu dikuasai baik oleh insan perfilman,
terutama si penulis naskah. Pertanyaan untuk generasi muda NTT, apakah bahasa
melayu Kupang sudah cukup dipopulerkan
sehingga dikuasai dengan mudah oleh siapa saja yang mau belajar atau
berkepentingan dengannya? Apakah sudah ada sarana pendukung semisal kamus, buku
tatabahasa dan lainnya yang mudah dipelajari? Tentu tanpa sarana tersebut maka
bahasa melayu Kupang tidak akan mudah berkembang ke luar melampaui para penutur
aslinya. Jika kita menginginkan dialek lokal ini menjadi populer, maka ada
tantangan sendiri untuk membuat sendiri sarana dimaksud, misalnya dengan
menulis kamus. Dengan cara ini kita bisa melestarikan bahasa melayu lokal.
Yang
kedua, tinjauan semacam ini hanyalah riak kecil yang menghiasi gelombang bahkan
tsunami budaya pertunjukkan. Dunia film tentu sarat dengan berbagai
aktivitasnya, yang mana ketepatan penulisan dialog sesuai dengan konteks
percakapan dan bahasa lokal adalah satu bagian kecil saja dari seluruh bangunan
dunia tersebut. Dengan demikian, perhatian terhadap hal ini menjadi kecil,
bahkan dalam insiden ini, malah luput terbukti dengan adanya kesalahan yang terjadi.
Dan di dunia perfilman yang luas ini, di manakah letaknya peran kita? Ini
menjadi pertanyaan menggugah karena film sendiri merupakan karya kreatif yang
punya nilai ekonomi juga bagi para pekerjanya. Sebuah kritik yang telah kita
mulai kepada para pekerja film hendaknya tak hanya sekadar kritik tetapi juga
sebagai titik singgung yang kita lakukan untuk mengenal dunia tersebut dan coba
mengenal unsur unsur yang berinteraksi di dalamnya, dan pada gilirannya, semoga
kita ikut terlibat di dalamnya.