Source: all-free-download.com |
Judul di atas hanya sekadar pertanyaan. Kalau anda ingin fakta, silahkan
mampir ke TKP. Sekadar survey
kecil-kecilan, saya pernah datang ke pasar Podor di Solor. Lebih sering lagi ke
pasar baru di Larantuka. Apalagi Adonara, tempat saya tinggal selama bertahun-tahun.
Ada kemiripan di antara semua pasar itu. Aktivitas perdagangan didominasi
kalangan dewasa hingga tua. Paling banyak yang anda temui adalah kaum ibu. Saban
hari mereka menggunakan waktunya demi perputaran roda ekonomi di bumi Lamaholot
kita.
Bisa dikatakan sulit menemui orang muda. Kalaupun ada,
sering mereka hanya mejeng. Setelan mereka necis. Bila ada kebutuhan, mereka ke
toko dengan uang tunai. Tangan mereka bersih. Tak harus berjemur atau
berkeringat menjual barang dagangan. Sah saja kalau anda menduga bahwa generasi
ini hanya mau tampil keren kalau muncul dengan tunggangan roda dua. Serasa di
film Ali Topan. Berjualan jarang dianggap sebagai pekerjaan yang membanggakan. Bukan
nyinyir lho. Bisa anda saksikan sendiri. Ini autokritik. Tidak semuanya begitu,
tetapi itulah kecendrungannya.
Dan kalau sudah telanjur mapan dengan kondisi tersebut,
cobalah main ke pasar di luar Flotim. Anda akan lihat perbedaannya. Saya tahun
2015-2016 lalu sempat mondok di Maumere. Maklum tuntutan pekerjaan. Sering saya mampir ke pasar Alok atau pasar
tingkat untuk belanja keperluan dapur. Di sanalah terlihat perbedaannya. Terasa
begitu kontras ketika mengetahui bahwa yang berjualan ikan di bawah tenda-tenda
pasar ikan adalah para pemuda tampan nan tegap.
Dalam hati saya bertanya-tanya. Apakah pemandangan seperti
ini dapat saya temui di tempat asal saya? Jangan harap. Lihat lho, pemuda-pemuda
belasan hingga dua puluhan tahun itu. Mereka tidak sungkan bekerja di antara
bau ikan laut yang amis menusuk hidung. Tangan mereka belepotan melayani
pelanggan. Begitupun di sepanjang pinggir jalan di pasar Geliting. Anda akan
temui remaja pria dan wanita yang menjajakan ikan segar kepada pengendara yang
melintas. Tidak gengsi mereka? Jelas tidak! Mereka telah menyokong pendapatan
keluarga dengan karya nyata.
Lain lagi di kota Atambua, tempat saya bekerja kini. Pasar
baru adalah tempat yang biasa saya datangi. Favorit saya adalah belanja sayur
murah di sore hari. Saat itu, para pedagang lagi buru buru menjual sayuran yang
mudah rusak itu. Jika sedang ada obral murah, dan itu tidak setiap hari, maka
lebih dari sepuluh remaja akan hilir mudik. Mereka berteriak menawarkan sayur
sayuran segar hingga ke jalan di tengah-tengah pasar. Dari kangkung hingga
tomat dapat anda beli dengan harga setengah bahkan sepertiganya. Mereka adalah remaja-remaja
yang mungkin baru tiba di pasar itu setelah makan siang usai sekolah. Lihatlah,
mereka berdagang di sela sela lalulalang orang ditingkahi debu dan asap
kendaraan. Tidak gengsi mereka? Jelas tidak! Berdagang seperti itu justru jadi
kebanggaan karena kita bisa membantu pendapatan keluarga.
Di usia sekolah, penulis saat liburan sering manfaatkan
waktu untuk kegiatan ekonomi. Berdagang apa saja. Di sekolah dasar, saya rutin berjualan
pisang kepok di pasar Watohone Adonara Tengah. Padahal pekerjaan ini umumnya dilakukan
oleh ibu-ibu. Pisang kepok saya ambil dari kebun sendiri. Dengan perjuangan panjang
saya harus mengangkut barang itu dengan berjalan kaki. Hasilnya, saya dapat
uang untuk membeli buku tulis. Membanggakan bukan? Di SMA, saya berjualan
keneka alias dinding bambu cacah. Jika bambu cacah itu dikirim ke Waiwerang,
maka saya manfaatkan perahu yang ke Larantuka. Di Larantuka, muatan saya
pindahkan ke Perahu Waiwerang. Dalam jumlah besar, memanfaatkan angkutan laut
ini lebih murah daripada harus mencarter oto truk untuk membawa muatan itu ke
Waiwerang. Saya mendapat penghasilan yang lumayan dari kegiatan itu. Tanpa
gengsi-gengsian. Dan saya bisa bangga telah membantu meringankan beban orang
tua.
Salam, selamat berkarya untuk para pemuda pemudi.