Kemarin saya sempat ke kampung mengurus
surat dari Kepala Desa. Beliau bertindak memverifikasi kebenaran data isian
untuk persyaratan penerapan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Salah satu anggota
keluarga saya memang baru diterima di PT Negeri.
Ketika saya tiba, aparat terlihat sedang
sibuk mengisi blanko kuesioner. Katanya kuisioner dari kecamatan. Mereka
diminta mengisi data keluarga termasuk luas lahan milik segenap keluarga di
desa. Sembari menunggu, saya tentu saja dapat menyimak pembicaraan serta
apa yang mereka kerjakan di aula balai desa itu. Terlihat bahwa kuesioner yang
diisi tidak ada kop surat atau logo instansi. Bisa saja ini angket yang disebar
oleh seorang atau sekelompok peneliti.
Data isian aparat dusun ini kemudian
diperiksa, direvisi serta diverifikasi ulang oleh pihak desa. Nah, di
pemeriksaan ini mereka saling crosscheck tentang data luas lahan masing masing
keluarga. Tapi maklum, karena tingkat pendidikan sejumlah kepala dusun yang
tidak memungkinkan dan tiadanya bimbingan teknis sehingga data isian itu dibuat
seadanya dan sejumlah kesalahan ditemukan di sana sini terutama terkait luas
kepemilikan lahan yang membengkak tidak ketulungan.
Sempat saya komentar untuk lucu-lucuan:
“jangan sampai data luas desa ini jadi lebih besar dari luas kecamatan
kita.”
Dan begitulah kejadiannya pada data
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa ke kabupaten yang entah kenapa tidak
pernah direvisi sehingga dari periode ke periode data luas desa kami tercatat
420km2, lebih besar dari luas beberapa kecamatan sekaligus! Coba check ke arsip
desa ataupun kabupaten kalau mau (laporan pertanggungjawaban pejabat desa rutin
dikirim ke kabupaten).
Kenapa begitu? Apa karena laporan itu
sekadar formalitas? Padahal dokumen semacam itu sering menjadi rujukan.
Ini tips saya mengatasi kesalahan data
luas lahan tersebut.
Pertama, manfaatkan data pajak bumi dan
bangunan. Setahu saya, data luas lahan sudah dipunyai oleh kantor pajak sebagai
dasar penetapan PBB. Desa mungkin membuat form sendiri atau wajibkan saja
keluarga2 untuk menyerahkan copyan kuitansi pajak masing-masing. Rekapan
kuitansi ini bisa cukup akurat untuk mengetahui luas lahan masing-masing.
Kedua, manfaatkan SDM anak muda di desa
yang rata2 sudah cukup terdidik. Ketika ada sidang pertanggungjawaban kepala
desa, kemampuan anak muda dalam olahdata bisa digunakan.
Boleh saja secara gratis karena siapa sih
yang menolak berbuat sesuatu untuk desanya? Hal ini tampak enggan dilakukan
oleh aparat, yang mungkin punya kesan mapan pada jabatan dan dengan haknya
tidak bisa diintervensi oleh para anak muda. Mungkin juga karena ketika
pekerjaan sudah telanjur pada tahap penyelesaian sehingga saat seseorang
kebetulan menemui kesalahan data dari bagian awal, mereka enggan mengulang
kembali pekerjaan. Kenyataan yang membantu, perangkat lunak sekarang ini mudah
saja dipakai untuk pekerjaan pekerjaan yang dulunya sulit semisal statistik
atau data kependudukan, data pengusahaan lahan dan lainnya. Dengan upaya
sejumlah anak muda dan tanpa alokasi anggaran yang besar persoalan ini bisa diatasi.
Kebenaran data memang sangat penting dalam
pengambilan keputusan. Meskipun sifatnya hanya administrasi, tetapi boleh jadi
berdampak hukum sebab dalam konflik lahan, pihak aparat desa terlihat ikut
dilibatkan sebagai fasilitator penyelesaian sengketa.
Tanpa data terpercaya, bagaimana peran ini
dimainkan?
Tulisan ini pertama terbit di http://www.kompasiana.com/simpetsoge