Senin, 12 Juni 2017

Sengketa Tanah Meningkat, Data Luas Lahan Kok Amburadul?

Kemarin saya sempat ke kampung mengurus surat dari Kepala Desa. Beliau bertindak memverifikasi kebenaran data isian untuk persyaratan penerapan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Salah satu anggota keluarga saya memang baru diterima di PT Negeri. 

Ketika saya tiba, aparat terlihat sedang sibuk mengisi blanko kuesioner. Katanya kuisioner dari kecamatan. Mereka diminta mengisi data keluarga termasuk luas lahan milik segenap keluarga di desa. Sembari menunggu, saya tentu saja dapat menyimak pembicaraan serta apa yang mereka kerjakan di aula balai desa itu. Terlihat bahwa kuesioner yang diisi tidak ada kop surat atau logo instansi. Bisa saja ini angket yang disebar oleh seorang atau sekelompok peneliti. 
Data isian aparat dusun ini kemudian diperiksa, direvisi serta diverifikasi ulang oleh pihak desa. Nah, di pemeriksaan ini mereka saling crosscheck tentang data luas lahan masing masing keluarga. Tapi maklum, karena tingkat pendidikan sejumlah kepala dusun yang tidak memungkinkan dan tiadanya bimbingan teknis sehingga data isian itu dibuat seadanya dan sejumlah kesalahan ditemukan di sana sini terutama terkait luas kepemilikan lahan yang membengkak tidak ketulungan. 
Sempat saya komentar untuk lucu-lucuan: “jangan sampai data luas desa ini jadi lebih besar dari luas kecamatan kita.” 
Dan begitulah kejadiannya pada data Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa ke kabupaten yang entah kenapa tidak pernah direvisi sehingga dari periode ke periode data luas desa kami tercatat 420km2, lebih besar dari luas beberapa kecamatan sekaligus! Coba check ke arsip desa ataupun kabupaten kalau mau (laporan pertanggungjawaban pejabat desa rutin dikirim ke kabupaten). 
Kenapa begitu? Apa karena laporan itu sekadar formalitas? Padahal dokumen semacam itu sering menjadi rujukan. 
Ini tips saya mengatasi kesalahan data luas lahan tersebut. 
Pertama, manfaatkan data pajak bumi dan bangunan. Setahu saya, data luas lahan sudah dipunyai oleh kantor pajak sebagai dasar penetapan PBB. Desa mungkin membuat form sendiri atau wajibkan saja keluarga2 untuk menyerahkan copyan kuitansi pajak masing-masing. Rekapan kuitansi ini bisa cukup akurat untuk mengetahui luas lahan masing-masing. 
Kedua, manfaatkan SDM anak muda di desa yang rata2 sudah cukup terdidik. Ketika ada sidang pertanggungjawaban kepala desa, kemampuan anak muda dalam olahdata bisa digunakan. 
Boleh saja secara gratis karena siapa sih yang menolak berbuat sesuatu untuk desanya? Hal ini tampak enggan dilakukan oleh aparat, yang mungkin punya kesan mapan pada jabatan dan dengan haknya tidak bisa diintervensi oleh para anak muda. Mungkin juga karena ketika pekerjaan sudah telanjur pada tahap penyelesaian sehingga saat seseorang kebetulan menemui kesalahan data dari bagian awal, mereka enggan mengulang kembali pekerjaan. Kenyataan yang membantu, perangkat lunak sekarang ini mudah saja dipakai untuk pekerjaan pekerjaan yang dulunya sulit semisal statistik atau data kependudukan, data pengusahaan lahan dan lainnya. Dengan upaya sejumlah anak muda dan tanpa alokasi anggaran yang besar persoalan ini bisa diatasi. 
Kebenaran data memang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Meskipun sifatnya hanya administrasi, tetapi boleh jadi berdampak hukum sebab dalam konflik lahan, pihak aparat desa terlihat ikut dilibatkan sebagai fasilitator penyelesaian sengketa. 
Tanpa data terpercaya, bagaimana peran ini dimainkan?



Tulisan ini pertama terbit di http://www.kompasiana.com/simpetsoge

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: