Tuhan
menciptakan dunia seisinya hanya dengan bersabda. Kun fayakun dalam bahasa Timur Tengah. Jadi, maka jadilah. Bumi dan isinya pun lahir. Penuh warna dan warni. Tapi
konon, waktu itu langit masih hitam kelam. Para malaikat, -pembantu dan hamba
sahaya-Nya- pun memohon dikaruniai keajaiban untuk ikut bekerja. Mereka meminta
untuk menjejak bumi dan mewarnai langit. Tuhan -Sang Pelukis Agung- pun
berkenan. Ia memberikan mereka peralatan ajaib untuk melukis tetapi dengan
pesan: pergilah dan selesaikan pekerjaan itu dengan segera, sebab pada hari
ketujuh kita akan beristirahat.
Sayang,
para malaikat itu begitu keasyikan mewarnai: ada yang mewarnai langit siang
yang biru, langit malam yang hitam, dan langit senja yang lembayung. Ada pula
yang mewarnai awan, dan yang lainnya mewarnai aurora dekat kutub.
Ketika
hari ketujuh menjelang, mereka pun terburu buru meninggalkan bumi sehingga
wadah pewarna mereka ada yang tertinggal berceceran.
Kelak,
wadah raksasa yang tertinggal itu menjelma menjadi danau Kelimutu. Jumlahnya
tiga dengan tiga warna berbeda.
Well, cerita ini hanya rekaan ala imajinasi modern tentang danau tiga warna yang meletakkan keajaiban obyek tersebut di bagian genesis alias awal mula semesta. Tetapi mitos asli setempat meletakkan keajaiban ini di bagian apokalips yakni di akhir semesta. Konon, danau kelimutu adalah tempat berhimpunnya roh dari mereka mereka yang telah berpulang.
Well, cerita ini hanya rekaan ala imajinasi modern tentang danau tiga warna yang meletakkan keajaiban obyek tersebut di bagian genesis alias awal mula semesta. Tetapi mitos asli setempat meletakkan keajaiban ini di bagian apokalips yakni di akhir semesta. Konon, danau kelimutu adalah tempat berhimpunnya roh dari mereka mereka yang telah berpulang.
Lepas dari
imajinasi maupun mitos yang ada, keberadaan ciptaan ajaib ini benar benar
nyata. Danau tiga warna ini harus dikunjungi oleh anda dan juga saya. Dan
karena sampai saat ini belum pernah berkunjung ke sana, mencuri waktu di luar kesibukan
pun bolehlah.
..........
''Berkas kamu masih diperiksa,'' begitu kata rekan
pekerja Area Flores Bagian Timur di Maumere ketika saya cek, pertanda kalau
dokumen lima rangkap plus satu bundel kontrak untuk Site Adonara masih menunggu
diproses. Yup, urusan bisnis saya tinggalkan dulu sementara.
Hari ini
mau ke mana? Gramedia sering. Ke bukit Nilo sudah, ke Penerbit Ledalero
kapan-kapanlah. Yang belum nih Kelimutu!
Di mana
ada sinyal, di situ ada jalan. Begitu kata pepatah ala google map. Jadi tidak
perlu sering-sering pakai fasilitas GPS (Gunakan Penduduk Setempat) yaitu
tanya-tanya kalau nyasar sebab nama dan arah jalan ke tiap destinasi sudah
lengkap tercantum di layar ponsel. Hanya jika ada sinyal.
Start dari
Maumere pukul sepuluh pagi, pukul satu kurang lima belas saya sudah tiba di
lokasi. Sebelumnya tadi di Moni tampak turis-turis bule bergerombol di sebuah
cafe. Cafe lain yang juga menjamur tampak sepi saja sebab bulan-bulan ini bukan
bulan kunjungan yang ramai. Para bule ini memang selalu ada setiap tahun sejak
danau triwarna Kelimutu dipopulerkan ke dunia oleh orang Belanda bernama Van
Such Telen pada tahun 1915. Oh ya, saya baru dapat informasi kalau waktu kunjungan
saat ini kurang tepat. Kunjungan akan ramai di bulan Juni sampai September
nanti. Begitu kata teman serombongan yang bertindak sebagai guide.
Di loket
kami membayar 5000 untuk pengunjung dan 5000 untuk kendaraan sesuai tertera
pada karcis masuk. Dari catatan pada buku tamu saya akhirnya tahu bahwa baru
ada satu rombongan pengunjung hari itu yang mendahului kami.
Seperti
tahu kalau pengunjung lelah setelah perjalanan panjang, di area parkir seluas
tiga lapangan tenis dekat puncak telah tersedia kantin. Kami duduk ngopi di
situ. Harganya normal saja ternyata. Air aqua masih lima ribu sebotol seperti
di kios dalam kota. Kopi pahit masih lima ribu seperti di Waiwerang pun
harganya segitu. Cocok dengan kantong anak kost. Yang saya pikir, wah ini
destinasi wisata pasti harganya selangit. Nyatanya salah. Mumpung masih di
situ, sempat juga saya ambil gantungan kunci handmade dengan tulisan TN
Kelimutu untuk kenang kenangan. Masih ada aksesoris lain untuk kenang kenangan
kalau mau. Ada kaos dengan foto dan tulisan kelimutu, ada buah strawberry dari
Moni, juga tenun ikat tersedia di sini. Sayang, tenun ikat kok masih sejenis,
bukan dari motif yang mewakili seluruh etnis di wilayah NTT yang cukup beragam
itu. Teringat gurauan sang guide kami yang menyebut Kelimutu milik Ende yang
saya timpali milik NTT mengimbangi salah satu peserta rombongan kami yang asal
Timor.
Kembali ke
perjalanan. Dari tempat parkir menuju puncak, kita tinggal menaiki tangga.
Perjalanan tinggal satu kilometer ke atas. Areal ini cukup tinggi juga
ternyata. Sepanjang perjalanan tadi kalau sempat melihat ke bawah maka tampak
hamparan daratan seputar Wolowaru terbentang luas yang hanya bisa terlihat
kalau kita berada di ketinggian.
Di jalan
dekat puncak banyak tikungan tajam tapi telah dipasang kaca pemantau serupa
spion besar untuk melihat kendaraan dari arah berlawanan.
Vegetasi
di sini sudah tentu khas dataran tinggi. Minus eucalyptus alias pinus yang
putih-putih batangnya seperti di gunung Ile Boleng Adonara. Tercatat di sana
ada tiga tumbuhan endemik yakni hanya ada di Kelimutu.
Selepas
menyusuri tangga dari area parkir, kami melewati jalan selebar satu buah
kendaraan dengan cemara di kiri kanan. Jalan ini khusus untuk lalulintas
kendaraan petugas TNK, para tukang dan teknisi maupun peneliti.
Ketika
tiba di puncak, kami lebih dulu menuju kawah danau dua warna. Yang satu tampak
berwarna hijau dan yang lainnya putih susu. Yang putih susu tampak mengepulkan
uap dan permukaannya menggelegak. Keduanya dipisahkan oleh tebing yang sempit.
Konon warna danau itu sering berubah tergantung kandungan mineral, organisme
ganggang maupun refraksi sinar matahari. Sementara di danau putih susu terlihat
bekas bekas parit alami jalur banjir dari lembah sekitarnya.
Untuk
memanjakan pengunjung, di lokasi telah dibuat tangga pada jalur perlintasan
yang juga dilengkapi pagar pengaman untuk tempat berpegangan. Pengunjung aman
dari resiko tergelincir akibat medan yang penuh tebing curam itu. Tangga dan
pagar baru dibangun di beberapa tempat, belum menjangkau ke sekeliling bibir
kawah. Di sana pun tersedia sejumlah bangunan MCK. Sementara shelter sudah
tersedia di area parkir tadi.
Dengan
berjalan lagi melewati lembah kecil, kami menuju danau ketiga dekat puncak
tertinggi gunung dimana telah dibangun tempat memantau. Di lembah kecil itulah
pelaksanaan ritual bagi sejumlah suku di kaki gunung berlangsung. Kontur
tanahnya cukup landai sehingga cocok untuk berhimpun massa. Kabarnya, tahun ini
pengunjung ritual akan lebih ramai karena pemda setempat melibatkan lebih
banyak peserta. Begitu penjelasan si guide kami.
Ketika
kami menuju danau ketiga, tampak warna airnya yang biru alami. Di kawah ini
pengunjung bisa turun ke permukaan danau. Tapi karena waktu terbatas, kami
tidak sempat melakukannya.
Menurut
cerita si guide, di saat-saat tertentu terutama selepas pukul tiga siang, kabut
akan turun membungkus puncak. Kalau ini terjadi, jarak pandang menjadi sangat
kecil sehingga teman yang di dekatpun tidak terlihat. Pemandangan di sana
sungguh fantastis. Tapi di lokasi ini tidak kita temui data geologis semisal
kandungan mineral dalam air, temperatur danau dll. Juga data sejarah letusan
gunung yang kemudian menjadi kawah berisi air itu. Menurut cerita 'orang
pintar', setiap letusan gunung pasti menghasilkan kawah baru karena kawah lama sudah
tersumbat salurannya dengan bebatuan bekas lava membeku. Dari tampilan fisik
ketiga kawah, dua kawah yang berdekatan tampaknya merupakan letusan terbaru
sedang kawah satunya yang terpisah adalah letusan yang lebih tua karena telah
banyak vegetasi yang tumbuh sekelilingnya. Di sana hanya tertera nama
masing-masing danau dan prasasti bernarasikan teks mitos. Mungkin ada banyak
pengunjung dari luar sana yang tertarik dengan fakta obyek destinasi ini
ketimbang keyakinan internal penduduk setempat yang dibungkus dalam mitos. Ini
yang tampaknya belum banyak dieksplorasi demi populernya destinasi kepada
khalayak yang lebih luas dan beragam. Channel berita terkenal baik majalah
maupun televisi semisal National Geographic tentu lebih suka sajikan singkapan
fakta ilmiah sedangkan mitos akan jadi embel-embelnya saja.
Puas
berfoto selfie maupun helpie ria serta mengganjal perut dengan jajanan yang
dijual di puncak, rombongan kami pun turun lagi. Di sepanjang perjalanan kami
temui banyak kera dan sesekali ayam hutan jantan yang terlihat tebar pesona di
bibir jalan. Tentu saja binatang binatang ini dilindungi karena status tempat
itu sebagai taman nasional. Iya. Selain danau di atas sana, hutan di seputar
kawah yang ini pun boleh jadi destinasi yang memancing perhatian. Ada alasannya
tentu. Selain memiliki vegetasi yang beragam, keberadaan fauna juga tak kalah
menarik. Di sana kadang terdengar suara satwa burung Garugiwa mirip bunyi
burung puyuh tanah tapi lebih panjang dan keras. Penduduk setempat menyebutnya
burung roh. Ada juga elang khas kelimutu yang diusulkan untuk menjadi fauna
endemik. Begitu kata teman kami si guide.
Kami
akhirnya meninggalkan lokasi pada pukul tiga dan rombongan pun terpisah ke
tujuan masing-masing. Saya tiba lagi di Maumere pukul setengah enam sore. Puas
meski perjalanan cukup melelahkan.
Tulisan
ini pertama terbit di http://www.kompasiana.com/simpetsoge