Senin, 12 Juni 2017

Danau Kelimutu Flores: Wadah Pewarna Sang Pelukis Agung

Tuhan menciptakan dunia seisinya hanya dengan bersabda. Kun fayakun dalam bahasa Timur Tengah. Jadi, maka jadilah. Bumi dan isinya pun lahir. Penuh warna dan warni. Tapi konon, waktu itu langit masih hitam kelam. Para malaikat, -pembantu dan hamba sahaya-Nya- pun memohon dikaruniai keajaiban untuk ikut bekerja. Mereka meminta untuk menjejak bumi dan mewarnai langit. Tuhan -Sang Pelukis Agung- pun berkenan. Ia memberikan mereka peralatan ajaib untuk melukis tetapi dengan pesan: pergilah dan selesaikan pekerjaan itu dengan segera, sebab pada hari ketujuh kita akan beristirahat.
Sayang, para malaikat itu begitu keasyikan mewarnai: ada yang mewarnai langit siang yang biru, langit malam yang hitam, dan langit senja yang lembayung. Ada pula yang mewarnai awan, dan yang lainnya mewarnai aurora dekat kutub.
Ketika hari ketujuh menjelang, mereka pun terburu buru meninggalkan bumi sehingga wadah pewarna mereka ada yang tertinggal berceceran.
Kelak, wadah raksasa yang tertinggal itu menjelma menjadi danau Kelimutu. Jumlahnya tiga dengan tiga warna berbeda. 
Well, cerita ini hanya rekaan ala imajinasi modern tentang danau tiga warna yang meletakkan keajaiban obyek tersebut di bagian genesis alias awal mula semesta. Tetapi mitos asli setempat meletakkan keajaiban ini di bagian apokalips yakni di akhir semesta. Konon, danau kelimutu adalah tempat berhimpunnya roh dari mereka mereka yang telah berpulang.
Lepas dari imajinasi maupun mitos yang ada, keberadaan ciptaan ajaib ini benar benar nyata. Danau tiga warna ini harus dikunjungi oleh anda dan juga saya. Dan karena sampai saat ini belum pernah berkunjung ke sana, mencuri waktu di luar kesibukan pun bolehlah.
 ..........
 ''Berkas kamu masih diperiksa,'' begitu kata rekan pekerja Area Flores Bagian Timur di Maumere ketika saya cek, pertanda kalau dokumen lima rangkap plus satu bundel kontrak untuk Site Adonara masih menunggu diproses. Yup, urusan bisnis saya tinggalkan dulu sementara.
Hari ini mau ke mana? Gramedia sering. Ke bukit Nilo sudah, ke Penerbit Ledalero kapan-kapanlah. Yang belum nih Kelimutu!
Di mana ada sinyal, di situ ada jalan. Begitu kata pepatah ala google map. Jadi tidak perlu sering-sering pakai fasilitas GPS (Gunakan Penduduk Setempat) yaitu tanya-tanya kalau nyasar sebab nama dan arah jalan ke tiap destinasi sudah lengkap tercantum di layar ponsel. Hanya jika ada sinyal.
Start dari Maumere pukul sepuluh pagi, pukul satu kurang lima belas saya sudah tiba di lokasi. Sebelumnya tadi di Moni tampak turis-turis bule bergerombol di sebuah cafe. Cafe lain yang juga menjamur tampak sepi saja sebab bulan-bulan ini bukan bulan kunjungan yang ramai. Para bule ini memang selalu ada setiap tahun sejak danau triwarna Kelimutu dipopulerkan ke dunia oleh orang Belanda bernama Van Such Telen pada tahun 1915. Oh ya, saya baru dapat informasi kalau waktu kunjungan saat ini kurang tepat. Kunjungan akan ramai di bulan Juni sampai September nanti. Begitu kata teman serombongan yang bertindak sebagai guide.
Di loket kami membayar 5000 untuk pengunjung dan 5000 untuk kendaraan sesuai tertera pada karcis masuk. Dari catatan pada buku tamu saya akhirnya tahu bahwa baru ada satu rombongan pengunjung hari itu yang mendahului kami.
Seperti tahu kalau pengunjung lelah setelah perjalanan panjang, di area parkir seluas tiga lapangan tenis dekat puncak telah tersedia kantin. Kami duduk ngopi di situ. Harganya normal saja ternyata. Air aqua masih lima ribu sebotol seperti di kios dalam kota. Kopi pahit masih lima ribu seperti di Waiwerang pun harganya segitu. Cocok dengan kantong anak kost. Yang saya pikir, wah ini destinasi wisata pasti harganya selangit. Nyatanya salah. Mumpung masih di situ, sempat juga saya ambil gantungan kunci handmade dengan tulisan TN Kelimutu untuk kenang kenangan. Masih ada aksesoris lain untuk kenang kenangan kalau mau. Ada kaos dengan foto dan tulisan kelimutu, ada buah strawberry dari Moni, juga tenun ikat tersedia di sini. Sayang, tenun ikat kok masih sejenis, bukan dari motif yang mewakili seluruh etnis di wilayah NTT yang cukup beragam itu. Teringat gurauan sang guide kami yang menyebut Kelimutu milik Ende yang saya timpali milik NTT mengimbangi salah satu peserta rombongan kami yang asal Timor.
Kembali ke perjalanan. Dari tempat parkir menuju puncak, kita tinggal menaiki tangga. Perjalanan tinggal satu kilometer ke atas. Areal ini cukup tinggi juga ternyata. Sepanjang perjalanan tadi kalau sempat melihat ke bawah maka tampak hamparan daratan seputar Wolowaru terbentang luas yang hanya bisa terlihat kalau kita berada di ketinggian.
Di jalan dekat puncak banyak tikungan tajam tapi telah dipasang kaca pemantau serupa spion besar untuk melihat kendaraan dari arah berlawanan.
Vegetasi di sini sudah tentu khas dataran tinggi. Minus eucalyptus alias pinus yang putih-putih batangnya seperti di gunung Ile Boleng Adonara. Tercatat di sana ada tiga tumbuhan endemik yakni hanya ada di Kelimutu.
Selepas menyusuri tangga dari area parkir, kami melewati jalan selebar satu buah kendaraan dengan cemara di kiri kanan. Jalan ini khusus untuk lalulintas kendaraan petugas TNK, para tukang dan teknisi maupun peneliti.
Ketika tiba di puncak, kami lebih dulu menuju kawah danau dua warna. Yang satu tampak berwarna hijau dan yang lainnya putih susu. Yang putih susu tampak mengepulkan uap dan permukaannya menggelegak. Keduanya dipisahkan oleh tebing yang sempit. Konon warna danau itu sering berubah tergantung kandungan mineral, organisme ganggang maupun refraksi sinar matahari. Sementara di danau putih susu terlihat bekas bekas parit alami jalur banjir dari lembah sekitarnya.
Untuk memanjakan pengunjung, di lokasi telah dibuat tangga pada jalur perlintasan yang juga dilengkapi pagar pengaman untuk tempat berpegangan. Pengunjung aman dari resiko tergelincir akibat medan yang penuh tebing curam itu. Tangga dan pagar baru dibangun di beberapa tempat, belum menjangkau ke sekeliling bibir kawah. Di sana pun tersedia sejumlah bangunan MCK. Sementara shelter sudah tersedia di area parkir tadi.
Dengan berjalan lagi melewati lembah kecil, kami menuju danau ketiga dekat puncak tertinggi gunung dimana telah dibangun tempat memantau. Di lembah kecil itulah pelaksanaan ritual bagi sejumlah suku di kaki gunung berlangsung. Kontur tanahnya cukup landai sehingga cocok untuk berhimpun massa. Kabarnya, tahun ini pengunjung ritual akan lebih ramai karena pemda setempat melibatkan lebih banyak peserta. Begitu penjelasan si guide kami.
Ketika kami menuju danau ketiga, tampak warna airnya yang biru alami. Di kawah ini pengunjung bisa turun ke permukaan danau. Tapi karena waktu terbatas, kami tidak sempat melakukannya.
Menurut cerita si guide, di saat-saat tertentu terutama selepas pukul tiga siang, kabut akan turun membungkus puncak. Kalau ini terjadi, jarak pandang menjadi sangat kecil sehingga teman yang di dekatpun tidak terlihat. Pemandangan di sana sungguh fantastis. Tapi di lokasi ini tidak kita temui data geologis semisal kandungan mineral dalam air, temperatur danau dll. Juga data sejarah letusan gunung yang kemudian menjadi kawah berisi air itu. Menurut cerita 'orang pintar', setiap letusan gunung pasti menghasilkan kawah baru karena kawah lama sudah tersumbat salurannya dengan bebatuan bekas lava membeku. Dari tampilan fisik ketiga kawah, dua kawah yang berdekatan tampaknya merupakan letusan terbaru sedang kawah satunya yang terpisah adalah letusan yang lebih tua karena telah banyak vegetasi yang tumbuh sekelilingnya. Di sana hanya tertera nama masing-masing danau dan prasasti bernarasikan teks mitos. Mungkin ada banyak pengunjung dari luar sana yang tertarik dengan fakta obyek destinasi ini ketimbang keyakinan internal penduduk setempat yang dibungkus dalam mitos. Ini yang tampaknya belum banyak dieksplorasi demi populernya destinasi kepada khalayak yang lebih luas dan beragam. Channel berita terkenal baik majalah maupun televisi semisal National Geographic tentu lebih suka sajikan singkapan fakta ilmiah sedangkan mitos akan jadi embel-embelnya saja.
Puas berfoto selfie maupun helpie ria serta mengganjal perut dengan jajanan yang dijual di puncak, rombongan kami pun turun lagi. Di sepanjang perjalanan kami temui banyak kera dan sesekali ayam hutan jantan yang terlihat tebar pesona di bibir jalan. Tentu saja binatang binatang ini dilindungi karena status tempat itu sebagai taman nasional. Iya. Selain danau di atas sana, hutan di seputar kawah yang ini pun boleh jadi destinasi yang memancing perhatian. Ada alasannya tentu. Selain memiliki vegetasi yang beragam, keberadaan fauna juga tak kalah menarik. Di sana kadang terdengar suara satwa burung Garugiwa mirip bunyi burung puyuh tanah tapi lebih panjang dan keras. Penduduk setempat menyebutnya burung roh. Ada juga elang khas kelimutu yang diusulkan untuk menjadi fauna endemik. Begitu kata teman kami si guide.
Kami akhirnya meninggalkan lokasi pada pukul tiga dan rombongan pun terpisah ke tujuan masing-masing. Saya tiba lagi di Maumere pukul setengah enam sore. Puas meski perjalanan cukup melelahkan.
Tulisan ini pertama terbit di http://www.kompasiana.com/simpetsoge
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: