Jumat, 16 Juni 2017

Dari Ladang ke Kampung: Visi Ekonomi Mendahului Ikatan Sosial

Tadi siang sempat jadi rempong mengomentari pilihan orang-orang yang setelah tamat pendidikan, ketimbang mengejar lowongan sesuai keahlian dan pendidikan, kok malah pulang kampung untuk sungkeman atau entah apalah. Ada kecendrungan untuk mengutamakan hal tersebut dan orang-orang berpotensi ini pun malah menjadi pengangguran terdidik. Saya pun ngedumel, seberapa pentingnya sih pulang kampung jika sudah ada lowongan yang siap menerima freshgraduate? Apakah pulang ke kampung itu sesuatu yang penting bin gawat? Sepenting apakah itu?
Mari lihat sepintas sejarah kampung-kampung. Kampung terbentuk mula-mula dari ladang dan kebun, yang kemudian berkembang menjadi hunian. Kesimpulannya, yang lebih dahulu tercipta di muka bumi ini adalah ladang yang adalah personifikasi dari lapangan kerja. Lapangan kerja itulah yang kemudian menciptakan hunian-hunian baru. Hunian-hunian kecil pun berevolusi menjadi kampung dan membesar menjadi kota.
Bacalah sejarah kota-kota di dunia di mana kampung dan kota terbentuk karena ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Bukankah para pathfinder alias perintis-perintis Eropa di Amerika mendapati begitu banyak hewan buruan di benua baru itu dan mengirim berkapal-kapal daging ke Eropa serta membentuk perkampungan sekeliling wilayah buruan? Bukankah di Australia daerah pertambangan lebih dahulu muncul menyusul kemudian kota-kota baru berdiri di sekeliling pertambangan? Begitu pula dengan perkampungan kita di Lamaholot. Para imigran dari Sina Jawa, Seran Goran serta Sina Malaka tiba dan menghuni pulau karena terdapat sumber penghidupan di sini: lapangan kerja dalam bentuk tanah subur yang siap untuk mereka tanami serta dipungut hasilnya.
Yakinlah, nenek moyang kita telah melakukan hal yang benar. Mereka telah meninggalkan kampung halaman mereka menuju tempat tempat yang jauh dan tak pernah kembali lagi ke asal. Itulah takdir mereka. Manusia Homo Sapiens meninggalkan tanah lahir mereka di sabana Afrika dan bermigrasi ke benua lain sepanjang puluhan bahkan ratusan generasi. Mereka mengikuti pergerakan binatang buruan yang adalah sumber makanan untuk adat hidup kelompok mereka. Keberadaan binatang buruan itu adalah lapangan kerja buat mereka yang profesinya berburu. Mereka tidak mungkin tetap tinggal di Afrika atau kepikiran untuk kembali ke sana. Toh di sana tidak lagi tersedia cukup binatang buruan untuk makanan sehari-hari suku mereka yang beranggota banyak. 
So, kurang tepatlah kalau terlalu meromantisir seolah-olah kampung adalah sesuatu yang sebegitu pentingnya sehingga orang harus dulu mengesampingkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan demi pulang kampung. Ingat-ingatlah fakta bahwa lapangan pekerjaan lebih dahulu muncul sebelum lahirnya perkampungan. Kampung tetap menjadi sebuah tempat di mana pada saat saat terpenting kita mesti hadir di sana.Tapi bukan pada saat kita mendapat peluang lalu kita buang sia-sia peluang tersebut.
Sebagai makhluk yang lahir dari sebuah rumah tangga, seorang anak manusia terlebih dahulu mesti memperhatikan kebutuhan akan tata rumah tangga (oikos dan nomos) sebelum melangkah ke tata sosial yang salah satu bentuknya adalah mengorganisir diri dalam wilayah teritorial tertentu yang kemudian disebut dengan nama ‘kampung’. Tanpa rumah tangga, keberadaan kampung adalah sesuatu yang mustahil.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: