Pada
materi ajar bahasa dan sastra Sekolah Menengah, sering kita temui suruhan untuk
membaca novel. Sebut saja novel besutan balai pustaka seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan lain-lainnya. Tetapi pada saat yang sama, peraturan disiplin sejumlah
sekolah sering memuat larangan membawa novel ke lingkungan
sekolah. Dua fakta yang sama sekali bertentangan. Mengapa demikian?
Rupanya
larangan tersebut merujuk ‘novel’ sebagai
buku cerita remaja 17+. Buku-buku tersebut dijual di toko-toko umum dengan harga terjangkau.
Buku tanpa ijin terbit ini sering dikenal dengan nama roman picisan. Isinya dominan kisah petualangan cinta yang kadang-kadang memuat adegan
dewasa. Untuk kelas tiga SMA, buku ini barangkali layak baca. Usia mereka kan sudah mencapai tujuh belas. Tetapi untuk siswa kelas di bawahnya, buku ini secara psikologis belum siap untuk mereka cerna.
Sayangnya
buku-buku tersebut beredar bebas di desa. Sama mudahnya seperti anda temui buku cersil W*ro
Sableng. Di Waiwadan, buku ini dijual di Toko Sub*r tepat di dalam pasar.
Siapapun boleh membelinya dan kemudian menjadi koleksi muda-mudi kampung.
Berpindah dari tangan ke tangan. Genrenya banyak. Ada yang silat, cinta, juga
misteri. Kalau sedang libur, buku ini habis dibaca seperempat hari bahkan lebih singkat lagi. Tetapi bagi gadis dan pemuda desa yang rata rata harus ke
kebun atau mengurus pekerjaan rumah tangga, mereka butuh waktu lebih panjang,
bisa beberapa hari untuk menyelesaikannya.
Sebagai
bacaan dewasa, peredaran buku ini di tangan penggemar terjadi dengan
sembunyi-sembunyi supaya jauh dari jangkauan anak-anak sekolahan yang belum
genap usia. Tetapi sama saja dengan sejumlah barang terlaranglainnya, masih
saja ada exemplar yang lolos ke tangan anak-anak tak berdosa. Hal inilah yang
memusingkan para pendidik.
Coba
bayangkan saja jadinya jika terbitan ini mengoleksi sejumlah penggemar dari
kalangan pelajar. Maka uang yang harusnya untuk belanja buku matematika malah
salah sasaran untuk beli roman picisan. Sekolah pun jadi ajang tukar menukar buku
antar sesama penggemar dan membuatnya makin populer. Pada gilirannya akan
terjadi penurunan prestasi pelajar. Apalagi dengan ekonomi kampung yang alakadarnya dimana orang tua
setengah mati banting tulang di ladang maupun di laut.
Larangan
membawa novel lantas jadi penyelamat bagi para pelajar ini.
Dengan berlakunya larangan, celah peredaran menjadi tertutup. Tetapi larangan ini
membuat nama baik novel menjadi tercemar. Membekas kesan dalam benak anak didik
bahwa keberadaan novel adalah sesuatu yang buruk. Padahal di usia tersebut
seharusnya makin terbuka cakrawala mereka tentang dunia luar melalui
bacaan-bacaan sehat yang antara lain melalui cerita novel besutan para
sastrawan. Sebagai bagian dari apresiasi sastra, membaca novel adalah aktivitas
yang berdampak baik. Di negara-negara barat, pelajar diwajibkan membaca
sejumlah novel dan kemudian mengulasnya kembali dalam bentuk tulisan.
Kisah
petualangan semacam Robinson Crusoe karya Daniel Defoe adalah salah satu novel yang
bagus untuk dibaca. Kisah novel ini sangat cocok untuk disimak anak usia akhir
SD atau awal SMP karena mengajarkan keberanian dan kemandirian untuk bertahan
hidup di tempat dimana sumber daya alamnya minim. Saya sendiri kala SMP kelas
satu hanya membaca setengah sobekan bagian belakang buku ini. Saya baca itu berulangkali.
Dengan
membaca buku-buku novel, anak-anak usia sekolah menjadi gaul alias paham
suasana sebuah tempat atau lingkungan yang jauh di luar kampungnya. Akan sangat
sayang mengetahui bahwa wawasan pelajar tentang situasi umum hanya sebatas
wilayah kampungnya yang sempit. Ketika berbincang dengan teman baru mereka
jadinya tidak nyambung. Kelompok geng sekolahan pun hanya sebatas teman main
petak umpet sedari SD. Bukan geng karena kesamaan pernah terpukau dengan aksi
Robinson Crusoe yang tergambar dalam novelnya.
Tanpa
kebiasaan membaca, pengetahuan tentang hubungan-hubungan dalam masyarakat,
profesi, kebiasaan dari lingkungan lain pun menjadi sangat minim. Apalagi kalau
buku buku sekolah standard hanya berupa hafalan kering yang tidak mudah
dihayati jiwa remaja. Jadi, membaca novel adalah salah satu alternatif menambah
wawasan.
Nah, masih
yakin dengan larangan membawa novel?