Jumat, 16 Juni 2017

Buruk Nama Novel, Roman Picisan Sebabnya

Pada materi ajar bahasa dan sastra Sekolah Menengah, sering kita temui suruhan untuk membaca novel. Sebut saja novel besutan balai pustaka seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan lain-lainnya. Tetapi pada saat yang sama, peraturan disiplin sejumlah sekolah sering memuat larangan membawa novel ke lingkungan sekolah. Dua fakta yang sama sekali bertentangan. Mengapa demikian?
Rupanya larangan tersebut merujuk ‘novel’ sebagai buku cerita remaja 17+. Buku-buku tersebut dijual di toko-toko umum dengan harga terjangkau. Buku tanpa ijin terbit ini sering dikenal dengan nama roman picisan. Isinya dominan kisah petualangan cinta yang kadang-kadang memuat adegan dewasa. Untuk kelas tiga SMA, buku ini barangkali layak baca. Usia mereka kan sudah mencapai tujuh belas. Tetapi untuk siswa kelas di bawahnya, buku ini secara psikologis belum siap untuk mereka cerna.
Sayangnya buku-buku tersebut beredar bebas di desa. Sama mudahnya seperti anda temui buku cersil W*ro Sableng. Di Waiwadan, buku ini dijual di Toko Sub*r tepat di dalam pasar. Siapapun boleh membelinya dan kemudian menjadi koleksi muda-mudi kampung. Berpindah dari tangan ke tangan. Genrenya banyak. Ada yang silat, cinta, juga misteri. Kalau sedang libur, buku ini habis dibaca seperempat hari bahkan lebih singkat lagi. Tetapi bagi gadis dan pemuda desa yang rata rata harus ke kebun atau mengurus pekerjaan rumah tangga, mereka butuh waktu lebih panjang, bisa beberapa hari untuk menyelesaikannya.
Sebagai bacaan dewasa, peredaran buku ini di tangan penggemar terjadi dengan sembunyi-sembunyi supaya jauh dari jangkauan anak-anak sekolahan yang belum genap usia. Tetapi sama saja dengan sejumlah barang terlaranglainnya, masih saja ada exemplar yang lolos ke tangan anak-anak tak berdosa. Hal inilah yang memusingkan para pendidik.
Coba bayangkan saja jadinya jika terbitan ini mengoleksi sejumlah penggemar dari kalangan pelajar. Maka uang yang harusnya untuk belanja buku matematika malah salah sasaran untuk beli roman picisan. Sekolah pun jadi ajang tukar menukar buku antar sesama penggemar dan membuatnya makin populer. Pada gilirannya akan terjadi penurunan prestasi pelajar. Apalagi dengan ekonomi  kampung yang alakadarnya dimana orang tua setengah mati banting tulang di ladang maupun di laut.
Larangan membawa novel lantas jadi penyelamat bagi para pelajar ini. Dengan berlakunya larangan, celah peredaran menjadi tertutup. Tetapi larangan ini membuat nama baik novel menjadi tercemar. Membekas kesan dalam benak anak didik bahwa keberadaan novel adalah sesuatu yang buruk. Padahal di usia tersebut seharusnya makin terbuka cakrawala mereka tentang dunia luar melalui bacaan-bacaan sehat yang antara lain melalui cerita novel besutan para sastrawan. Sebagai bagian dari apresiasi sastra, membaca novel adalah aktivitas yang berdampak baik. Di negara-negara barat, pelajar diwajibkan membaca sejumlah novel dan kemudian mengulasnya kembali dalam bentuk tulisan.
Kisah petualangan semacam Robinson Crusoe karya Daniel Defoe adalah salah satu novel yang bagus untuk dibaca. Kisah novel ini sangat cocok untuk disimak anak usia akhir SD atau awal SMP karena mengajarkan keberanian dan kemandirian untuk bertahan hidup di tempat dimana sumber daya alamnya minim. Saya sendiri kala SMP kelas satu hanya membaca setengah sobekan bagian belakang buku ini. Saya baca itu berulangkali.
Dengan membaca buku-buku novel, anak-anak usia sekolah menjadi gaul alias paham suasana sebuah tempat atau lingkungan yang jauh di luar kampungnya. Akan sangat sayang mengetahui bahwa wawasan pelajar tentang situasi umum hanya sebatas wilayah kampungnya yang sempit. Ketika berbincang dengan teman baru mereka jadinya tidak nyambung. Kelompok geng sekolahan pun hanya sebatas teman main petak umpet sedari SD. Bukan geng karena kesamaan pernah terpukau dengan aksi Robinson Crusoe yang tergambar dalam novelnya.
Tanpa kebiasaan membaca, pengetahuan tentang hubungan-hubungan dalam masyarakat, profesi, kebiasaan dari lingkungan lain pun menjadi sangat minim. Apalagi kalau buku buku sekolah standard hanya berupa hafalan kering yang tidak mudah dihayati jiwa remaja. Jadi, membaca novel adalah salah satu alternatif menambah wawasan.
Nah, masih yakin dengan larangan membawa novel?

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: