Rabu, 28 Juni 2017

Minat Baca Perlu Diprovokasi

Unek-unek terkait lesunya minat baca sudah umum mewarnai diskusi para pemerhati kita.  Keresahan ini pun terekam dalam kesadaran umum. Dikatakan di sana bagaimana minat baca pelajar maupun masyarakat sudah begitu rendahnya. Benarkan pendapat demikian? Kalau benar, apa yang menyebabkannya?
Jelas tersedia aneka jawaban tergantung sudut pandang masing-masing. Tetapi saya sempat punya simpulan sendiri dari sisi ketersediaan bahan bacaan. Minat baca yang rendah, menurut saya, terjadi karena bahan bacaan masih dianggap sebagai sesuatu yang asing. Ya. Orang cenderung membaca apa yang dianggap ada relevansi dengan hidupnya sehari-hari. Di kampung-kampung, orang lebih tertarik dengan bacaan yang menuturkan sesuatu yang terjadi di sekitarnya atau apa yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Kisah-kisah tentang kampung-kampung ataupun pulau yang dihuninya serta aktivitas mereka akan menjadi sesuatu yang menarik buat mereka.
Tetapi nyatanya, keberadaan bahan bacaan seperti itu jauh dari cukup. Buku-buku yang beredar sangat terbatas. Lebih banyak tersedia buku teks sekolah yang dibuat oleh pemerintah dengan jumlah dan varian yang minim. 

Seorang anak sekolah ketika  beranjak membaca ditawari bahan-bahan bacaan yang sama sekali tidak menarik karena terjadi lompatan logika dan mental yang begitu jauh. Ketika tidur semalam mereka dininabobokan dengan cerita ‘Luku dan Lada’ (Tikus dan Belalang) oleh nenek mereka di ranjang, eh paginya di sekolah telah berhadapan dengan cerita Budi Iwan dan Wati yang jelas-jelas tipikal anak kota. Mereka yang baru mulai mengenal lingkungan sekitarnya yang khas, mendadak ditawari buku-buku bacaan besutan departemen pendidikan kebudayaan yang jelas lebih berwarna nasional, jauh dari jangkauan seorang anak yang baru mengenal lingkungan sempitnya. Pendidikan berbahasa dalam bentuk buku-buku bacaan lantas dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar, bukan apa yang sesungguhnya milik mereka. Dan perlahan, bahan-bahan itu dirasa sebagai sesuatu yang asing dan mulai dijauhi.
Kita agaknya harus harus menyimak kembali kegairahan tulis-menulis beberapa dasawarsa lalu yang memunculkan beragam tulisan dari genre sastra berwarna lokal. Usaha positif tersebut tampaknya mulai muncul dari Sumatra. Lihatlah saja para penulis-penulis besar kita di angkatan Balai Pustaka yang adalah pentolan-pentolan dari Sumatra. Bukan terkait sentimen lokasi lho Sumatra itu saya anggap penting. Tetapi bagaimana kebiasaan menulis dan membaca benihnya mulai tumbuh di sana sejak abad 19 itu.
Ketika mengunjungi Sumatra, para ilmuwan barat sering menyuruh para pelajar maupun guru membuat scoolscriftenh, tulisan-tulisan sekolah yang dibuat oleh anak-anak sekolah atau guru bantu pribumi. Tulisan ini memuat urusan sehari-hari, menyangkut perbedaan adat dari  satu kampung dengan kampung lain,  menyangkut praktik-praktik atau kebiasaan yang umum berlangsung, dan hal lainnya yang tentu saja sangat relevan untuk mereka. 
Boleh dibilang ini pernyataan prematur, tetapi saya katakan bahwa kegairahan menulis pada masa itu awalnya dinyalakan oleh kegairahan akan persoalan-persoalan setempat. Inilah kiranya, banyak dari tulisan-tulisan roman dan novel yang mereka terbitkan masih terkait dengan persoalan adat Minangkabau sebagai contoh. 
Tak hanya urusan sastra, soal studi hukum pun sama, di mana inventarisasi hukum adat mulanya mucul dari daratan Andalas ini. Salah satu referensi yang bagus untuk kita ikuti tentang topik ini ada di buku Sengketa Tiada Putus karya Jeffrey Hadler. Bandingkan ini dengan kebiasaan ketika guru sejarah di SD menyuruh siswanya untuk menulis sejarah kampung setelah mewawancarai orang tua-tua.
Jadi, usaha pertama-tama untuk mendapat tempat di hati pembaca adalah dengan membuat sebuah tulisan berelasi dengan situasi lokal. Banyak cerita-cerita berwarna lokal yang kini mulai bermunculan. Ini yang harus didorong. Novel Ama Pion “ATMA” adalah salah satu contohnya untuk konteks Lamaholot. Juga bisa kita simak cerita-cerita pendek yang tersebar di koran-koran lokal yang ditulis oleh penulis asal Lamahala ini.
Meskipun demikian, penekanan warna lokal bukan berarti kita harus terjebak ke dalam ghetto ghetto yang kita ciptakan dengan batas sekeliling perairan selingkar pulau. Warna ilmiah harus terasa, bahwa sesuatu yang ilmiah adalah persoalan metode ilmiah yang tidak dibatasi oleh bahasa dan budaya. 
Negeri kita telah dijadikan obyek studi oleh sejumlah lembaga pemburu kebenaran, yaitu universitas maupun akademi-akademi dari sejumlah penjuru dunia. Bahasa Lamaholot contohnya, telah didokumentasikan dengan memuat sekitar 7000 entri dan terbit di Jerman. Sumber-sumber seperti itu sangat bagus untuk kita manfaatkan. Belum lagi ratusan bahkan ribuan artikel maupun buku yang berhubungan dengan pulau-pulau kita sangat banyak tersebar. 
Artinya, kita adalah bagian dari diskursus masyarakat ilmiah dan kita harus bisa menjadi bagian dari itu untuk bisa berbicara dalam bahasa yang sama, bahasa ilmiah, ketimbang menjadi katak yang mencari tempurung sendiri dan mengurung diri di baliknya sembari membuat keributan-keributan kecil.

***




Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: