Unek-unek terkait lesunya minat baca sudah
umum mewarnai diskusi para pemerhati kita. Keresahan ini pun terekam dalam kesadaran
umum. Dikatakan di sana bagaimana minat baca pelajar maupun masyarakat sudah
begitu rendahnya. Benarkan pendapat demikian? Kalau benar, apa yang
menyebabkannya?
Jelas tersedia aneka jawaban tergantung
sudut pandang masing-masing. Tetapi saya sempat punya simpulan sendiri dari sisi ketersediaan bahan bacaan. Minat baca yang rendah, menurut saya, terjadi karena bahan bacaan masih dianggap sebagai sesuatu yang
asing. Ya. Orang cenderung membaca apa yang dianggap ada relevansi dengan
hidupnya sehari-hari. Di kampung-kampung, orang lebih tertarik dengan bacaan
yang menuturkan sesuatu yang terjadi di sekitarnya atau apa yang berhubungan
dengan kehidupan mereka. Kisah-kisah tentang kampung-kampung ataupun pulau
yang dihuninya serta aktivitas mereka akan menjadi sesuatu yang menarik buat
mereka.
Tetapi nyatanya, keberadaan bahan
bacaan seperti itu jauh dari cukup. Buku-buku yang beredar sangat terbatas.
Lebih banyak tersedia buku teks sekolah yang dibuat oleh pemerintah dengan
jumlah dan varian yang minim.
Seorang anak sekolah ketika beranjak
membaca ditawari bahan-bahan bacaan yang sama sekali tidak menarik karena
terjadi lompatan logika dan mental yang begitu jauh. Ketika tidur semalam
mereka dininabobokan dengan cerita ‘Luku
dan Lada’ (Tikus dan Belalang) oleh nenek mereka di ranjang, eh paginya di
sekolah telah berhadapan dengan cerita Budi Iwan dan Wati yang jelas-jelas
tipikal anak kota. Mereka yang baru mulai mengenal lingkungan sekitarnya
yang khas, mendadak ditawari buku-buku bacaan besutan departemen pendidikan
kebudayaan yang jelas lebih berwarna nasional, jauh dari jangkauan seorang anak
yang baru mengenal lingkungan sempitnya. Pendidikan berbahasa dalam bentuk
buku-buku bacaan lantas dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar, bukan
apa yang sesungguhnya milik mereka. Dan perlahan, bahan-bahan itu dirasa sebagai sesuatu
yang asing dan mulai dijauhi.
Kita agaknya harus harus menyimak kembali kegairahan tulis-menulis beberapa dasawarsa lalu yang memunculkan beragam tulisan dari genre sastra berwarna lokal. Usaha positif tersebut tampaknya mulai muncul dari Sumatra. Lihatlah saja
para penulis-penulis besar kita di angkatan Balai Pustaka yang adalah
pentolan-pentolan dari Sumatra. Bukan terkait sentimen lokasi lho Sumatra itu
saya anggap penting. Tetapi bagaimana kebiasaan menulis dan membaca benihnya
mulai tumbuh di sana sejak abad 19 itu.
Ketika mengunjungi Sumatra, para ilmuwan
barat sering menyuruh para pelajar maupun guru membuat scoolscriftenh,
tulisan-tulisan sekolah yang dibuat oleh anak-anak sekolah atau guru bantu
pribumi. Tulisan ini memuat urusan sehari-hari, menyangkut perbedaan adat
dari satu kampung dengan kampung lain, menyangkut praktik-praktik
atau kebiasaan yang umum berlangsung, dan hal lainnya yang tentu saja sangat
relevan untuk mereka.
Boleh dibilang ini pernyataan prematur,
tetapi saya katakan bahwa kegairahan menulis pada masa itu awalnya dinyalakan
oleh kegairahan akan persoalan-persoalan setempat. Inilah kiranya, banyak dari
tulisan-tulisan roman dan novel yang mereka terbitkan masih terkait dengan
persoalan adat Minangkabau sebagai contoh.
Tak hanya urusan sastra, soal studi hukum
pun sama, di mana inventarisasi hukum adat mulanya mucul dari daratan Andalas
ini. Salah satu referensi yang bagus untuk kita ikuti tentang topik ini ada di
buku Sengketa Tiada Putus karya
Jeffrey Hadler. Bandingkan ini dengan kebiasaan ketika guru sejarah di SD
menyuruh siswanya untuk menulis sejarah kampung setelah mewawancarai orang
tua-tua.
Jadi, usaha pertama-tama untuk mendapat
tempat di hati pembaca adalah dengan membuat sebuah tulisan berelasi dengan
situasi lokal. Banyak cerita-cerita berwarna lokal yang kini mulai bermunculan.
Ini yang harus didorong. Novel Ama Pion “ATMA” adalah salah satu contohnya
untuk konteks Lamaholot. Juga bisa kita simak cerita-cerita pendek yang
tersebar di koran-koran lokal yang ditulis oleh penulis asal Lamahala ini.
Meskipun demikian, penekanan warna lokal
bukan berarti kita harus terjebak ke dalam ghetto ghetto yang kita ciptakan
dengan batas sekeliling perairan selingkar pulau. Warna ilmiah harus terasa,
bahwa sesuatu yang ilmiah adalah persoalan metode ilmiah yang tidak dibatasi
oleh bahasa dan budaya.
Negeri kita telah dijadikan obyek studi
oleh sejumlah lembaga pemburu kebenaran, yaitu universitas maupun
akademi-akademi dari sejumlah penjuru dunia. Bahasa Lamaholot contohnya, telah
didokumentasikan dengan memuat sekitar 7000 entri dan terbit di Jerman.
Sumber-sumber seperti itu sangat bagus untuk kita manfaatkan. Belum lagi
ratusan bahkan ribuan artikel maupun buku yang berhubungan dengan pulau-pulau
kita sangat banyak tersebar.
Artinya, kita adalah bagian dari diskursus
masyarakat ilmiah dan kita harus bisa menjadi bagian dari itu untuk bisa
berbicara dalam bahasa yang sama, bahasa ilmiah, ketimbang menjadi katak yang
mencari tempurung sendiri dan mengurung diri di baliknya sembari membuat
keributan-keributan kecil.
***