Minggu, 23 Juli 2017

Asyiknya Kerjabakti Bareng Anak

Ada pernyataan menggelitik  yang disampaikan Presiden Jokowi hari ini bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Orang nomor satu RI ini mengajak keluarga-keluarga supaya anak-anak diberi PR alias pekerjaan rumah. Bukan, bukan pekerjaan rumah mainstream berbentuk tugas pelajaran sekolah. PR yang dimaksud Jokowi adalah mengajak anak menjenguk teman yang sakit, membantu orang yang kesulitan, atau hal kecil lainnya seperti ikut kerja bakti di kampung. Saya ambil poin terakhir yaitu kerja bakti di kampung.
Kerja bakti sebenarnya disukai oleh anak-anak, baik yang pra sekolah maupun yang di sekolah dasar. Mayoritas di desa-desa hanya dua kalangan ini yang mendominasi. Sementara pelajar usia SMP ke atas biasanya sudah tinggal di kota kecamatan.

Keberadaan anak-anak kecil ini sering dianggap penghalang kalau mereka ikut berada di lokasi kerja bakti. Jika terlihat di sana, biasanya setelah pulang sekolah atau dari tempat bermain, mereka sering disingkirkan atau diusir oleh para orang dewasa yang beranggapan bahwa keberadaan anak-anak ini hanya menghalang-halangi orang yang bekerja.
Padahal, mengajak mereka ikut kerja bakti bisa berdampak positif lho. Kegiatan ini bisa melatih mereka aktif dan peduli serta mampu menempatkan diri dalam dinamika situasi kelompoknya, yang antara lain melalui kerja fisik nyata. Tetapi jangan bayangkan anak-anak ini harus mengerjakan pekerjaan orang dewasa yang berat-berat itu. Percayakan mereka melakukan pekerjaan ringan yang tidak menguras tenaga.
Di kampung memang sering berlangsung kerja bakti spontan. Pernah ketika saya pulang kantor, pelajar-pelajar sekolah yang sedang liburan beramai-ramai, (karena sedang menganggur tentunya), mengerjakan parit sepanjang lorong. Lorong tanah memang sudah amburadul digerus banjir dan tidak nyaman lagi dilalui. Mereka menggali saluran banjir itu dengan tidak begitu rapi. Latar belakang saya yang teknik pun menyembul ke permukaan. Saya tidak setuju cara kerja seperti itu. Saya lantas meminta anak-anak muda itu mencari tali untuk mengukur supaya parit dapat dibuat dengan rapi.
Anak muda dalam jumlah besar itu tidak banyak cingcong. Kelanjutan pekerjaan pun berjalan dengan baik. Para gadis diperintahkan untuk meminta sumbangan makanan mentah dari rumah ke rumah dan memasaknya. Sementara anak kecil yang mulanya hanya berkerumun menonton kami bimbing untuk mengambil batu yang ukurannya kecil-kecil sebesar kepalan tangan. Kakak kakak mereka yang lebih besar lagi ikut bergabung mengangkut batu-batu lainnya ke lokasi dimana batu-batu tersebut akan disusun sebagai perkerasan.
Iya, kami tidak sungkan memberi perintah kepada anak-anak itu. Mereka bukannya tidak bisa bekerja. Mereka hanya tidak tahu harus berbuat apa. Kalau di tempat proyek kan ada yang namanya mandor. Pekerja proyek meminta petunjuk kepada si mandor ini apa yang harus dikerjakan. Sementara di tempat kerja bakti, secara spontan harus ada seorang mandor yang mengorkestrasi segala sesuatunya agar berjalan dalam alur dan irama kerja. Tanpa kendali seorang mandor, kita hanya akan saksikan bahwa setiap orang tidak mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Masing-masing orang kan harus diberi panduan agar menyesuaikan pekerjaannya dengan pekerjaan rekan lain sesuai target kelompok itu. Tanpa diorkestrasi, maka masing-masing orang akan bekerja dengan caranya sendiri-sendiri, malah tidak nyambung dengan pekerjaan rekannya yang lain.
Lalu, bagimana dengan anak-anak? Mereka bekerja dengan senang hati. Secara psikologis, mereka memang sedang dalam tarafnya meniru apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa mereka tiru sedikit demi sedikit. Mereka pun tidak boleh dibiarkan bekerja tanpa arahan. Malah tidak sesuai dengan alur kerja orang dewasa nantinya sehingga bisa menjadi sasaran kemarahan. Jadi, mereka harus diberi perintah yang jelas dan tidak ambigu. Mereka pun dapat menyesuaikan diri dengan target pekerjaan kelompok itu. Mereka memang hanya mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan. Tetapi dengan jumlah personil yang biasanya besar, volume kerja mereka kadang lumayan besar. Malah dapat dibandingkan dengan volume kerja orang dewasa yang cendrung beranggota sedikit itu. Jadi, jangan remehkan anak kecil ya.
Pernah suatu waktu, ketika saya menggali tempat sampah di samping dapur, para keponakan saya yang usianya masih empat atau lima tahun ikut membantu bersama kakak-kakanya yang tujuh dan sembilan tahun. Kalau kakak kakaknya mengangkut tanah dalam jumlah besar dalam ember-ember plastik, maka ponaan yang empat tahun cukup mengangkut tanah menggunakan tempurung. Bukan volume kerja minimal itu yang jadi persoalan. Tetapi bagaimana anak-anak itu dapat bekerja dengan riang dengan kerelaan meniru apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Meski dengan berkeringat, anak-anak itu toh bekerja dengan semangat. Mereka bahkan menganggap pekerjaan ini sebagai bagian dari keriangan bermain.

 Jadi, ajaklah anak-anak anda bekerja. Percayakan mereka mengerjakan pekerjaan kecil yang mampu mereka lakukan dengan petunjuk yang jelas dan dapat mereka mengerti. Di masa depan, mereka diharapkan dapat memanggil kembali memori mereka di saat mereka bekerjasama, mencapai tujuan kelompok dan bagaimana mengikuti petunjuk orang yang mempercayakan pekerjaan itu kepada mereka. Latihan-latihan kecil seperti itu akan berguna saat usia produktif nantinya. Mempercayakan hal-hal kecil akan memampukan mereka mengemban kepercayaan yang lebih besar nantinya.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: