Kamis, 03 Agustus 2017

Bantuan, Antara Kail dan Ikan

Sudah sejak jaman kuno orang-orang di Negeri Cina mengenal adagium “Give a man fish”. Berilah kail, jangan beri ikan. Begitu kata cerdik cendekiawan di sana. Sampai kini di abad dua puluh satu, istilah tersebut masih santer terdengar di Indonesia kita.
Ungkapan ini tak sekadar peribahasa. Ia sudah diadopsi sebagai prinsip serta kebijakan pemberian bantuan oleh pemerintah kita. Alhasil, pemerintah selama periode tertentu lebih memilih bantuan peralatan ketimbang uang tunai. Dasar pikir mereka masih mengikuti adagium di atas. Peralatan mesin lebih mereka utamakan. Kail lebih penting daripada ikan.
Maka berdatanganlah sumbangan peralatan ke daerah-daerah, termasuk ke Flores Timur kita. Sebut saja mesin pengolah minyak kelapa di Adonara Barat. Ada juga bantuan mesin pemecah kemiri. Di tempat lain alsintan berupa traktor.
Di manakah mesin-mesin itu sekarang? Mungkin sudah lewat masa pakai. Operasi mesin memang bukan selamanya. Kemampuannya terbatas. Ada saat di mana operasi secara ekonomis tidak memungkinkan lagi. Tetapi pernahkah kita dengar kiprah dari mesin-mesin tersebut? Rasa-rasanya jarang. Tak pernah terdengar kabar antrian orang menggunakan jasa mesin tersebut. Tak juga terdengar bahwa produksinya memasuki pasaran. Atau kisah suksesnya mendongkrak hasil pertanian.

Apa yang salah? Bisa jadi sumbangan tersebut tak dilengkapi dengan manajerial yang mumpuni. Atau keuletan serta keterampilan mengoperasikan, atau pelibatan SDM lokal. Akhirnya peralatan yang diibaratkan kail itu pun menganggur. Umpan tak ada yang pas, si pemancing malah tidur.
Setiap teori terpercaya harus lolos uji dalam praktek. Termasuk pula adagium di atas. Dalam situasi tertentu, teori tersebut tak bertahan. Inilah yang rupanya disadari oleh salah satu teoritisi bernama James Ferguson. Bertentangan dengan anggapan umum, si James Ferguson melontarkan ide sebaliknya. Menurutnya, aliran uang tunai jauh lebih bermanfaat daripada memberi peralatan. Ya, beri orang ikan, jangan beri kailnya. Begitulah tesis yang diajukan sang teoritisi sebagaimana dikutip Bung Yusran Darmawan di blognya. Anggapan umum bahwa memberi kail lebih baik daripada memberi ikan, ternyata tidaklah selalu benar sesuai situasi. Sang ilmuwan menyimpulkan sendiri setelah melakukan studi di negara-negara berkembang.
Kini mulai disadari bahwa transfer dana tanpa syarat telah menjadi kekuatan positif. Lihat saja aliran dana yang ditransfer langsung ke desa-desa. Program pemerintah ini jelas sekali memberi ikan. Pemerintah tidak lagi memberi kail.
Mengapa? Memberi kail seringkali dijadikan obyekkan bagi orang-orang tertentu yang terkait atau dalam jaringan dengan tangan kekuasaan. Maka bantuan pun tidak tepat sasaran dan malah kedaluwarsa. Saya malah teringat kisah tentang seorang pengusaha yang kala awal ‘integrasi’ Tim-tim diperintah oleh seorang politisi untuk mendropping bantuan ribuan cangkul, sekop dan sepeda ke Tim-tim. Peralatan tersebut akhirnya tidak dipakai dan dibiarkan berkarat di gudang. Lha Tim-tim itu kebun kopi bukan sawah macam di Jawa.
Lihatlah aliran dana belakangan ini yang melimpah. Pemerintah telah mengguyur keranjang rakyat dengan ikan. Tinggal bagaimana terampilnya rakyat mengolah ikan itu menjadi sajian nikmat dan bergizi. (Simpet Soge)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: