Sudah sejak jaman kuno orang-orang di Negeri
Cina mengenal adagium “Give a man fish”. Berilah kail, jangan beri ikan. Begitu
kata cerdik cendekiawan di sana. Sampai kini di abad dua puluh satu, istilah tersebut
masih santer terdengar di Indonesia kita.
Ungkapan ini tak sekadar peribahasa. Ia sudah
diadopsi sebagai prinsip serta kebijakan pemberian bantuan oleh pemerintah kita.
Alhasil, pemerintah selama periode tertentu lebih memilih bantuan peralatan
ketimbang uang tunai. Dasar pikir mereka masih mengikuti adagium di atas. Peralatan
mesin lebih mereka utamakan. Kail lebih penting daripada ikan.
Maka berdatanganlah sumbangan peralatan ke
daerah-daerah, termasuk ke Flores Timur kita. Sebut saja mesin pengolah minyak
kelapa di Adonara Barat. Ada juga bantuan mesin pemecah kemiri. Di tempat lain alsintan
berupa traktor.
Di manakah mesin-mesin itu sekarang? Mungkin
sudah lewat masa pakai. Operasi mesin memang bukan selamanya. Kemampuannya
terbatas. Ada saat di mana operasi secara ekonomis tidak memungkinkan lagi. Tetapi
pernahkah kita dengar kiprah dari mesin-mesin tersebut? Rasa-rasanya jarang. Tak
pernah terdengar kabar antrian orang menggunakan jasa mesin tersebut. Tak juga
terdengar bahwa produksinya memasuki pasaran. Atau kisah suksesnya mendongkrak
hasil pertanian.
Apa yang salah? Bisa jadi sumbangan
tersebut tak dilengkapi dengan manajerial yang mumpuni. Atau keuletan serta keterampilan
mengoperasikan, atau pelibatan SDM lokal. Akhirnya peralatan yang diibaratkan
kail itu pun menganggur. Umpan tak ada yang pas, si pemancing malah tidur.
Setiap teori terpercaya harus
lolos uji dalam praktek. Termasuk pula adagium di atas. Dalam situasi tertentu,
teori tersebut tak bertahan. Inilah yang rupanya disadari oleh salah satu teoritisi
bernama James Ferguson. Bertentangan dengan anggapan umum, si James Ferguson
melontarkan ide sebaliknya. Menurutnya, aliran uang tunai jauh lebih bermanfaat
daripada memberi peralatan. Ya, beri orang ikan, jangan beri kailnya. Begitulah
tesis yang diajukan sang teoritisi sebagaimana dikutip Bung Yusran Darmawan di
blognya. Anggapan umum bahwa memberi kail lebih baik daripada memberi ikan, ternyata
tidaklah selalu benar sesuai situasi. Sang ilmuwan menyimpulkan sendiri setelah
melakukan studi di negara-negara berkembang.
Kini mulai disadari bahwa transfer dana
tanpa syarat telah menjadi kekuatan positif. Lihat saja aliran dana yang
ditransfer langsung ke desa-desa. Program pemerintah ini jelas sekali memberi
ikan. Pemerintah tidak lagi memberi kail.
Mengapa? Memberi kail seringkali dijadikan
obyekkan bagi orang-orang tertentu yang terkait atau dalam jaringan dengan tangan
kekuasaan. Maka bantuan pun tidak tepat sasaran dan malah kedaluwarsa. Saya malah
teringat kisah tentang seorang pengusaha yang kala awal ‘integrasi’ Tim-tim diperintah
oleh seorang politisi untuk mendropping bantuan ribuan cangkul, sekop dan
sepeda ke Tim-tim. Peralatan tersebut akhirnya tidak dipakai dan dibiarkan
berkarat di gudang. Lha Tim-tim itu kebun kopi bukan sawah macam di Jawa.
Lihatlah aliran dana belakangan ini yang melimpah.
Pemerintah telah mengguyur keranjang rakyat dengan ikan. Tinggal bagaimana terampilnya
rakyat mengolah ikan itu menjadi sajian nikmat dan bergizi. (Simpet Soge)