Sumber: http://btpn2015.fotokita.net |
Beberapa waktu lalu ketika hendak ke
Maumere, saya ingin bawa buah tangan untuk teman-teman di sana. Dipikir-pikir, yang paling pas tentulah jagung titi. Tapi carinya lumayan susah ternyata.
Di kios oleh-oleh khas Flotim ternyata tak tersedia. Hm padahal kalau
diingat-ingat, dulu semasa SD-SMP ibu kandung saya adalah produsen sekaligus penjual
jagung titi ini. Spesialisnya jagung titi yang masih muda. Rasanya lebih enak.
Mungkin ada yang bilang, ah gampang saja
cari di pasar atau ke emperan toko. Tapi tempat itu ternyata tidak buka
sepanjang hari. Di pasar lama hanya buka pagi dan sore. Cari punya cari, saya
dapat info kalau ada kios oleh-oleh khas Flotim di bilangan Kota. Saya pun
mampir. Tapi sayang di sana tidak dijual jagung titi. Yang ada hanya emping
jagung. Sudah telanjur basah ya akhirnya beli dua kotak emping jagung.
Jagung titi memang lumayan sulit dicari
ketika sedang buru-buru. Hanya penduduk lokal yang tahu kapan jadwal pasar buka. Di sana jagung titi banyak dijual. Tapi bagi orang yang sekadar singgah sesaat untuk
kemudian melanjutkan lagi perjalanan, sulit bagi mereka untuk ketemu barang
yang mereka cari itu. Bagi kalangan ini, mereka butuh tempat di mana jagung
titi dijual setiap hari. Bukan hanya pada hari pasar atau jam-jam tertentu.
Salah satu teman saya asal NTB yang
tinggal di Lembata sering beli jagung titi di Waiwerang. Katanya lebih murah
daripada di Lembata. Tapi ia kadang datang tidak tepat di hari pasar. Jadi yah
terpaksa pulang kosong. Begitu pula teman yang berkunjung dari Maumere. Karena bukan di hari pasar, ya terpaksa pulang juga dengan tangan kosong. Eh ketika
singgah di rumahnya di Maumere, ternyata jagung titi tersedia juga sebagai teman minum kopi.
Kebetulan mereka dikasih oleh tetangga-tetangga yang orang Adonara. Jagung titi tentu dibawa langsung fresh from oven dari kampung sana.
Ada lagi pengalaman ketika terjadi
kunjungan orang dari luar pulau. Salah seorang ibu, istri pejabat PLN
setempat harus menyajikan emping jagung dan bukannya jagung titi. Ketika
orang-orang memastikan apakah itu jagung titi, dengan terpaksa kami jelaskan
bahwa itu emping jagung dan bukan jagung titi. Memang, ibu yang menyajikan bukan orang asli
Flotim. Ia mungkin taunya hanya emping jagung yang populer. Lalu, yang mana jagung titi? Jelas bukan yang ini.
Peredaran jagung titi memang masih dengan
cara lama. Saya masih ingat dulu ibu saya setiap hari pasar mengantar satu
toples jagung titi kepada seorang Bapa Haji yang tinggal di dusun III Waiwadan.
Satu toples jagung harganya lima ribu, nilai yang cukup besar di jaman sebelum
krisis.
Barangkali ada lebih banyak orang yang
gemar makan jagung titi di luar sana. Tetapi karena pemasaran terbatas hanya
pada hari pasar tertentu, maka kelompok urban yang mobilitasnya tinggi tak
berkesempatan untuk membelinya. Mereka mendapatnya dari orang yang kebetulan kenal
dan bukannya dari para penjual langsung.