Selasa, 15 Agustus 2017

Sulitnya Cari Jagung Titi

Sumber: http://btpn2015.fotokita.net
Beberapa waktu lalu ketika hendak ke Maumere, saya ingin bawa buah tangan untuk teman-teman di sana. Dipikir-pikir, yang paling pas tentulah jagung titi. Tapi carinya lumayan susah ternyata. Di kios oleh-oleh khas Flotim ternyata tak tersedia. Hm padahal kalau diingat-ingat, dulu semasa SD-SMP ibu kandung saya adalah produsen sekaligus penjual jagung titi ini. Spesialisnya jagung titi yang masih muda. Rasanya lebih enak.
Mungkin ada yang bilang, ah gampang saja cari di pasar atau ke emperan toko. Tapi tempat itu ternyata tidak buka sepanjang hari. Di pasar lama hanya buka pagi dan sore. Cari punya cari, saya dapat info kalau ada kios oleh-oleh khas Flotim di bilangan Kota. Saya pun mampir. Tapi sayang di sana tidak dijual jagung titi. Yang ada hanya emping jagung. Sudah telanjur basah ya akhirnya beli dua kotak emping jagung.
Jagung titi memang lumayan sulit dicari ketika sedang buru-buru. Hanya penduduk lokal yang tahu kapan jadwal pasar buka. Di sana jagung titi banyak dijual. Tapi bagi orang yang sekadar singgah sesaat untuk kemudian melanjutkan lagi perjalanan, sulit bagi mereka untuk ketemu barang yang mereka cari itu. Bagi kalangan ini, mereka butuh tempat di mana jagung titi dijual setiap hari. Bukan hanya pada hari pasar atau jam-jam tertentu.

Salah satu teman saya asal NTB yang tinggal di Lembata sering beli jagung titi di Waiwerang. Katanya lebih murah daripada di Lembata. Tapi ia kadang datang tidak tepat di hari pasar. Jadi yah terpaksa pulang kosong. Begitu pula teman yang berkunjung dari Maumere. Karena bukan di hari pasar, ya terpaksa pulang juga dengan tangan kosong. Eh ketika singgah di rumahnya di Maumere, ternyata jagung titi tersedia juga sebagai teman minum kopi. Kebetulan mereka dikasih oleh tetangga-tetangga yang orang Adonara. Jagung titi tentu dibawa langsung fresh from oven dari kampung sana.
Ada lagi pengalaman ketika terjadi kunjungan orang dari luar pulau. Salah seorang ibu, istri pejabat PLN setempat harus menyajikan emping jagung dan bukannya jagung titi. Ketika orang-orang memastikan apakah itu jagung titi, dengan terpaksa kami jelaskan bahwa itu emping jagung dan bukan jagung titi. Memang, ibu yang menyajikan bukan orang asli Flotim. Ia mungkin taunya hanya emping jagung yang populer. Lalu, yang mana jagung titi? Jelas bukan yang ini.
Peredaran jagung titi memang masih dengan cara lama. Saya masih ingat dulu ibu saya setiap hari pasar mengantar satu toples jagung titi kepada seorang Bapa Haji yang tinggal di dusun III Waiwadan. Satu toples jagung harganya lima ribu, nilai yang cukup besar di jaman sebelum krisis.
Barangkali ada lebih banyak orang yang gemar makan jagung titi di luar sana. Tetapi karena pemasaran terbatas hanya pada hari pasar tertentu, maka kelompok urban yang mobilitasnya tinggi tak berkesempatan untuk membelinya. Mereka mendapatnya dari orang yang kebetulan kenal dan bukannya dari para penjual langsung.



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: