Saat ini kalau anda berkunjung ke
desa-desa di Adonara, maka banyak perubahan yang anda saksikan. Sejumlah desa mulai
mempercantik diri dengan lorong-lorong yang tertata. Desa lain membangun jalan
dari desa ke kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Tembok penahan alias
‘talud’gampang anda jumpai. Perubahan yang dulunya hanya impian kini nyata di
depan mata.
Tetapi hal miris akan anda temui
ketika bepergian ke kantong-kantong produksi. Masih banyak desa yang akses ke areal
kebun komoditi belum memadai. Tempat penghasil komoditas dagang ini kadangkala letaknya
jauh dari pemukiman. Lokasinya tak ramah dilalui kendaraan. Alhasil, memobilisir
hasil panen ke titik angkut nyaris sulit bagi petani.
Menjumpai fakta tersebut, spontan
timbul pertanyaan: apa yang menjadi prioritas pemerintah desa? Dua pilihan
dapat anda amati. Desa yang satu memilih menata kampung, dalam arti kampung
sebagai tempat tinggal. Sementara desa yang lain memilih membangun
infrastruktur pendukung ekonomi warganya, yaitu akses ke wilayah pertanian dan
perkebunan.
Dahulukan membangun infrastruktur
Meski berdomisili di Larantuka dan
kemudian Waiwerang, saya sering habiskan waktu di kampung halaman. Beberapa
tahun silam, di kampung sempat saya dengar informasi akan dibangunnya talud penahan.
Sumber biaya kabarnya berasal dari dana desa.
“Ah tidak penting itu” saya protes
dalam ngobrol informal dengan sejumlah orang muda. “yang mendesak itu jalan
tani. Bukan talud apalagi lorong”.
Saya pun ceritakan bagaimana sebuah
desa di pedalaman timur Adonara selama tiga tahun berturut-turut berhasil
menghubungkan jalan tani dari desanya ke jalan Trans Adonara. Mereka mencicilnya setiap
tahun dari dana ADD. Setelah genap waktunya, mereka pun bernapas lega. Puluhan
tahun hanya bercita-cita, kini desa sudah terhubung ke jalan raya. Kampung yang
dulunya sulit ditembus kini mudah dicapai. Aktivitas ekonomi pun otomatis
hidup.
Saya sendiri tidak tahu apa protes
saya sampai atau tidak ke yang berwajib. Tetapi yang pasti rencana talud di
kampung urung dikerjakan. Yang kemudian dibangun adalah jalan tani menuju jalan
raya yang sudah beraspal.
Tentang skala priorotas, ada
baiknya kita belajar dari wilayah kota. Di kota, yang menjadi prioritas adalah
area perdagangan dan layanan pemerintah. Infrastruktur jalan lebih diutamakan
di lokasi tersebut. Jalan harus lebar, memperhitungkan lalulintas kendaraan dan
orang. Alasannya karena wilayah tersebut akan dipadati oleh manusia dari segala
penjuru.
Di desa, pusat kegiatan ekonominya
adalah wilayah pertanian dan perkebunan. Masyarakat butuh akses ke kebun. Pengepul
hasil perlu ambil barang langsung di kebun petani. Pengusaha support service seperti layanan
transport dan suply air bersih butuh kendaraan mereka tetap mulus selama perjalanan.
Apa yang perlu disiapkan? Ya jalan.
Hadirnya jalan tani otomatis membuat usaha angkutan bertumbuh, baik angkutan orang
maupun barang. Keterjangkauan pun menyebabkan lahan tidur dimanfaatkan lagi. Bayangkan
saja jika lahan tidur semuanya dijangkau jalan semen. Maka untuk ke sana petani
tidak perlu waktu berjam-jam. Kegiatan penanaman pun berlangsung lancar, begitu
pula perawatan serta panen.
Dengan akses jalan, pusat
pertumbuhan baru akan muncul. Bukan, bukan pertumbuhan hunian baru. Yang muncul
adalah pusat kegiatan pertanian. Butuh tenaga kerja, gampang didropping. Butuh
air bersih, distribusi via roda empat mudah menjangkau. Sepuluh petani yang
kebunnya berdekatan bisa urun dana beli tangki lima ribu liter. Mereka bergiliran
pesan air satu tangki dibarter mente sepuluh kilo. Butuh material untuk bangun
gudang pangan/silo, tinggal dianggarkan dari dana desa.
Jika itu terjadi, maka kita tidak
perlu lagi mengirim generasi muda kita ke negara tetangga untuk bekerja di
kebun-kebun milik orang asing. Di kampung sendiri kegiatan ekonomi sudah hidup.
Kaum milenial betah di kebun bermodalkan power bank sambil selfi di kandang ternak.
Mereka bangga jadi petani karena tidak identik lagi dengan penghasilan minim.
Di titik ini, rasanya tidak relevan lagi
menanyakan kapan desa menata. Desa menata kalau sudah berciri urban. Lihat saja
tagline Pemda Flotim “Desa Membangun, Kota Menata”. Yang perlu ditata adalah
kota bukan desa. Dalam studi engineering pun belum ada jurusan khusus ‘Tata
Desa’. Kalau jurusan ‘Tata Kota’ mah banyak.
Dan kalaupun dipaksakan menata desa, apa
yang kita dapatkan? Lihat lorong-lorong tertata rapi tetapi jalan masuk ke
kampung mengenaskan. Sebagian besar waktu produktif penduduk dihabiskan di
kebun dan ladang. Pergi pulang kebun warga bagai kuda beban.
Pusat kegiatan ekonomi pedesaan berciri
agraris bukanlah di di wilayah pemukiman. Kalaupun ada, yang memanfaatkannya hanya
segelintir orang yang bekerja di sektor jasa. Itu pun konsentrasinya di wilayah
urban alias sudah bericiri kota.
Pilih mana? Mari cerdas menentukan
prioritas agar tidak terus tertinggal.