Rabu, 27 September 2017

Prioritas Desa: Membangun atau Menata?



Saat ini kalau anda berkunjung ke desa-desa di Adonara, maka banyak perubahan yang anda saksikan. Sejumlah desa mulai mempercantik diri dengan lorong-lorong yang tertata. Desa lain membangun jalan dari desa ke kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Tembok penahan alias ‘talud’gampang anda jumpai. Perubahan yang dulunya hanya impian kini nyata di depan mata.
Tetapi hal miris akan anda temui ketika bepergian ke kantong-kantong produksi. Masih banyak desa yang akses ke areal kebun komoditi belum memadai. Tempat penghasil komoditas dagang ini kadangkala letaknya jauh dari pemukiman. Lokasinya tak ramah dilalui kendaraan. Alhasil, memobilisir hasil panen ke titik angkut nyaris sulit bagi petani.

Menjumpai fakta tersebut, spontan timbul pertanyaan: apa yang menjadi prioritas pemerintah desa? Dua pilihan dapat anda amati. Desa yang satu memilih menata kampung, dalam arti kampung sebagai tempat tinggal. Sementara desa yang lain memilih membangun infrastruktur pendukung ekonomi warganya, yaitu akses ke wilayah pertanian dan perkebunan.

Dahulukan membangun infrastruktur
Meski berdomisili di Larantuka dan kemudian Waiwerang, saya sering habiskan waktu di kampung halaman. Beberapa tahun silam, di kampung sempat saya dengar informasi akan dibangunnya talud penahan. Sumber biaya kabarnya berasal dari dana desa.
“Ah tidak penting itu” saya protes dalam ngobrol informal dengan sejumlah orang muda. “yang mendesak itu jalan tani. Bukan talud apalagi lorong”.
Saya pun ceritakan bagaimana sebuah desa di pedalaman timur Adonara selama tiga tahun berturut-turut berhasil menghubungkan jalan tani dari desanya ke jalan Trans Adonara. Mereka mencicilnya setiap tahun dari dana ADD. Setelah genap waktunya, mereka pun bernapas lega. Puluhan tahun hanya bercita-cita, kini desa sudah terhubung ke jalan raya. Kampung yang dulunya sulit ditembus kini mudah dicapai. Aktivitas ekonomi pun otomatis hidup.
Saya sendiri tidak tahu apa protes saya sampai atau tidak ke yang berwajib. Tetapi yang pasti rencana talud di kampung urung dikerjakan. Yang kemudian dibangun adalah jalan tani menuju jalan raya yang sudah beraspal.
Tentang skala priorotas, ada baiknya kita belajar dari wilayah kota. Di kota, yang menjadi prioritas adalah area perdagangan dan layanan pemerintah. Infrastruktur jalan lebih diutamakan di lokasi tersebut. Jalan harus lebar, memperhitungkan lalulintas kendaraan dan orang. Alasannya karena wilayah tersebut akan dipadati oleh manusia dari segala penjuru.
Di desa, pusat kegiatan ekonominya adalah wilayah pertanian dan perkebunan. Masyarakat butuh akses ke kebun. Pengepul hasil perlu ambil barang langsung di kebun petani. Pengusaha support service seperti layanan transport dan suply air bersih butuh kendaraan mereka tetap mulus selama perjalanan.
Apa yang perlu disiapkan? Ya jalan. Hadirnya jalan tani otomatis membuat usaha angkutan bertumbuh, baik angkutan orang maupun barang. Keterjangkauan pun menyebabkan lahan tidur dimanfaatkan lagi. Bayangkan saja jika lahan tidur semuanya dijangkau jalan semen. Maka untuk ke sana petani tidak perlu waktu berjam-jam. Kegiatan penanaman pun berlangsung lancar, begitu pula perawatan serta panen.
Dengan akses jalan, pusat pertumbuhan baru akan muncul. Bukan, bukan pertumbuhan hunian baru. Yang muncul adalah pusat kegiatan pertanian. Butuh tenaga kerja, gampang didropping. Butuh air bersih, distribusi via roda empat mudah menjangkau. Sepuluh petani yang kebunnya berdekatan bisa urun dana beli tangki lima ribu liter. Mereka bergiliran pesan air satu tangki dibarter mente sepuluh kilo. Butuh material untuk bangun gudang pangan/silo, tinggal dianggarkan dari dana desa.
Jika itu terjadi, maka kita tidak perlu lagi mengirim generasi muda kita ke negara tetangga untuk bekerja di kebun-kebun milik orang asing. Di kampung sendiri kegiatan ekonomi sudah hidup. Kaum milenial betah di kebun bermodalkan power bank sambil selfi di kandang ternak. Mereka bangga jadi petani karena tidak identik lagi dengan penghasilan minim.

Di titik ini, rasanya tidak relevan lagi menanyakan kapan desa menata. Desa menata kalau sudah berciri urban. Lihat saja tagline Pemda Flotim “Desa Membangun, Kota Menata”. Yang perlu ditata adalah kota bukan desa. Dalam studi engineering pun belum ada jurusan khusus ‘Tata Desa’. Kalau jurusan ‘Tata Kota’ mah banyak.
Dan kalaupun dipaksakan menata desa, apa yang kita dapatkan? Lihat lorong-lorong tertata rapi tetapi jalan masuk ke kampung mengenaskan. Sebagian besar waktu produktif penduduk dihabiskan di kebun dan ladang. Pergi pulang kebun warga bagai kuda beban.
Pusat kegiatan ekonomi pedesaan berciri agraris bukanlah di di wilayah pemukiman. Kalaupun ada, yang memanfaatkannya hanya segelintir orang yang bekerja di sektor jasa. Itu pun konsentrasinya di wilayah urban alias sudah bericiri kota.
Pilih mana? Mari cerdas menentukan prioritas agar tidak terus tertinggal.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: