Di
dalam hutan rimba Dua Bele, tinggallah dua ekor binatang bernama Eki dan Lako.
Eki adalah nama dari seekor kera dan Lako adalah nama seekor musang. Mereka
berdua sebenarnya bukan sahabat karib. Tetapi
pagi hari itu ketika hendak pergi mencari makan, mereka berdua bertemu
di ujung jalan yang sama. Mereka pun menyadari bahwa perjalanannya searah,
sehingga jadilah mereka sepakat untuk mencari buah dan berburu di wilayah yang
sama.
Musang sama sekali belum mengenal bahwa kera
partnernya adalah binatang yang sangat malas dan mau enaknya sendiri. Tabiat si
kera memang tidak ingin bersusah payah
tetapi selalu rakus kalau mendapati makanan.
Setelah
kesepakatan dibuat, keduanya pun pergi bersama-sama. Pertama sekali, mereka
menyergap serombongan burung puyuh yang sedang mencari makan di semak-semak.
Musang dengan kecepatan geraknyanya diam-diam memburu burung puyuh itu,
membunuhnya beberapa ekor, lalu menyembunyikannya di bawah dedaunan. Sementara
kera hanya bermalas-malasan dan menonton saja. Ia tak membantu sedikitpun
ketika si musang membersihkan bulu burung-burung itu.
Selesai
mengurus daging puyuh itu dan kemudian mengumpulkannya di tempat tersembunyi,
keduanya kembali bepergian sekeliling hutan. Berjumpalah mereka dengan sebatang
pisang hutan di dekat situ. Pisang tersebut telah ranum dan siap dipetik.
"Ayo
kita kumpulkan buah -buah pisang ini dan kita bawa pulang untuk keluarga
kita," ajak si Lako sambil meloncat ke atas pohon pisang.
"Ayolah,
Lako. Nikmati saja dulu buah pisang yang enak itu. Sisanya boleh dibawa
pulang," kata Eki. Eki kemudian dengan cueknya menyantap buah-buah pisang
itu.
Lako
tidak mau menyantap buah pisang saat itu.
Ia memetik buah itu dengan hati-hati, lalu turun ke tanah untuk
mengumpulkannya di sana.
"Ayolah,
Leki, bantu saya. Sebentar lagi malam datang. Atau kalau mau, kamu bisa bantu
memotong-motong daging puyuh yang di sana," Lako meminta pertolongan Eki.
"Jangan
ganggu saya, saya lagi menikmati buah pisang yang enak ini," balas si Eki.
Terpaksa
musang pun bekerja sendirian. Setelah selesai memetik pisang dan
mengumpulkannya di atas tanah, musang pun memotong daging puyuh dan
menyisihkannya. Tinggal satu pekerjaan lagi, menganyam kantung dari daun kelapa
yang dalam bahasa Lamaholot disebut 'kewowo'.
Dengan
sabar, Lako mencari daun kelapa. Ia membelah pelepah itu di tengah-tengahnya
dan menganyam sendiri kantung dari daun itu. Tetapi ia menganyam dua kantung
yang berbeda. Kantung milik Eki dibuatnya dengan anyaman yang longgar sehingga
penuh lubang-lubang, sementara kantung miliknya sendiri dianyamnya dengan
rapat.
"Sekarang,
sudah selesai kantung ini saya anyam. Ayo kita isi hasil buruan kita hari
ini," si Lako mengajak Eki. Si Eki pun senang melihat semua pekerjaan
telah beres. Ia lalu meloncar turun dari pohon pisang tempatnya makan dan tidur
sepanjang setengah hari itu.
Mereka
membagi hasil perolehan mereka hari itu dengan adil, lalu menyimpan buah dan
daging dalam kantong masing-masing. "Matahari hampir tenggelam, ayo kita
pulang." ajak kera sambil menggantung barangnya pada sebuah kayu pukulan.
"Ayo!"
"Tapi,
lewat jalan manakah engkau akan pulang, saudaraku? Lewat jalan ayahmu atau
lewat jalan ibumu?" bertanyalah si Lako.
Dalam
dunia binatang, perjalanan lewat dahan pohon disebut 'amak rarane' yang artinya jalan milik Bapak. Jalur perjalanan ini
melintas jauh di atas sana, melewati dahan-dahan pohon yang tinggi menjulang
menantang langit. Sementara jalur di bawah disebut 'inak rarena' yang artinya jalan Ibu. Jalan ini diambil melintasi
tanah, di atas tubuh ibu bumi.
"Go kala amak rarane" begitu kata si
kera Eki. Artinya, kera Eki memilih jalur bapaknya. Ia akan meloncat dari satu
dahan ke dahan yang lain. Sementara si Lako memilih jalan ibunya. Ia akan
meloncat dari satu batu ke batu yang lain dan terkadang melintas di jurang dan
tanah yang licin.
Keduanya
pun kembali menuju rumah masing-masing. Kera dengan cepat segera meloncat pergi
menaiki pohon. Kantung hasil buruan ia pikul di bahunya. Ia berada jauh di atas
sana, sementara lako dengan diam-diam menyusuri jalan di bawah tanah.
Lako
sudah memperhitungkan bahwa setiap kali kera meloncat, satu buah pisang atau
satu potong daging setidaknya akan jatuh ke atas tanah karena anyaman milik si
Eki longgar. Banyak terdapat lubang di sana-sini.
Ketika
kera pertama kali meloncat, Eki mendengar bunyi benda jatuh di atas tanah.
"Hai
Lako sahabatku, benda apakah yang jatuh itu?" tanya Eki.
"Itu
bunyi buah kung* yang jatuh menimpa
tanah" kata Lako. Buah kung
adalah buah yang rasanya sangat tidak enak dan hanya disukai oleh
burung-burung.
"Oh,
rasanya sangat tidak enak. Biarlah ia terbuang di sana." sahut si Eki. Ia
sendiri tak sadar bahwa justru barang bawaan di kantungnya yang jatuh.
Ketika
ia meloncat lagi, terdengar lagi bunyi benda jatuh di atas tanah.
"Lako
sahabatku, benda apa itu yang jatuh?" tanya si Eki lagi.
"Itu
buah kung yang jatuh." sahut
Lako.
"Oh,
rasanya memang tidak enak" balas Eki.
Si
Eki melompat lagi, sementara si Lako mengumpulkan buah dan daging yang jatuh.
Kejadian
tersebut berlangsung terus menerus sepanjang perjalanan pulang. Lalu, di persimpangan
jalan menuju rumah masing-masing, keduanya pun berpisah.
Ketika
hendak mencapai rumahnya, si Eki terlebih dahulu mampir ke sungai kecil untuk
membersihkan diri. Tetapi sebelumnya, ia memeriksa dulu kantung hasil
buruannya. Ternyata kantong itu kosong melompong! Ia terpaksa memungut
batu-batu kali itu dan mengisinya ke dalam kantong berburunya itu.
Saat
tiba di rumah, ia memasukkan batu-batu itu ke dalam periuk, memasukkan air dan
menjerangnya di atas tungku. Ketika istri dan anak anaknya bertanya, ia
mengatakan bahwa hasil buruannya hari itu sedang dimasak. Tetapi binatang yang
ia tangkap badannya hanya penuh tulang-belulang. Tulang-belulang yang keras itu
tidak dapat dimakan, jadi hanya dapat dicicipi kuahnya saja.
Sementara
di rumahnya, Lako yang rajin itu bersuka ria dengan keluarganya. Ia memperoleh
hasil buruan yang berlipat. (Sumber: Cerita rakyat. Ditulis oleh Simpet Soge)
*Kung: pohon Loa (Nama latinnya Ficus racemosa)
*Kung: pohon Loa (Nama latinnya Ficus racemosa)