Di acara TV, Abdur Lamakera pernah
menyitir istilah atas dan bawah di Larantuka. Iya, kalau anda pertama kali
turun di terminal Larantuka, para kenek maupun sopir angkot selalu menanyai
arah tujuan kepergian anda. Siapa tahu anda menggunakan jasa angkutan mereka. Tapi jangan bingung ketika mereka
bertanya, atas ka? atau bawah ka?
Atas bukan berarti lewat pesawat terbang
saudara-saudara. Atas yang dimaksudkan adalah menuju ke arah timur kota
Larantuka. Sementara arah bawah berarti ke arah barat kota. Larantuka adalah
kota kecil yang jalur angkotnya hanya melayani arah atas dan bawah ini. Arah
atas berarti menuju ke Weri atau pasar baru, sementara arah bawah menuju ke
Balela atau Waibalun.
Pertanyaannya, kenapa mereka menggunakan
arah atas dan bawah, bukannya timur dan barat? Itu hanya masalah kebiasaan saja
saudara-saudara. Kata ini tampaknya diambil langsung dari bahasa ibu setempat.
Dalam bahasa Lamaholot, timur sering disebut teti atau heti,
dan barat sering disebut lali.
Tetapi dalam bahasa ini, teti juga berarti atas dan lali juga berarti bawah . Maka jadilah arah
timur disebut atas dan barat disebut bawah.
Tak hanya menunjukkan arah timur barat,
atas-bawah juga digunakan dalam merujuk ketinggian tempat. Dalam bahasa daerah
sering disebut “lau” “rae” dalam
bahasa Lamaholot dan “lao” “dara” untuk padanan bahasa melayu
Larantuka. Tempat yang terletak ke arah gunung disebut atas atau dara atau rae, sementara tempat yang ke arah laut disebut bawah, lao, atau lau.
Di Larantuka, di pulau-pulau sekitar pun rujukan dalam
menentukan arah menggunakan pola tersebut. Di Adonara bagian timur, dari
Waiwerang ke arah timur ada dua jalur angkot maupun angdes yang rutin melayani.
Ada jalan atas dan ada jalan bawah. Jalan atas adalah jalan yang letaknya lebih
ke arah gunung, sementara jalan bawah ada di arah dekat laut. Jadi, ketinggian
tempat dijadikan pedoman untuk ancar-ancar atas bawah ini.
Tetapi masalahnya adalah rujukan arah ini tidak setegas pengertian arah mata angin. Arah utara dan
selatan kadang sering membingungkan. Dalam pengalaman setempat, pedoman arah sering dirujuk ke arah gunung dan arah laut. Arah ke gunung disebut rae, sementara arah ke laut
disebut lau. Dalam bahasa
melayu dialek nagi dikenal lao sebagai "laut" dan dara sebagai arah
"darat" atau gunung. Lau bisa juga berarti tempat yang jauh di
seberang lautan. Dari itu, Kupang sering disebut lau, Jakarta disebut lau, Makassar juga disebut lau. Padahal letaknya sering
bertolak belakang.
Jika mengacu pada pedoman utara selatan,
maka di pantai utara Adonara misalnya di Waiwadan, arah Makassar disebut lau, sementara arah Kupang
disebut rae. Hal yang
berlawanan terjadi di Waiwerang atau di pantai selatan. Arah Kupang disebut lau sedangkan arah ke Makassar disebut rae. Tetapi untuk arah yang
jauh di seberang lautan, mayoritas digunakan istilah "lau".
Semoga
sebutan-sebutan ini tidak membingungkan anda. Kalau membingungkan, silahkan
gunakan saja bahasa Indonesia yang mana sebutan untuk keempat arah tidak
membingungkan.