Sabtu, 13 September 2008

Orang barat


Dulu, sewaktu masih jadi pelajar di Adonara Barat, saya sering mendengar anekdot ini.
“Di mana-mana di bumi ini, tempat-tempat yang bernama ‘Barat’ cendrung lebih maju daripada ‘Timur’”, Demikian permulaan anekdot yang sering dibawakan oleh para pemuka dalam pidato. Si pejabat (pihak yang sering menuturkan anekdot ini) mrngatakannya di hadapan ratusan warga desa untuk memotivasi. “Contohnya, dunia barat lebih maju dari dunia timur. Eropa Barat lebih maju dari Eropa Timur. Indonesia Barat lebih maju dari Indonesia Timur. Flores Barat lebih maju dari Flores Timur. Adonara barat..........” di sini, sang pejabat sengaja berhenti komat-kamit di depan mic. Lalu, sebagai pendengar, kami merasa bahwa Adonara Barat tidak lebih maju dari Adonara Timur.
Ya. Kami di Adonara Barat merasa lebih tertinggal dari rekan-rekan kami di belahan lain Adonara. Kami telah menjadi satu keanehan, berpredikat “orang Barat” tapi berbeda dengan “barat lainnya”.
Apa pasal? Lihat saja penampilan kampung-kampung atau pemukiman warga. Atau mudahnya, kota kecamatan. Kami, atau setidaknya saya waktu itu, merasa memiliki satu kota kebanggaan di kecamatan kami. Dan kota di kecamatan lain dianggap milik orang lain. Lantas, kami mulai mebanding-bandingkan –mirip dua anak kecil yang saling mambandingkan ayah mereka. Di Adonara Barat, kami memiliki Waiwadan sebagai kota kecamatan, sedangkan Waiwerang adalah ibukota kecamatan Adonara Timur. Dengan membandingkan fasilitas infrastruktur, Waiwadan sebagai wakil Adonara Barat kami anggap jauh tertinggal. Bak gayung bersambut, anekdot sang pejabat di atas mendukung anggapan ini, walaupun mungkin ia tidak bermaksud menciptakan polarisasi timur-barat.
Perasaan inferior ini memang tidak berlebihan. Teman-teman kami dari Adonara Timur mengatakan hal yang sama, atau setidak-tidaknya dalam tindak-tanduk mereka mencerminkan hala yang sama.
Seperti perasaan lainnya yang kadang tidak kuat bersandar pada fakta, kini perasaan yang sama muncul lagi dalam lingkup yang lebih kecil. Misalnya, dalam desa atau kecamatan kami sendiri, kami merasa bahwa warga tetangga kami lebih banyak memiliki orang terdidik daripada yang kami miliki. Ini lantas membuat kami kagum pada kemajuan yang mereka raih. Faktanya tidak selalu demikian. Mungkin saja kebalikannya yang terjadi. Dan bagi warga tetangga itu, mereka juga mengidap perasaan yang sama bahwa warga tetangganya yang lain memiliki lebih banyak orang terdidik. Dan mungkin saja, warga tetangga itu adalah warga desa kami.
Harapan saya, perasaan kagum ini bisa jadi inspirasi untuk persaingan sehat.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: