Saya pernah menjadi tamu selama dua bulan (10 April-10 Juni 2008) di kecamatan Pantai Baru, Pulau Rote. Ada tontonan yang baru saya lihat: ‘puku kaki’, suatu permainan saling memukul betis dengan rotan keras. Generasi seumurku (23 tahun saat ini) tidak pernah lagi menyaksikan permainan yang serupa di Adonara (disebut 'ua').
Tepatnya
di Desa Tesabela, permainan saat itu diadakan pada peringatan 40 hari
meninggalnya seorang tokoh desa.
Maaf
sebelumnya, peristiwa ini saya catat dalam format fiksi. Ini sebagian dari
catatan yang saya buat selama berada di sana.
Oh ya,
apa kabar bagi pemuda-pemuda Adonara? Di Adonara, khususnya di tempat tinggal
saya, acara peringatan kematian sering dihiasi dengan permainan kartu remi.
yang saya belum tahu, permainan 'ua' yang serupa dengan 'puku kaki' dulunya
dimainkan dalam acara apa? mengapa sekarang tidak lagi dapat kami saksikan?
Sebelumnya,
terima kasih banyak untuk Bapak Gustaf Folla, Ka' Andre, Teman Ur dan Efo, Ade
Jelita Fola yang pastinya tambah cantik, muda/i GBI jemaat Torsina, juga ama tol no ka' fa'di lemin semuanya.
Bulan melepaskan sebebas-bebasnya sinar di ruang terbuka
ini. Hari pukul dua belas kurang belasan menit. Malam. Dalam bisu, dua pria ada
di tengah-tengah kerumunan ratusan pasang mata, dengan sikap masing-masing.
yang seorang berbaju putih. Kakinya dililit kain di tepi atas dan bawah betis
dengan sasaran sepuluh sentimeter terbuka di tengah-tengah. Ia berdiri
mematung. Pria tegap lainnya memainkan sebuah benda panjang dengan diameter
seukuran lebar tiga jari. Benda sepanjang tiga depa lebih itu diayun-ayunkannya
untuk menyesuaikan kelebamannya. Setelah merasa benar-benar pas, si pemegang
kendorkan anggota geraknya sampai merentang jauh. Dua-duanya. Kaki dan Tangan.
Ototnya siap menerima kejutan tiba-tiba, yakni memendek dan menyalurkan daya
dorong yang hebat ke tangan yang memegang pemukul panjang. Pria yang menjadi
sasarannya melirik dan bergidik.
Sinar bulan menerpa benda putih
panjang di pegangan sebuah tangan kekar satu meter dari sasarannya berdiri.
Dalam detik yang bergerak maju, gesekan angin halus terdengar ketika tongkat
panjang mengayun. Pria yang menjadi sasaran turut mendengar bunyi letupan di
udara malam. Itu bunyi benturan dari tongkat milik lawan di kakinya. Ratusan
pasang telinga merekam semuanya. Ratusan pasang mata seperti enggan percaya
pada detik yang bergerak maju.
Kulit betis si pria sasaran
kelihatan yang mengkilap karena minyak itukelihatan mengembang akibat benturan,
tapi wajahnya tanpa ekspresi apapun. Ada kesempatan untuk membalas, tatapnya
dingin. Jelas ada, karena aturannya begitu. Beberapa detik lagi.
**************************
Serombogan pria berjalan dalam gelap temaram menuju arah
timur. Yang mereka lalui adalah satu-satunya jalan kendaraan roda empat yang
menghubungkan kampung mereka dengan desa tetangga. Saya adalah salah satu dari
mereka. Ini hari pertama saya berada di pulau ini. Tepatnya, belum genap
sehari.
Tiga jam lalu, satu rombongan dari dusun paling barat desa
telah lebih dahulu melawati jalan dan tujuan yang sama dengan mengendarai truk.
Tujuan semuanya adalah sebuah kampung paling timur, tempat dimana sebuah
permainan bernama Puku Kaki diadakan. Teman-teman saya telah terlebih dahulu
pergi dengan dibonceng.
PUKU KAKI. Sebuah permainan lelaki. Dan karena permainan
mengajarkan sesuatu tentang hidup, tidak apa-apa bagi saya mengorbankan jatah
tidur nyaman malam ini demi menyaksikan tontonan itu.
Selama perjalanan, saya tidak punya perbincangan apapun.
Semua orang mengoceh dengan kata-kata yang tak saya mengerti. Karenanya, saya
punya pikiran sendiri tentang hari pertama saya ini dengan tontonan eksotis
yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Dan layaknya semut hitam yang tak
terlalu paham adat kebiasaan semut merah, saya menurut saja dalam rombongan dan
mengikuti apa saja yang mereka lakukan.
Perjalanan itu menyusuri jalan pengerasan tanah putih
berakhir di sebuah persimpangan, dilanjutkan dengan jalan setapak untuk
memperpendek jarak. Malam dihiasi bulan yang sesekali terhalang oleh awan yang
berarak dalam arah berlawanan dengan perjalanan kami.
Malam yang seperti lawan bagi siapapun telah menyediakan
keadaan yang tepat untuk aktivitas tertentu. Beberapa pekerjaan berlangsung
tanpa keringat berlebih karena suhu dingin. Termasuk perjalanan kami yang
tergesa-gesa kini. Jalan setapak ini menyusuri rimbunan pohon, menuruni bukit
kecil yang menghutan.
Saat kami tiba, penonton dan pemain telah ada di sekeliling
sebuah lapangan terbuka. Sebagiannya berpencar atau bergerombol di pojok
lapangan, di bangku halaman dan tepi jalan aspal dekat rumah duka. Puluhan
sepeda motor dan sebuah truk diparkir berderet di kiri kanan jalan. Teman-teman
saya yang lainnya telah ada pula di situ. Kami diberi penghargaan sebagai tamu,
sehingga disediakan kursi plastik untuk tempat duduk. Sebagian besar orang
lainnya hanya mempunyai tanah atau batu sebagai tempat duduk.
Permainan akan berlangsung lebih malam lagi. Arena
permainan masih kosong. Dua buah tongkat seukuran sepertiga depa diletakkan di
tengah-tengah halaman. Di bagian utara, di sisi lapangan yang letaknya
berseberangan dengan dengan rumah duka, para pemain musik berkumpul dengan
peralatan mereka. Bunyi gong dan gendang yang mereka tabuh telah menghiasi
malam sejak sore harinya. Penonton sebagiannya masih berpencar saling berjauhan
menikmati musik yang hanya membunyikan irama pada malam yang masih muda ini.
Perumahan di tempat ini hanya berderet satu baris di tepi jalan. Di sebelah barat, terdapat bukit kecil tertutup hutan. Laut letaknya kurang dari satu kilometer di sebelah utara. Malam mendekap bagai induk ayam pada anak-anaknya. Saya merasa nyaman di sini. Seperti seorang anggota keluarga, saya diajak untuk mengikuti dan menikmati suasana yang sama seperti yang dirasakan semua orang. Dari tempat saya, masih terlihat mengalirnya pengunjung satu per satu dari kedua ujung jalan. Tempat ini adalah jalan utama sehingga mudah bagi siapapun untuk bergabung menyaksikan tontonan.
Perumahan di tempat ini hanya berderet satu baris di tepi jalan. Di sebelah barat, terdapat bukit kecil tertutup hutan. Laut letaknya kurang dari satu kilometer di sebelah utara. Malam mendekap bagai induk ayam pada anak-anaknya. Saya merasa nyaman di sini. Seperti seorang anggota keluarga, saya diajak untuk mengikuti dan menikmati suasana yang sama seperti yang dirasakan semua orang. Dari tempat saya, masih terlihat mengalirnya pengunjung satu per satu dari kedua ujung jalan. Tempat ini adalah jalan utama sehingga mudah bagi siapapun untuk bergabung menyaksikan tontonan.
Saat kelompok pemusik membunyikan irama yang makin cepat,
para penonton mulai merapat lagi menuju tepi halaman terbuka yang akan
dijadikan arena. Halaman ini tanpa pembatas apapun. Di tengah-tengahnya
dipasang lampu phillips disangga pada tiang. Seorang pria datang membawa
setumpuk karung sebesar bantal dan sebuah kain serbet, lalu meletakkannya di
tempat pemain musik berada.
Permainan dimulai. Mengikuti irama gong dan gendang,
seorang pria lainnya berlari menuju tengah arena. Ia menari dengan gerakan
cepat dan pandangan yang menantang sekeliling penonton. Celana panjangnya
digulung tinggi-tinggi menunjukkan bagian bawah kakinya yang coklat dan
berotot. Kakinya lantas diangkat satu per satu, seperti memamerkan kepada
penonton di belakang barisan yang tidak sempat melihat.
Masih dengan pandangan mata yang beredar jauh sekeliling,
kakinya yang terangkat digoyang-goyangkannya dengan kaku sambil menahan bagian
kaki celananya agar tidak menutup. Setelah dua menit di arena, pria ini lalu
menuju tepi kerumunan dengan berlari, menghilang ke bagian belakang penonton.
Ia tak mendapatkan penantangnya.
Gong dan gendang masih beradu dengan pemukulnya. Penabuhnya
terdiri dari empat pria. Penabuh gendang adalah seorang pria berotot dan paling
besar postur tubuhnya di antara orang-orang lain di situ. Ia bisa bertahan
memukul gendang dengan irama cepat dalam waktu yang lama. Irama perang.
Kini berganti seorang pria muda menari di arena. Celana
panjangnya dinaikkan seperti bersiap-siap menerima pukulan rotan. Gerakannya
yang menonjolkan kekuatan dan bentuk kaki yang kokoh mengundang seseorang di
luar arena untuk bertanding saling memukul. Karena undangannya tak berjawab, ia
meninggalkan arena dengan berlari ke belakang penonton. Setengah menit ia di
arena.
Waktu terus bergerak maju. Sementara laut memukul batuan
pantai dan sinar matahari memukul permukaan bulan dan terpantul ke wajah
pedesaan malam itu, para pria saling mengundang untuk menunjukkan ketahanan
mereka berhadapan dengan rotan yang dipukul lawan ke daging betis mereka.
Kini, seorang pria sepuh menuju tengah-tengah arena dan
menandai setiap orang berdiam diri. Riuhnya celotehan surut. Suara musik
berhenti. Pria sepuh itu mengumumkan aturan-aturan permainan. Ia memilih salah
satu dari kedua tongkat pemukul, tetapi usul dari tepi lapangan meminta kedua
tongkat digunakan sesuai pilihan pemain.
Aturan adalah panglima permainan. Ia mengumumkan satu per
satu dengan bahasa yang tak bisa saya mengerti, kecuali gerakan isyarat tangannya.
Pria itu menyusun kembali kedua rotan di tengah arena.
Di halaman itu, saya punya lima belas teman perjalanan.
Semuanya jadi pelancong, menyaksikan tontonan bengis: seseorang siap menyiksa
seorang lainnya dengan rotan. Untuk mengalami ketakutan dan ketegangan yang
sama, kami berkumpul dalam kerumunan yang sama di sebelah barat, tepat di tepi
atap rumah duka.
Di tepi halaman, sementara para pelayan mengedarkan
hidangan kopi panas, arena mulai riuh. Seorang pemain mendapatkan penantangnya.
Kedua pihak mesti sepakat untuk memulai. Pemain yang lebih dulu ke arena harus
setuju jika penantang yang dirasanya seimbang maju. Ia boleh menolak hanya
dengan keluar arena.
Untuk menyatakan siap, pemain yang mengundang menuju tempat
diletakkannya karung, lalu melilitkan ke tepi atas dan bawah kakinya. Seseorang
membantunya mengikatkan karung itu, dan lapisan paling luar diikatkan serbet.
Sebuah sasaran selebar sepuluh senti harus disisakan untuk tidak ditutup.
Tempat itu adalah tujuan pukulan rotan yang sedang dipegang sang penantang yang
sedang membuat pemanasan.
Hawa dingin di luar arena dan panas di tengah-tengah. Kami,
para tamu yang belum pernah melihat adegan itu, menahan napas, menebak apa yang
mungkin terjadi. Permainan dimulai. Adegan ini adalah ajang unjuk kekuatan bagi
sang pemukul dan unjuk ketahanan bagi sasaran. Sang pemukul lalu merentangkan
tangannya, menduga jarak ke sasaran, lalu mengusahakan kekuatan dan kecepatan
puncak pada ujung tongkatnya.
Memukul sasaran harus penuh perhitungan, harus menciptakan
rasa getir yang paling dalam di kaki sasaran. Dalam separuh detik berikutnya,
kelebatan bayangan rotan mengayun disusul bunyi benturan keras. Ada bunyi
keluhan, tapi datangnya bukan dari mulut pria yang menjadi sasaran. Ia masih
tampil dengan jaya, melepaskan pelapis kakinya. Giliran berikutnya berganti.
Pria yang tadinya memukul kini berganti posisi menjadi sasaran. Ia siap
mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang dilakukannya pada pria sasarannya
tadi.
Sakit yang menyengat tidak saja terasa pada pemilik betis
yang membiru akibat benturan, tapi juga pada wajah-wajah yang baru menyaksikan
adegan pemukulan. Kami -para tamu- merasa yakin bahwa pemukulan itu adalah
adegan kekerasan yang tak perlu terjadi. Dua tiga wanita membuang muka ke luar
lapangan. Sebagiannya merapatkan wajah atau menutupi wajah. Tapi bunyi ayunan
rotan yang diakhiri benturan telah memberitahu semuanya tentang yang
sesungguhnya terjadi. Sementara seorang teman saya menyimpan adegan yang
direkamnya di HP, para gadis bergidik mengalihkan pandangannya kembali ke arena
dengan para pemain yang masih lengkap di sana. Pada permainan yang berlanjut,
bunyi gong dan gendang terus bertalu dalam irama perang.
Para pemain diundang ke halaman terbuka ini tidak sekadar
unjuk kebolehan dan menyediakan tontonan eksotis. Di hadapan ratusan pasang
mata, mereka telah menunjukkan kehormatannya pada aturan permainan. Yang
menjadi pedoman adalah tradisi yang dibentuk dalam kurun waktu mencakup
sejumlah generasi. Dan ini dibentuk oleh kebijaksanaan kolektif, yang
menghimpun ide-ide tentang kebaikan sejauh yang dapat mereka jangkau.
Saya memandang kaki-kaki mereka. Kaki adalah penopang
tegaknya tubuh. Ketika penopang itu harus berhadapan dengan ancaman, seseorang
harus lebih dulu belajar merasakan kuatnya ancaman itu. Ancaman datang dari
perlakuan orang lain, dan pihak yang mengancam mempunyai potensi yang sama
untuk itu.
Seorang pria muda kini menari di halaman, menghabiskan
waktunya di situ tanpa ada yang menantang. Pemuda lain yang masuk tidak untuk
menantangnya, tapi mengambil tongkat pemukul dan mulai menari. Lawan yang
seimbang mesti maju. Setu pemuda lagi maju menuju tempat karung diletakkan.
Jelas, ia jadi penantang. Pemegang tongkat rotan tidak mundur. Ia menyanggupi.
Permainan siap. Tarian berhenti. Musik kini bisu.
Ayunan tongkat pertama tidak kena sasaran dengan tepat,
menyenggol karung sehingga bunyi berisik terdengar. Sasaran memberikan isyarat
menawarkan satu pukulan lagi. Sang pemukul menyanggupi, memperbaiki
ketepatannya, dan sasaran terkena pukulan jitu hingga membiru betisnya.
Berikutnya peranan sang pemukul berganti. Ia menjadi sasarannya kini.
Pembungkus kakinya dililitkan sebaik-baiknya. Segumpal daging terbungkus kulit
di betisnya akan menjadi tempat mendaratnya ujung tongkat rotan sepanjang
sepertiga depa. Ia mendengar sendiri napasnya setelah benturan terdengar, tapi
satu pukulan lagi mesti ia terima. Seorang petugas melumuri kakinya dengan
cairan hingga mengkilap, membuatnya merasa yakin akan efek cairan itu lalu
meninggalkannya berhadapan dengan ancaman tongkat. Sekali lagi, benturan
berikut yang kekuatannya telah ditaksir menimpa bagian bawah kakinya itu,
meninggalkan kulit yang mengembang sejenak karena otot yang mengerut, lalu rata
kembali dengan meninggalkan bekas merah membiru. Ia meninggalkan arena dengan
pincang beberapa detik berikutnya.
Tapi, semua orang tidak lagi bisa membedakan dari langkah
kaki mereka setelah meninggalkan arena itu, mana para pemain tadi. Langkah kaki
dan gerak tubuh mereka sudah seperti sediakala.