Sabtu, 18 Oktober 2008

Ini Lamalewa


-->
Kata Pengantar
(pada lembaran stensilan)


-->

Buku sejarah tentang lahirnya sebuah kampung bernama Lamalewa ini penulis dan penyusun persembahkan kepada masyarakat Lamalewa, teristimewa bagi anak-anak penerus generasi serta para pelajar yang kini sedang bergelut di bangku pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang berasal dari Lamalewa. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mengetahui secara mendalam serta mendetail tentang asal-usul suatu rumpun bangsa, khususnya rumpun atau marga dari cikal balik yang menurunkan masyarakat Lamalewa yang sekarang sedang menghuni kampung Lamalewa maupun anak cucu yang akan hidup di kampung ini di masa-masa yang akan datang.
Buku ini disusun hampir selama empat tahun karena penyusun menyadari bahwa menulis sebuah sejarah tidaklah mudah dan gampang oleh karena itu dalam menulis sejarah ini saya meminta kerelaan sang leluhur Lewotana , untuk senantiasa memberikan jalan petunjuk untuk menyelesaikan buku kecil ini, agar dapat digunakan sebagai suatu cerita yang benar dan akurat. Dalam menyusun buku ini, penulis merekam pengalaman bersama tokoh-tokoh yang dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian cerita tentang asal-usul dari kampung Lamalewa.
Walaupun semuanya telah saya tulis tetapi sebagai manusia tentu tidak luput dari kekurangan dalam merangkum semua ini. Oleh karena itu, saran serta input apa saja dari pembaca saya terima dengan tangan terbuka dan kepala dingin demi penulisan secara sempurna sejarah berdirinya kampung Lamalewa.
Akhirnya penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada almahrum Boli Basa, Guang Tana, Bernardus Kopong Lewa, Moses Payong Padak, Silas Nama Igo, Albinus Arakian Kelasa dan orang yang disebutkan namanya di sini, yang telah bersedia memberikan cerita sejarah riwayat kampung Lamalewa sejak dulu dan penulis bukukan dengan baik dan penulis jadikan acuan untuk menyusun buku ini.
Semoga Tuhan dan Lewotana senantiasa melindungi dan memberkati kita semua.
Lamalewa, 20 Mei 2004

Penyusun,



Kornelius Kopong


SEJARAH LAHIRNYA KAMPUNG LAMALEWA

Lamalewa pada mulanya bernama Kiwang Bao atau ata Kiwang Mao. Kiwang Bao berasal dari sebuah pulau bernama Keroko Puken Lapang Batang, pulau tersebut terletak di antara pulau Alor dan pulau Lembata. Kedatangan nenek moyang ini diperkirakan sekitar abad ke 16. Mereka mengungsi karena di daerah asalnya atau di pulau Lapang Batang terjadi gelombang pasang sehingga menimpa pulau tersebut sampai tenggelam di dasar laut. Bencana itu mereka sebut belena-lena belebo-lebo. Para penghuni ada yang tenggelam bersama pulaunya, dan ada juga yang selamat dengan menggunakan perahu. Mereka berlayar mencari tempat yang lebih aman dan lebih baik. Mereka berlayar mencari tempat atau pulau baru atau pulau yang berdekatan dengan pulau Lapang Batang. Dari sekian perahu yang mereka gunakan, ada dua perahu yang mendarat tepat di ai Wao Wutun, ai dimana menjadi wilayah tuan tana Pati Namayang biasa mereka sebut Pati Ata Bele, karena ia adalah Kebele Rayaorang Lamawolo. Kelompok orang yang di dalam perahu itu di bawah empat orang pemimpin yaitu Bayo, Laga, Dosi, dan Arsoni, dan keempatnya kelak menjadi menjadi kepala suku dari suku-suku yang di Kiwang Bao kelak dan ada sampai sekarang.

Ada pantun para leluhur Bayo, Laga, Dosi, dan Arsoni menyangkut hal kedatangan mereka tersebut, yang bunyinya sebagai berikut:

Kame teti timu hau

Lau lapang batang dai

Gawe lewo gawe tasik

Nuan pira leron pira

Kame tuen lewo maiken

E rae ile e rae e

E rae ile e rae e

Syair mereka nyanyikan sebagai tanda perpisahan dengan Lewotana mereka sembari mengharapkan suatu tempat tujuan baru yang mereka dambakan dalam pelayaran yang sedang mereka arungi. Dari kedua buah perahu yang mereka tumpangi bersama-sama menyinggahi ai Wao Wutun di dekat desa Homa, dalam perkiraan bahwa singgahnya kedua perahu itu hampir pasti mereka kehabisan air untuk persiapan minum dalam perahu itu. Sebab di sebelah timur beberapa meter dari ai Wao Wutun mengalir sebuah sungai terus ke laut namanya Wai Burak. Wai Burak ini terlihat jelas dari laut pada saat air surut, sehingga para penghuni di dalam perahu itu dengan jelas melihat di pantai sana ada sebuah sungai yang mengalir. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa membuang sauh untuk mendarat.

Setelah mengisi air, perahu yang satu berlayar ke arah barat dan menuju kaki Ile Mandiri dan berbaur dengan penduduk salah satu desa di kaki Ile Mandiri yang namanya kampung Lewolere sekarang. Sedangkan perahu yang ditumpangi oleh Bayo, Laga, Dosi, dan Arsoni serta penghuni yang lain tetap berada di pantai ai Wao Wutun. Adapun letak ai Wao Wutun agak di dataran rendah dari Bukit Seburi maka nampak jelas sekali perahu tersebut dari tempat yang tinggi di lereng Bukit Seburi. Kampung yang letaknya agak tinggi dan dapat melihat dengan jelas laut Flores mulai dari Ile Batu Tara, Selat Larantuka dengan ujung dari pulau Flores dekat dengan Nuha Belao dalam bahasa Indonesianya Pulau Mas, adalah sebuah kampung namanya Lamawolo, yang dalam bahasa pameonya disebut Wolo Lama Nading, Bunga Tana Lela. Dari lereng Bukit Seburi itu letak kampung Lamawolo yang menjadi tuan tanah adalah Pati Nama atau lasim disebut Pati Ata Bele.

Mereka melihat perahu itu sudah beberapa hari berlabuh, namun dari pihak mereka takut jangan sampai perahu itu perahu milik bajak laut yang ingin merampok atau membunuh. Tetapi karena ai Wao Wutun adalah wilayahnya Pati Nama maka mereka mencoba untuk turun ke pantai melihat dari dekat keadaan perahu dan para penumpangnya. Maka Tuan Tana Pati Nama bersama beberapa orang pendampingnya membawa senjata berupa anak panah, busur, lembing dan parang serta bedil rakitan sendiri. Mereka membawa senjata lengkap sebab menjaga kemungkinan yang akan terjadi, sebab pada waktu itu banyak perampok laut atau bajak laut yang ingin mencuri atau merampok serta membunuh musuh yang mereka temui.

Adapun jarak kampung Lamawolo dengan pantai ai Wao Wutun sekitar sembilan kilometer. Pati Nama bersama rombongan ingin mengecek perahu itu dari dekat dengan selalu berhati-hati dan penuh rasa takut, tapi karena keberanian mereka, maka sampailah mereka di pantai ai Wao Wutun. Mereka mulai mengadakan kontak dengan orang-orang yang ada di perahu itu. Dan tampak dari dalam perahu orang-orang yang tadinya merasa takut mulai berdiri dan mengadakan kontak dengan Pati Ata Bele bersama rombongannya di pantai ai Wao Wutun.

Kontak atau hubungan berjalan dengan sebutan Pasak Mau. Di pantai, Pati Ata Bele mencari sebutir telur ayam dan meletakannya di atas telapak tangannya. Dan dari dalam perahu juga mencabut sehelai rambut yang panjang sebab pada waktu itu pada umumnya mereka memiliki rambut yang panjang yang mereka sebut kemohe. Setelah Pati Nama di darat telah siap dengan telur di telapak tangannya dan Bayo di dalam perahu memegang rambut pada ujungnya maka terjadilah acara Pasak Mau. Pasak Mau adalah sebuah acara kepasa untuk mendapat suatu kebenaran dari suatu peristiwa. Bayo menembak telur ayam yang ada dalam telapak tangan Pati Ata Bele, dan sasarannya tepat mengenai telur itu yang sebelahnya jatuh di atas pasir dan sebelahnya tetap dalam telapak tangan Pati Ata Bele. Dari pantai, Pati Ata Bele mengambil bedilnya dan menembak sehelai rambut yang dipegang Bayo pada ujungnya tepat kena di tengah-tengah, sehingga rambut yang setengahnya jatuh di dalam laut. Setelah upacara pasak mau dilaksanakan dan ternyata ada unsur kebenaran dari acara ini, maka tidak sangsi lagi tentang orang yang ada di dalam perahu itu, dan Pati Ata Bele memberi isyarat supaya orang yang ada di perahu itu segera turun ke darat agar bisa mendapat sesuatu pertolongan dari Pati Ata Bele. Adapun yang dibawa oleh para penumpang itu adalah:

1. Sebilah keris berhulu emas (Keris Koten Belaon)

2. Seekor kerbau, yang pada bagian pahanya berwarna putih sehingga disebut Kerbau Uwe Bura.

3. Seekor ayam jantan yang mereka sebut Manuk Snowa

4. Sebuah kumbang

Setelah mereka adakan acara Pasak Mau, ternyata unsur kebenaran tercapai yakni dengan tembakan dari pantai yang mengenai sasaran sehelai rambut yang dipegang dalam perahu, maupun tembakan dari dalam perahu mengenai sasaran sebutir telur yang dipegang oleh Pati Ata Bele dalam telapak tangannya yang berdiri di pantai. Atau dengan kata lain, orang yang ada di perahu itu adalah orang baik, bukan musuh. Mereka yang ada di dalam perahu itu terdiri dari sekelompok orang dengan kepala sukunya bernama Bayo, Laga, Dosi, dan Arsoni. Bayo sebagai koten, Laga sebagai kelen, Dosi sebagai hurint, serta Arsoni sebagai maran. Hal mana yang mereka sebut waktu itu untuk menyatakan rasa kesatuan dan persatuan mereka sebut: Brui, Kole, Megu, Matan.

Mereka turun ke darat dan membawa juga dengan kumbang yang berisi air, dan air itu mereka tumpahkan dekat ai Wao Wutun arah ke timur, sehingga sampai hari ini di tempat itu ada genangan air tumpahan dari kumbang itu. Pati Ata Bele dan pasukannya menerima Bayo dan rombongannya menuju kampung Lamawolo yang dalam bahasa kenopak-nya disebut: Wolo Lama Hading, Bunga Tana Lela, yang jaraknya sekitar sembilan kilometer dari ai Wao Wutun.

Dalam perjalanan itu, Bayo dan rombongannya membawa:

1. Seekor kerbau

2. Sebilah keris berhulu emas

3. Seekor ayam jantan yang mereka sebut manuk snowa

4. Dan barang bawaan mereka lainnya.

Setibanya di Lamawolo, rombongan Bayo dijamu dengan pesta besar-besaran untuk mengingat bahwa Bayo dan saudara-saudaranya ini kan dijadikan sebagai ribu-ratu Pati Ata Bele. Rombongan ini mereka namakan orang Kiwang Bao, artinya ata kiwang yang bao di laut. Disebut sebagai ata kiwang karena mereka ini sebagai orang pendatang baru di Lamawolo. Pati Ata Bele dan ata ribu-ratu mengadakan pesta selama tujuh hari untuk menjamu bergembira bersama-sama karena telah menemukan orang yang kesasar dan akan menjadi Kaka Ari, atau Kaka Pati Ari Beda.

Setelah mengadakan pesta itu, Pati Ata Bele memikirkan bagaimana dengan pemukiman orang Kiwang Bao ini kelak. Dalam pada itu, tentu Pati Ata Bele sedang melirik keris yang Disebut Keris Koten Belaon dan seekor kerbau yang di bagian pantatnya berwarna putih sehingga mereka namakan Kerbau Uwe Bura yang dibawa oleh Bayo dan rombongannya. Setelah mendapat jalan keluar yang baik dalam perembukan bersama, maka Bayo dan kawan-kawannya menyerahkan sebilah keris dan seekor kerbau kepada Pati Ata Bele, dan sebagai gantinya, Pati Ata Bele menyerahkan tanah sebagian yang berbatasan dengan tanah Waikewak, tepatnya di batas Wai Date sekarang. Dan tanah yang diserahkan itu disebut “Tana Kese” dan tanah yang sisa disebut “Tanah Bele” yang digarap oleh orang Lamawolo sampai sekarang dan Tanah Kese seluruhnya digarap oleh orang Kiwang Bao.

Pada waktu penyerahan Tanah Kese kepada Bayo dan kawan-kawannya, Pati Ata Bele mengatakan bahwa Bayo dan kawan-kawan atau rombongannya jaga Koong Kera, jaga Raran Wutun, sehingga mereka diberi tempat di sebelah timur Lamawolo untuk menjaga munak dari Dua Baya. Hal ini boleh dikatakan sebagai suatu kiasan tapi dalam arti sebenarnya adalah Bayo dan rombongannya menjaga Raran Wutun musuh Teti Timu Hau untuk melindungi Kebele Rayadi Lamawolo.

Tempat pemukiman mereka itu mereka namakan “Koli Puken” atau mereka sebut Kiwang Bao. Hal ini tebukti bahwa sampai dengan hari ini orang-orang sekitar masih menyebut ata Kiwang Bao.

Sesudah mendiami Koli Puken, para leluhur ini terpencar menghuni beberapa tempat, antara lain Nuba Hikun, Dua Papa, Dua Siti, Wato Heran dan Lewo One yang kemudian diubah menjadi Lamalewa.

Adapun alasan terpencarnya mereka mungkin ada kematian sehingga para leluhur itu harus pindah karena menganggap tempat yang mereka huni itu tanah yang tidak baik, tanah yang memakan jiwa manusia. Hal ini dapat dipastikan benar dengan melihat salah satu suku di Irian Barat bernama suku Tapiro, dimana mereka selalu berpindah tempat jika ada kematian di tempat hunian mereka.

Dari tempat yang dihuni itu, Nuba Hikun, Dua Siti, Wato Heran dan Lewo One, yang berperan sebagai Lewo Ihike adalah Lewo One. Di Lewo One ini mereka bangun Iki Kewaat Lewotana dengan mengumpulkan batu yang mereka sebut Nuba Nara dari keempat suku tersebut. Dan di Dua Siti mereka bangun rumah pertemuan untuk pergi berperang atau rumah untuk urusan adat lainnya yang mereka namakan Koke Bale. Nuba Nara untuk keempat suku tersebut, Bayo, Laga, Dosi, dan Arsoni, sekarang masih ada tapi tak terawat dengan baik. Kelihatannya dari keempat hunian leluhur itu kita lihat jelas ada empat suku yang terpisah tempat tinggalnya.

Pada awalnya, di masing-masing tempat tinggal mereka, rasa aman dan tenang selalu ada, namun mereka tak dapat tahan tinggal lama jika ada orang meninggal di tempat itu. Jika demikian, mereka lebih senang pindah atau mencari tempat tinggal yang bagi mereka tidak boleh ada orang yang meninggal dunia. Untuk mengatasi kematian ini, maka di Lewo One atau di Lewo Ihike mereka berusaha untuk mendatangkan atau mencari dukun agar bisa menjauhkan mereka dari hal kematian ini.

Dukun yang mereka cari cukup terkenal dari Lomblen, sekarang Lembata dari kampung Lamalera. Dukun itu datang di Lewo One dan membuat serimonial dan merubah nama Kiwang Bao menjadi Lamalewa, sehingga munculnya Lamalewa sampai sekarang. Dengan sebutan pameonya: Pama Lama Dike. Lewa Lama Dope. Adapun nama dukun itu adalah Buga. Dan diperkirakan molan Buga itu mengabadikan nama kampungnya di Lomblen yang bernama Lamalewar. Atau hampir pasti, untuk mengenang jasanya ia ber-fam Lamalewar, sehingga mengabadikan namanya di Kiwang Bao. Namun kelihatannya orang lebih senang menggunakan sebutan ata Kiwang Bao, kendatipun nama Lamalewa nanti disejajarkan kampung Lamawolo, sehingga orang selalu menyebut Lamawolo-Lamalewa, bukan Lamalewa-Lamawolo.

Nama Kiwang Bao sampai dengan hari ini disebut oleh penduduk di sekitarnya, seperti orang Lewohele, orang Bui, orang Bayuwuan, Waihelan, orang Waitenepang, dan masih banyak orang lagi yang menyebut ata Kiwang Bao, dari Kiwang Bao, atau ke Kiwang Bao.

Alhasil sebutan Kiwang Bao ini sesuai sebutan Pati Ata Bele pada saat menyelamatkan ata kiwang di pantai ai Wao Wutun beberapa puluh tahun yang lalu. Setelah molan Buga kembali ke Lomblen, para leluhur itu pun tidak aman dan betah tinggal di Lamalewa karena kamatian terus mengahantui mereka, sehingga terpaksa mencari tempat tinggal yang baru. Dan terpaksa berpencar lagi mereka tinggal menurut marga atau suku masing-masing. Misalnya, suku Laga dan turunannya tinggal di Nuba Hikun, suku Dosi tinggal di Dua Siti, suku Arsoni tinggal berdampingan dengan Lewo One atau Lamalewa, yang mereka sebut terakhir Onge One.

Begitulah pengembaraan para leluhur untuk mencari tempat yang bebas dari segi kematian, hal ini dimaklumi sebab mereka masih percaya akan Amak Rera Wulan Tana Ekan, siapa yang melakukan suatu pekerjaan selalu diungkapkan dengan sebutan Kebesaran Yang Khalik ialah Amak Lera Wulan Inak Tana Ekan.

Adapun hampir benar pekerjaan para leluhur yaitu petani primituf, berburu binatang hutan seperti babi hutan, rusa, kera, babi landak dan lain lagi dan juga mereka ke pasar namanya pasar Wao Wutun di pantai ai Wao Wutun. Tentang nama pasar Wao Wutun, ada cerita dari orang Solor bahwa pernah nenek moyang mereka pergi ke Wao Wutun yang kemudian kita kenal adanya pasar Waiwadan sekarang.

Sebagaimana dalam mencari nafkah, mereka setiap atau selang beberapa hari harus pergi berburu, mencari umbi-umbi hutan sebagai makanan pokok, dan bekarang (meting) sebagai lauknya. Ini mendorong mereka untuk setiap dua minggu pergi ke laut pada pasang purnama waktu air surut dan pasang bulan sabit dengan menempuh jarak yang cukup jauh, apalagi pasar Wao Wutun yang mereka kunjungi setiap hari sabtu tiap minggu. Hal ini mendorong para leluhur untuk tinggal dekat dengan pasar, sehingga mereka turun ke pantai dan tinggal di sebuah di sebuah tempat yang mereka namakan Tobi Puken. Ada di antara mereka yang masih mendiami wilayah sekitar Lamalewa, untuk menjaga tuak, tanaman, dan hewan piaraan, dan menjaga Nuba Nara. Nuba Nara itu terdiri dari batu-batu kecil lambang dari setiap anak laki-laki yang mereka lahirkan.

Para leluhur yang tinggal di tobi puken tidak bertahan lama karena pada tahun 1918 ada wabah penyakit yang menyerang hampir seluruh penduduk di Adonara, Solor, Lembata, dan Flores, wabah itu cukup berbahaya sehingga dalam sehari hampir ada kematian untuk satu kampung, sehingga ada orang hampir-hampir tak dapat dikuburkan.

Kehidupan seperti ini menyebabkan mereka harus mengungsi lagi untuk mencari tempat tinggal yang baru. Mereka pun mulai berpencar. Menurut sukunya masing-masing mereka menghuni tempat yang baru. Ada yang datang tinggal di Wato Heran, ada yang tinggal di Laka, ada yang tinggal di Nuba Hikun, Onge Bele dan ada yang tinggal di Dua Siti. Sehingga muncullah kerajaan Majapahit yang datang menjajah Larantuka, maka di Larantuka dibentuk sebanyak empet belas Kakang. Di antara keempat belas Kakang itu adalah Kakang Horowura. Hamente Horowura dulu berada di Horowura namun setelah Kakang Libu meninggal dunia, ibukota hamente Horowura pindah ke Lamawolo. Kakang yang memerintah di Lamawolo pada waktu itu bernama Kakang Fransiskus Tatu Blanteran de Rosari yang berasal dari Larantuka dan menikah dengan Theresia Lolo orang Lewo Laga. Tempat dimana Kakang Horowura tinggal namanya Nubit One. Untuk menghimpun masyarakat yang berpencar, Kakang memerintahkan agar mereka berkumpul bersama lagi agar mudah dikoordinir. Adapun sebelum terjadi pemerintahan Kakang para leluhur itu pun diperintah oleh para penjajah Belanda, NICA, dan terakhir ialah penjajah Jepang yang mana menurut orang tua-tua desa kekejaman para penjajah Jepang lebih ketimbang dari orang Belanda.

Dalam pemerintahan kerajaan Belanda, penduduk yang dianggap sudah berusia tujuh belas tahun ke atas wajib hode surat pajak yang mereka sebut bea atau belasteng. Bea atau belasteng ini ditagih oleh kepala kampung tanpa buku penagihan, hanya diingat oleh kepala kampung dan dihitung genap. Jika ada ata ribu ratu yang tidak membayar pajak maka waktu kedatangan raja untuk menagih bea, mereka dibawa oelh raja ke Larantuka untuk dipekerjakan pada jalan umum atau kebun-kebun milik raja atau Kakang yang memerintah pada waktu itu.

Dalam pada itu juga ada ata ribu ratu yang karena tidak mau dibawa oleh raja karena bea tidak ada maka terpaksa jual nure atau newa-nya dengan harga murah kepada orang-orang dalam kampung hanya untuk melunasi pajaknya, sehingga mereka kehilangan tempat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sebagai petani.

Dalam pemerintahan Kakang Horowura ini, keempat suku dari Lamalewa dikumpulkan bersama dan tinggal dengan Bapa Kakang di Lamawolo. Pera leluhur ini tinggal di Lamalewa yang sekarang tinggallah orang-orang dari Lamawolo dan Halenawa dan suku Kemolen yang kini kita sebut Keroko Puken. Keroko Puken ini diberi nama karena dulu dekat dengan rumah Mateus Kai Peka di halaman depannya terdapat sebatang pohon besar yang namanya pohon kero sehingga penduduk yang menghuni sekitar pohon tersebut dinamakan orang Kero Puken. Padahal tempat dimana orang Kero Puken tinggal, tempat itulah merupakan tempat tinggal orang Lamalewa sebelum pindah ke Onge Bele pada tahun 1963.

Manurut legenda bahwa orang Lamalewa sebagai Ari Ana tidak boleh tinggal berdekatan Kebele RayaPati Ata Bele, maka pada tahun 1963 masyarakat Lamalewa yang tinggal berdampingan dengan masyarakat Lamawolo terpaksa hijrah ke Onge Bele. Di Onge Bele, begitu sebutannya, sudah beberapa keluarga yang mendiaminya, seperti keluarga Bernardus Kopong Lewa, Payong Geroda, dan Beda Goran serta Juang Soge. Kendatipun keluarga ini juga mempunyai rumah di Lamalewa yang lama.

Pada awal mendiami suatu tempat agar aman, bebas dari bahaya maka perlunya sebuah acara serimonial adat yang mereka namakan Perehe Lewo. Pada waktu itu, masih ada orang Lamalewa yang tinggal di Riang Pao (Riang Pao lama) seperti keluarga Sili Kia, Peka Kia, Gesi Ola, Gesi Lewo Bele, Sukur Sanga Gayak, Sanga Sira, serta Kopong Sabon. Pada saat upacara Perehe Lewo dan Belo Ewa mereka juga hadir di Lamalewa. Upacara Perehe Lewo ini disponsori oleh seorang tua adat bernama Silas Nama Igo, yang meninggal dunia pada tanggal 17 oktober 1987. Pada waktu Belo Ewa setiap suku mempersembahkan seekor hewan. Dan terjadi sesuatu yang cukup luar biasa bahwa pada saat seekor babi dipotong kepalanya dan kepalanya sudah terlepas dari badannya namun badannya bergerak lari dalam ela bele itu kurang lebih satu jam lamanya. Hal ini menyebabkan semua orang heran dan takjub akan peristiwa ini. Dan dari mulut mereka juga mengatakan bahwa Lewotana h ini akan menjadi taa dan kuat serta tahan lela dan ribu ratunya akan makin bertambah banyak di kemudian hari. Hewan yang telah dikorbankan ini setelah diambil gerara-nya untuk dibuat persembahan bagi para leluhur sisanya atau dagingnya dibagi kepada semua laki-laki baik yang sedang ada dalam kampung maupun diberikan juga kepada orang laki-laki berada di Tawau atau di perantauan pada waktu itu. Weka Lamak ini sebagai pertanda tanggungjawab anak-anak Nuba Nara kepada Lewotana di masa yang akan datang. Upacara Belo Ewa ini dirayakan sedemikian besar untuk beberapa hari, sehingga berdatanganlah orang-orang di sekitar tetangga untuk meriah-rayakan hari besar tersebut dengan mengadakan sole-oha, dolo, lia namang dan acara hedung yang di bawah pimpinan almahrum Donatus Doni Ola. Sebagai alat musiknya dipergunakan gong dan gendang. Sebagai bukti dari upacara Belo Ewa ini kini ata ribu kiwan bao makin tahun makin bertambah banyak dan rumah-rumah penduduknya juga bertambah banyak sebagaimana yang diramalkan oleh para tua-tua adat pada waktu itu, seperti bapak Kopong Lewa, Nama Igo, Suban Doni, Kopong Baho, Payong Juan, Payong Padak, dan lain-lain.

Dalam kurun waktu 37 tahun kampung Lamalewa mengalami tiga masa yakni masa Orde Lama dari tahun 1945 sampai tahun 1966 dan masa Orde Baru dari tahun 1966 sampai tahun 1998 serta masa Reformasi dari tahun 1998 sampai sekarang.

Pada awal pemerintahan Orde Baru tahun 1968 kampung Lamalewa digabungkan ke dalam sebuah desa yang namanya Desa Gaya Baru Baya. Dalam pemerintahan Desa Gaya Baru Baya meliputi tujuh kampung, termasuk di dalamnya kampung yang dinamakan Kela Lewo Pito. Yang termasuk dalam kampung Kela Lewo Pito itu adalah Lamawolo, Lamalewa, Waikela dan Waimatan.

Dan sebagai kepala Desa Gaya Baru Baya ialah putra dari bapak Kakang Horowura yaitu Petrus BL de Rosari dan menjadi pusat pemerintahan Desa Baya yakni Waibreno sedangkan kepala desanya berdomisili di kampung Lamawolo.

Dalam pemerintahan Desa Baya, kepala desa berhasil mendirikan sebuah sekolah partikulir untuk masyarakat Lamawolo dan Lamalewa pada tahun 1972 dengan guru POM (Persatuan Orang Tua Murid) adik kandungnya Petrus BL de Rosari, Ibu Ona BL de Rosari, yang kemudian diganti oleh Donatus Ola Doni tamatan SMP Pankrasio tahun 1971, dimana sekolah partikulir pada akhirnya dijadikan SDK Paralel Waibreno II yang dibangun di Lamalewa pada tahun 1976 dengan gedungnya semi permanen beratap rumput.
Comments
8 Comments

8 komentar:

Petronela Somi Kedan mengatakan...

heheh,,,kalo sejarah lamaleka atau witihama ada gak?

Idham mengatakan...

Terima kasih atas upayah Anda mempublikasikan lewotana, sebenarnya apa yang Saudara lakukan adalah sebuah upaya kreatif dalam menggali potensi budaya semoga apa yang telah Anda lakukan tidak menjadikan Anda puas lalu berhenti tetapi harapan saya semoga ama moe lebih intens lagi dalam menggali potensi lewotana Anda dan Adoaran pada umumnya agar kita semua lebih mengenal lewotana tite lebih baik lagi....

oladonatus mengatakan...

salut....
tradisi menulis catatan sejarah orang adonara memang lemah...
tapi ama moe sudah memulai suatu langkah yang baik buat generasi mendatang...

Simpet Soge mengatakan...

Terima kasih atas postingan komentarnya.
Tulisan di atas sebenarnya dibuat oleh seorang tokoh di desa seperti yang ada pada kata pengantarnya. Saya sendiri hanya memuatnya di sini supaya bisa di baca di manapun. Sedangkan wujud asli cerita ini adalah dalam bentuk lima rangkap stensilan, yang salah satunya atas kepemilikan saya.

Simpet Soge mengatakan...

Buat Nela Wuran, sukses terus untuk menulis, sebab kitalah yang bisa saling membagi informasi tentang apa yang kita tahu, terutama tentang Lewotanah dalam arti luas..... bukan saja Lewotana Adonara.

Unknown mengatakan...

Makaci atas ceritra asa usul kami.

Unknown mengatakan...

Sejarah suku Lamalewa ada ko

Anonim mengatakan...

Luarbiasa