Rabu, 05 November 2008

Mi'ine, Pantangan di Adonara

Meski tidak menjadi makanan favorit, anda pasti suka jagung muda, apalagi yang dibakar. Tapi gadis-gadis di kampung saya tidak seberuntung anda maupun saya. Mereka dilarang memakan jagung muda (wata mar’ang) sejak awal musim tanam (permulaan musim hujan) sampai suatu upacara adat ‘makan jagung’ diadakan.
Larangan ini disebut mi’ine. Selain jagung muda, mereka juga dilarang makan tebu, salah satu jenis ikan, mentimun, dan juga dilarang mencukur rambut. Dipercayai bahwa mencukur rambut pada masa itu akan menyebabkan ketidakwarasan bagi pelanggarnya. Larangan ini ditaati dengan sangat ketat di kampung.
Larangan yang sama tidak berlaku bagi kaum laki-laki. Tetapi berlaku pula bagi wanita dari kampung yang menikah di tempat lain (mengikuti suami).
Dari yang saya lihat di kebun keluarga saya, ibu punya dua jenis jagung untuk ditanam. Ada ‘wata’ mar’ang’ (harafiah berarti jagung kering) dan ‘wata’ wa’ine’ (harafiah berarti jagung basah). Wata wa’ine adalah jagung dari bibit yang sebelum ditanam telah didahului oleh suatu ritus sehingga saudara perempuan saya boleh memakannya. Jadi, larangan ini tidak berlaku untuk wata’ waine, tetapi saudara perempuan saya tetap tidak boleh memakan kebanyakan hasil kebun dari keluarga lain yang aberupa wata’ mar’ang.
Upacara adat ‘makan jagung’ (rekang wata’/tuno wata’) dalam keluarga kami dilakukan di rumah nenek dari pihak ibu. Yang hadir saat itu adalah semua anak perempuan dari nenek, termasuk ibu saya, dan juga anak-anak perempuan mereka. Termasuk di sini saudara perempuan saya. Saya diajak pula ikut ke sana. Anak perempuan serta cucu perempuan nenek di desa yang berjauhan pun mesti datang.
Saya tidak terlalu tahu pasti (soalnya, saya hanya menceritakan, bukan meneliti) tentang urutan-urutan dan waktu dilaksanakannya upacara adat tersebut, tetapi yang pasti, kami sebagai laki-laki diberi pula hidangan pada acara tersebut dalam acara makan bersama dengan keluarga-keluarga dari tempat lain. Bagi wanita atau gadis yang tinggal di tempat yang jauh (mahasiswa, pelajar, atau perantau di Malaysia), jatah mereka pun disiapkan, tetapi diberikan kepada saudara laki-laki sebagai pengganti.
Yang tidak terbiasa dengan kebiasaan kami mungkin memandang ini sebagai pengekangan kebebasan bagi para perempuan Adonara. Tapi, kami di pihak laki-laki juga punya pantangan lain (tak ada hubungannya dengan upacara ini). Kami dilarang memegang dan memakan semua jenis daging burung liar (tidak termasuk ayam hutan). Padahal tradisi berburu masih ada karena letak desa kami ada di daerah perbukitan subur dan kehidupan subsisten yang bergantung pada alam masih tetap bertahan.
Mengikuti pantangan ini, saya sampai kini belum pernah mencicipi daging burung, termasuk burung merpati meski sering ditawari. Kalau jerat atau ketapel kami (kenangan saat kecil) mengenai seekor burung, itu akan menjadi haknya saudara perempuan atau gadis-gadis lain karena hanya merekalah yang boleh memakannya.
Pernah sekali, ketika kami harus live in dalam satu keluarga pada satu kegiatan di pulau Rote, kami disuguhkan hidangan daging burung. Pa’ Gustaf Folla, kepala keluarga ini, sering berburu pada sore hari dan pulang dengan sejumlah jenis burung. Dengan halus, saya tolak hidangan itu menggunakan alasan di atas. Saya duga, mereka mungkin menggerutu “Wah! Tradisi di Adonara pun mesti berlaku di sini!”
Tapi sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dengan tradisi ini, saya memilih tetap taat karena ini sudah dibiasakan sejak kecil.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: