Gambar: mandalaygazette.com |
Litbang
Kompas pernah mencatat bahwa harga komoditas seperti jambu mete di tangan
petani di Flotim harganya kurang dari setengah harga Surabaya. Tanpa pikir
panjang, hal ini bisa bikin kuping panas. Tapi,-barangkali-perbedaan harga ini
sering terjadi karena perbedaan kualitas, misalnya kadar air.
Di
kampung-kampung seperti kampung saya di Adonara, petani dengan sengaja sering
membuat kualitas komoditasnya menjadi menurun. Demi mengejar ‘untung’, mereka
menaikkan kadar air komoditas itu. Kemiri, misalnya, diperciki air semalam
sebelum dijual supaya bertambah beratnya. Hal yang sama dikerjakan pada kopra.
Dengan
menambahkan air dan garam secukupnya, kabarnya berat kopra menjadi bertambah.
Atau cara lainnya, membuat ciri visual kopra terkesan sudah dijemur, padahal
bagian dalamnya belum kering. Kopra layak jual adalah kopra yang sudah kurang
kadar airnya dengan ciri berwarna kekuning-kuningan. Ciri ini ternyata tidak
jauh beda dengan kopra yang diasapi tetapi masih tinggi kadar airnya. Dengan
cara itu, berat kopra jadi lebih tinggi.
Menghalalkan
cara seperti itu ternyata bisa membuat harga kopra menjadi menurun karena kualitasnya
yang buruk. Alhasil, demi mengejar ‘untung’ yang didapat malah ‘buntung’. Nah
mio. Butuh usaha dan tenaga besar untuk membelokkan ‘tradisi’ besar ini. Atau,
apakah ada jalur yang efektif untuk menyampaikan pesan ini dan menjamin
pelaksanaannya?