Rabu, 08 Oktober 2008

Substitusi Beras ke Jagung, Siapa Takut?

Gambar: zonaliper

Dulu sewaktu masih tinggal di pondokan yang dikelola sekolah, saya punya sebekan kertas dari buku biologi SMA bertuliskan tabel kandungan gizi dari berbagai jenis makanan. Sobekan kertas itu saya tempelkan di meja dapur. Ia menjadi pengingat bahwa beras bukan satu-satunya pemasok karbohidrat bagi tubuh. Sobekan kertas itu pun jadi alasan kuat bagi saya untuk bisa bertahan hidup meski tanpa sekilo beras pun dalam sebulan karena saya substitusi ke jagung.
Ini kejadian nyata. Memang, selama ini, sebagian besar dari kita masih memandang beras sebagai satu-satunya makanan pokok, padahal jenis makanan yang lain pun mengandung karbohidrat yang hampir manyamai.
Tulisan ini bukan saya maksudkan sebagai kenangan romantis tentang ‘susah’-nya hidup di Kupang, tetapi sebagai fakta bahwa manusia bisa hidup sabagaimana biasanya tanpa beras. Saya waktu itu masih bisa hadir di ruang kuliah, jogging pagi-pagi, juga bisa selesaikan tugas-tugas persis seperti biasanya. Padahal, jika anda masuk ke kamar saya, kotak beras saya sudah kosong melompong diganti jagung selama sebulan penuh itu. Hitungan saya waktu itu, dalam sebulan saya habisakan seratus tongkol jagung.
Bukan hanya jagung. Saya juga pernah substitusi ke ubi kering. Liburan tahun sebelumnya, saya kumpulkan ubi kering dalam satu kardus besar. Maksud saya waktu itu, ubi yang terkumpul hanya akan menjadi makanan ringan. Kalau ada tamu atau teman-teman dari kampung, kami dapat berbagi kenangan tentang kehidupan petani desa. Atau kalau ada teman-teman sekelas yang singgah, saya bisa perkenalkan makanan ala tuan rumah yang datang dari desa ini. Bukannya sok eksotislah yaw,  itulah ciri khas masing-masing orang. Saya memang putra petani desa, yang kebetulan saja hidup di antara teman-teman yang mungkin sedikit beda lifestylenya.
Kejadiannya ternyata jauh berbeda dari maksud semula. Seingat saya, hanya sekali saya menyajikan ubi itu untuk makan beramai-ramai dengan teman-teman dari sisi lain Flores. Selebihnya, ubi ini malah manjadi makanan substitusi beras. Dengan mengkonsumsinya dalam jumlah yang cukup (sesuai kebutuhan tubuh, bukan sesuai selera!), tenaga yang dihasilkan dari sumber karbohidrat yang ini tak jauh berbeda dengan ketika anda mengkonsumsi nasi beras. Mungkin sebagian orang merasa bahwa makan ubi hanya memasok sedikit kalori jadi hanya menjadi makanan ringan saja, bukan menjadi makanan pokok. Ubi-ubian ini nyatanya dapat menjadi makanan pokok kalau dikonsumsi dalam jumlah yang cukup.
Mengkonsumsi pangan lokal untuk kebutuhan karbohidrat sehari-hari tidak perlu jadi alasan anda untuk merasa malu atau rendah diri. Tampang, postur tubuh, fisik dan sikap anda tidak berubah sedikitpun akibat perubahan pola konsumsi tersebut. Tak ada apapun pada diri anda yang berkurang. Kemampuan otak anda masih tetap sama. Kawan-kawan anda tidak akan minggat. Masih tetap ada gadis-gadis yang terpesona dengan anda selama ia tidak tahu kalau anda “ubivora-pemakan ubi” sementara   ia “nasivora-pemakan nasi”. Soalnya, tidak ada tempat apel di kota Kupang yang menyajikan menu ubi. Ini dapat mengganggu acara ngemil bareng hahaha.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: