Minggu, 09 November 2008

Percakapan Dua Mantan Perantau

Sebelum ibadat hari Minggu di emperan gereja di kampung, saya memilih duduk di samping dua kakek tua dan menguping pembicaraan mereka. Seperti biasanya, mereka tidak keberatan karena sering banyak nasihat yang mereka tuturkan, termasuk buat saya.
Kedua kakek itu sama-sama mantan warga Keke (sebutan di kampung untuk kota KK alias Kota Kinabalu). Bedanya, yang satu sudah puluhan tahun sedang yang satunya baru tiba. Detail tempat di sana mereka ceritakan dan sepakat dengan tepat, sehingga saya pastikan bahwa mereka pergi ke tempat perantauan yang sama.
Hampir pasti, keduanya buta huruf (kecuali bisa membaca angka pada kartu remi, karena itu salah satu permainan di manapun) tapi mengikuti arus perantauan besar-besaran sekitar tahun 60-an.
Salah satu kakek bercerita tentang tempat kerjanya yang berupa lahan seluas pulau Adonara. Tugasnya adalah menanam anakan sawit pada lubang-lubang yang ia gali sendiri. Bibit sudah disiapkan. Upahnya, yang tentu saja rendah, dihitung berdasarkan jumlah anakan yang ia tanam. Mereka tinggal di kem (sebutan mereka untuk tempat tinggal sementara sejenis bivak).
”Kenapa kamu cepat-cepat pulang?” bertanya yang satunya.
”Karena saya tidak bekerja untuk diriku sendiri,” ia lalu bercerita tentang perkebunan besar yang mereka kerjakan untuk majikan. Pohon sawit yang mereka tanami, katanya, akan menjadi milik majikan mereka.
”Saya teringat pada lahan saya yang kosong di kampung. Kalau saja saya pulang, akan saya tanami kelapa untuk saya dan dua anak saya.”
Diceritakannya pula tentang kecelakaan kerja yang menimpa pekerja penebang pohon di hutan. Para pekerja itu, katanya, bekerja mati-matian di negeri orang, sampai ada yang menemui maut karena tidak diterapkannya standar keselamatan kerja.
”Kami boleh berkeringat dan mati-matian untuk sesuatu yang akan menjadi milik majikan. Hal inilah yang membuat saya hendak cepat-cepat pulang kampung,” katanya bersemangat.
Dengan perbekalan dan ’tambang’ seadanya, ia dan seorang rekan lainnya sepakat pulang pada jadwal kapal berikutnya.
Memang, ke Keke tidak selalu menjadi pilihan yang salah. Tapi pergi ke sana dengan ketrampilan minim bisa jadi persoalan bagi beberapa orang.
”Tiba di dermaga Waiwadan, saya hanya punya selembar recehan di saku dan sebuah oleh-oleh kecil berupa tape recorder,” katanya merendah. Tapi kesimpulan saya, bukan Cuma itu yang ia bawa. Ia telah membawa pula motivasi untuk membuat kebun kelapa kecil-kecilan di kampungnya.
Comments
1 Comments

1 komentar:

Petronela Somi Kedan mengatakan...

kurang tahu,,,saya minta dari koleksi adik sepupu saya,,,nanti saya konfirm ke dia yah