Sebelum ibadat hari Minggu
di emperan gereja di kampung, saya memilih duduk di samping dua kakek tua dan
menguping pembicaraan mereka. Seperti biasanya, mereka tidak keberatan karena
sering banyak nasihat yang mereka tuturkan, termasuk buat saya.
Kedua kakek itu
sama-sama mantan warga Keke (sebutan di kampung untuk kota KK alias Kota
Kinabalu). Bedanya, yang satu sudah puluhan tahun sedang yang satunya baru
tiba. Detail tempat di sana mereka ceritakan dan sepakat dengan tepat, sehingga
saya pastikan bahwa mereka pergi ke tempat perantauan yang sama.
Hampir pasti,
keduanya buta huruf (kecuali bisa membaca angka pada kartu remi, karena itu
salah satu permainan di manapun) tapi mengikuti arus perantauan besar-besaran
sekitar tahun 60-an.
Salah satu kakek bercerita
tentang tempat kerjanya yang berupa lahan seluas pulau Adonara. Tugasnya adalah
menanam anakan sawit pada lubang-lubang yang ia gali sendiri. Bibit sudah
disiapkan. Upahnya, yang tentu saja rendah, dihitung berdasarkan jumlah anakan
yang ia tanam. Mereka tinggal di kem (sebutan mereka untuk tempat tinggal
sementara sejenis bivak).
”Kenapa kamu
cepat-cepat pulang?” bertanya yang satunya.
”Karena saya tidak
bekerja untuk diriku sendiri,” ia lalu bercerita tentang perkebunan besar yang
mereka kerjakan untuk majikan. Pohon sawit yang mereka tanami, katanya, akan
menjadi milik majikan mereka.
”Saya teringat pada
lahan saya yang kosong di kampung. Kalau saja saya pulang, akan saya tanami
kelapa untuk saya dan dua anak saya.”
Diceritakannya pula
tentang kecelakaan kerja yang menimpa pekerja penebang pohon di hutan. Para
pekerja itu, katanya, bekerja mati-matian di negeri orang, sampai ada yang
menemui maut karena tidak diterapkannya standar keselamatan kerja.
”Kami boleh
berkeringat dan mati-matian untuk sesuatu yang akan menjadi milik majikan. Hal
inilah yang membuat saya hendak cepat-cepat pulang kampung,” katanya
bersemangat.
Dengan perbekalan dan
’tambang’ seadanya, ia dan seorang rekan lainnya sepakat pulang pada jadwal
kapal berikutnya.
Memang, ke Keke tidak
selalu menjadi pilihan yang salah. Tapi pergi ke sana dengan ketrampilan minim
bisa jadi persoalan bagi beberapa orang.
”Tiba di dermaga
Waiwadan, saya hanya punya selembar recehan di saku dan sebuah oleh-oleh kecil
berupa tape recorder,” katanya merendah. Tapi kesimpulan saya, bukan Cuma itu
yang ia bawa. Ia telah membawa pula motivasi untuk membuat kebun kelapa
kecil-kecilan di kampungnya.