Kamis, 28 Mei 2009

Pening, Medali Pelanggaran di Sekolah

Entah darimana istilah ini berasal, yang jelas ini adalah sesuatu yang paling manakutkan semasa SD. Ini adalah benda semacam medali dari lingkaran kertas kecil sebesar medali emas dengan gantungan dari tali rafia. Benda yang oleh kepala sekolah dinamakan ‘péning’ ini adalah hasil karya guru penegak disiplin di sekolah. Aturan telah ditambahkan sebelum benda ini kami lihat: setiap kali mengenakan benda itu, seorang siswa diberi denda lima buah batu sebesar kepala masing-masing. Pelangaggaran yang pelakunya dekenakan péning adalah semua siswa yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) di dalam lingkungan dan pada jam sekolah.
Artinya, kami dilarang mengucapkan sesuatu pun dalam bahasa ibu tanpa didahului kalimat “bahasa daerah bilang............”. tidak lama berselang, kami ragu juga apa kalimat itu masih merupakan bahasa Indonesia baku. Jadi, setelah lewat gerbang depan, mulut harus ditutup kalau tak bisa dijaga. Soalnya, sebelum gerbang keramat itu kami hanya berbicara dengan bahasa ibu dan tetap terbiasa dengan bahasa itu dalam percakapan antarteman dan dengan semua orang di luar pagar sekolah.
Tak jarang, frekwensi ngobrol mesti kami kurangi supaya jangan kepleset mengucapkan satu atau dua kata-kata dalam bahasa ibu. Nasihat dan aturan dikatakan guru penegak disiplin dengan berwibawa, dan kata-katanya benar-benar terlaksana. Setiap kali satu kata dalam behasa ibu dikeluarkan, pendengar terdekat langsung memberitahu pada petugas, dan péning langsung dikenakan pada siswa yang sial itu disaksikan siswa-siswi lainnya. Sore harinya, ia mesti bolak-balik ke sebelah utara gedung sekolah untuk memungut batu kali sebagai dendanya.
Saya sendiri pun tidak lolos dari sanksi itu. Jika pagi hari ‘terkena péning’, maka soer harinya saya harus langsung menuju tempat batu-batu kali berada, mengangkatnya sebanyak lima auat sepuluh buah tergantung banyaknya kelalaian yang saya lakukan dan meletakannya dihalaman sekolah untuk diperiksa setelah apel pagi keesokan harinya. Itu adalah pekerjaan berat mengingat saya waktu itu masih bertubuh kecil. Untunglah, kepala saya juga berukuran kecil sehingga batu yang sebesar kepala masing-masing itu ukurannya kecil saja.
Mengangkut benda padat itu ke halaman sekolah memang cukup jauh dibandingkan ukuran tubuh saya waktu itu. Melangkah menanjak di tepi hutan menusuri kali kecil, tanpa jalan setapak. Kaki mesti hati-hati melangkah dengan beban di bahu, agar batu di pikulan itu jangan jatuh. Ingat cerpen “Senyum Karyamin” di buku SMP?. Seperti itulah.
Sepuluh batu seukuran itu pun sudah cukup membuat saya dan teman-teman tobat dan lebih hati-hati dan selalu berbicara bahasa Indonesia baku. Hasilnya, tidak pernah anda dengar seorang berkata-kata sesukanya dalam lingkungan sekolah dasar dengan bahasa ibu. Semua orang taat aturan, takut bekerja paksa sebagai sanksi pelanggaran di sore hari.
Hukuman dan aturan besi seperti itu ternyata bisa berguna untuk membiasakan berbahasa ‘asing’. Bayangkan saja, bahasa Indonesia adalah bahasa asing bagi seorang anak yang baru masuk SD. Setiap harinya, ia berbicara bahasa ibu yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Enam tahun berada di situ, seseorang pun bisa diharapkan bisa berbahasa Indonesia dengan cukup mahir. Saya hanya membayangkan, seandainya dibiasakan, kita juga bisa menerapkan suatu ketetapan yang cukup mengikat untuk bisa berlatih berbahasa inggris, di rumah atau pada satu hari di sekolah misalnya. Dengan membiasakan pemakaian bahasa asing seperti itu secara terus-menerus, seseorang bisa menggunakan bahasa itu dan bisa menambah kosakata ataupun tatabahasa sederhana dalam bahasa tersebut. Seorang kawan saya dari pernah bercerita, di panti asuhan Muslim di kota Kupang yang pernah ia kunjungi, semua orang berbahasa arab. Mingkin bisa ditiru, toh tidak berpengaruh dengan pergaulan mereka diluar misalnya.
Comments
3 Comments

3 komentar:

Bang Ancis mengatakan...

Salam Jumpa Opu, go buka blog moen pi karna moe molo kunjungi blog goen. terima kasih e ama.... moe Adonara barat tega? kalo goe Adonara Barat Desa Bugaliman sebelahnya Desa Wureh. moe nepa tega ama, rae lewo tana ato pia tana jawa? kalo goe meranto pia Surabaya...... goe jadi miak soalnya blog goen biasa2 maklum masi baru .....

Simpet Soge mengatakan...

Goe juga lagi di warnet di kupang ni. ada kasi masuk ketikan kelompok muda adonara di Kupang punya. go pake fasilitas raene karna ra pake tenaga goene. hahaha.... ne go ada perbaharui profil goene. mo refresh atau buka ulang. goe lamawolo desa watobaya.Go ada lihat komentar mo'ene di blognya Abang Lamber Hurek makanya go klik te blog mo'ene.Thanx e ama.

Anonim mengatakan...

He he, kalau tidak seperti ini belajar Bahasa Indonesianya seret :)