Gambar: konsepprewedding.blogspot.com |
Bentuk
kerjasama tradisional yang paling dikenal di kampung adalah gemohing. Istilah
lainnya adalah mal'ong atau kenol'eng. Gemohing adalah suatu organisasi
berorientasi pekerjaan pertanian atau pembangunan. Contohnya membersihkan
ladang atau kebun, menanam, memanen, mengumpulkan bahan bangunan dari alam,
membangun rumah, juga sekian banyak pekerjaan lainnya.
Keanggotaan
gemohing sangat mengikat menyangkut kewajiban-kewajibannya karena terkait
langsung bagi kepentingan anggota-anggotanya. Peraturannya pun kadang-kadang
sangat berwibawa sehingga sangat ditaati.
Saya
sendiri telah ikut kelompok kerjasama ini sejak masih belajar di SD, saat masih
muda. Karena itu kelompok saya dinamakan mal'ong, dengan anggota lima orang.
Pekerjaan kami sederhana, memenuhi permintaan tenaga kerja untuk kegiatan
pembersihan ladang kami masing-masing anggota, atau menjual tenaga kami untuk
membersihkan kebun orang atau keluarga di luar keanggotaan kami. Karena itu,
kami punya kas kelompok yang sayangnya peruntukannya untuk kepentingan
konsumtif semata.
Kelompok
gemohing orang dewasa paling besar yang pernah dikenal di kampung kami sebut gemohing
umat. Struktur kepemimpinannya terkait langsung dengan Dewan Pastoral Stasi
(struktur gereja Katolik tingkat kampung) yang langsung di bawah Paroki.
Kelompok lainnya adalah Gemohing Mudika (muda mudi Katolik).
Sebelum
kemajuan menjadikan pembersihan rumput dipermudah dengan herbisida, kelompok
gemohing sangat berperan dalam kegiatan pembersihan ladang. Ladang paling besar
(dalam ukuran kami) sekalipun mereka bersihkan dalam sehari.
Dalam
mal'ong, biasanya makanan disiapkan oleh tuan kebun karena jumlah anggotanya
sedikit, tetapi dalam gemohing umat, makanan dibawa masing-masing. Mal'ong
biasanya punya jadwal sekali seminggu dan hanya pada suatu tempat dalam sehari,
sedangkan dalam gemohing umat, sehari bisa diselesaikan dua atau tiga pekerjaan
pembersihan ladang atau kebun sekaligus di tempat yang berbeda.
Kegiatan
pembersihan kebun dilakukan bersemangat dan diselingi sorakan-sorakan 'snorak'.
Seorang peserta gemohing memimpin sorakan-sorakan ini. Sorakan biasanya
berirama sesuai gerakan menebas atau mencabuti rumput. Pemimpin gemohing
berteriak 'mie' disambung cepat 'ho' oleh semua orang lainnya, kemudian 'neke' 'ho'
'wana' 'ho' terus menerus. Di beberapa tempat ditambahkan musik pukul iringan
untuk menambah semangat.
Pembersihan
dimulai di kaki kebun, di mana semua orang berbaris dengan alat masing-masing.
Untuk menebas rumput tinggi, tiap-tiap tiga-empat orang, seorang bertindak
sebagai 'muake' yang membuka jalan masuk ke rumput tinggi.
Setiap
orang, kalau hanya bergantung dari hasil kebun, bisa saja mengikatkan diri
dalam beberapa kelompok sekaligus, dengan jadwal yang tidak serentak dan dapat
diatur waktunya.
Pembagian
giliran pembersihan kebun diatur oleh ketua lewat musyawarah.
Tiap
pelanggaran diberi denda atau sanksi untuk meminimalisir pelanggaran. Contoh kecil,
saya pernah ikut dengan kelompok mal'ong satu kali di kebun. Saat musyawarah 'elo’'
belum ditutup oleh ketua, salah seorang dari anggota mal'ong buru-buru pamit
pergi karena ada urusan. Ia didenda berat, satu kali giliran pembersihan
kebunnya hangus.
Sebagai
kesepakatan bersama, aturan itu tidak bisa ditawar. Begitu pula aturan denda
lainnya, misalnya larangan pengadaan miras 'moke' saat pekerjaan itu dilakukan.
Jika ketahuan membawa miras saat gemohing, pasti si tuan kebun akan diberi
denda.
Menurut
saya, suatu hal yang baik adalah bahwa setiap orang bisa berlatih untuk
berdisiplin karena telah sadar mengikatkan diri dengan kepentingan orang lain.
Demikian pula, pekerjaan diselesaikan beramai-ramai dengan gembira.
Kelemahannya, ini tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan dengan spesifikasi
ketrampilan yang tinggi.
Model
kerjasama ini lalu banyak diterapkan dalam pekerjaan lain, misalnya pembuatan
jalan dan bangunan. Contohnya, warga bergotong-royong membangun gereja.
Bangunan
besar itu di kampung kami mencapai tahap penyelesaiannya tanpa ada satu
kendaraan truk pun yang masuk. Batu, pasir, seng, kuda-kuda besi sampai pipa
air semuanya didatangkan dengan tenaga manusia dari kampung tetangga terdekat
yang masih bisa dilalui kendaraan truk.
Seingat
saya, truk pengangkut sebagai satu-satunya armada transport di kampung masuk
saat saya kelas lima SD, di mana bangunan gereja sudah rampung. Saya kagum pada
kerja orang-orang dulu. Kalau kini warga berkumpul kalau dibagikan sesuatu
seperti raskin atau uang macam-macam itu, maka dulu warga berkumpul saat
diminta kewajibannya mengerjakan sesuatu hal. Tidak heran kalau pekerjaan yang
seharusnya dengan alat berat diselesaikan oleh warga yang biasanya tidak banyak
bekerja di luar musim menanam atau berkebun.