Selasa, 08 September 2009

Gemohing, Bentuk Kerjasama di Lamaholot




Gambar: konsepprewedding.blogspot.com
Bentuk kerjasama tradisional yang paling dikenal di kampung adalah gemohing. Istilah lainnya adalah mal'ong atau kenol'eng. Gemohing adalah suatu organisasi berorientasi pekerjaan pertanian atau pembangunan. Contohnya membersihkan ladang atau kebun, menanam, memanen, mengumpulkan bahan bangunan dari alam, membangun rumah, juga sekian banyak pekerjaan lainnya.
Keanggotaan gemohing sangat mengikat menyangkut kewajiban-kewajibannya karena terkait langsung bagi kepentingan anggota-anggotanya. Peraturannya pun kadang-kadang sangat berwibawa sehingga sangat ditaati.
Saya sendiri telah ikut kelompok kerjasama ini sejak masih belajar di SD, saat masih muda. Karena itu kelompok saya dinamakan mal'ong, dengan anggota lima orang. Pekerjaan kami sederhana, memenuhi permintaan tenaga kerja untuk kegiatan pembersihan ladang kami masing-masing anggota, atau menjual tenaga kami untuk membersihkan kebun orang atau keluarga di luar keanggotaan kami. Karena itu, kami punya kas kelompok yang sayangnya peruntukannya untuk kepentingan konsumtif semata.
Kelompok gemohing orang dewasa paling besar yang pernah dikenal di kampung kami sebut gemohing umat. Struktur kepemimpinannya terkait langsung dengan Dewan Pastoral Stasi (struktur gereja Katolik tingkat kampung) yang langsung di bawah Paroki. Kelompok lainnya adalah Gemohing Mudika (muda mudi Katolik).
Sebelum kemajuan menjadikan pembersihan rumput dipermudah dengan herbisida, kelompok gemohing sangat berperan dalam kegiatan pembersihan ladang. Ladang paling besar (dalam ukuran kami) sekalipun mereka bersihkan dalam sehari.
Dalam mal'ong, biasanya makanan disiapkan oleh tuan kebun karena jumlah anggotanya sedikit, tetapi dalam gemohing umat, makanan dibawa masing-masing. Mal'ong biasanya punya jadwal sekali seminggu dan hanya pada suatu tempat dalam sehari, sedangkan dalam gemohing umat, sehari bisa diselesaikan dua atau tiga pekerjaan pembersihan ladang atau kebun sekaligus di tempat yang berbeda.
Kegiatan pembersihan kebun dilakukan bersemangat dan diselingi sorakan-sorakan 'snorak'. Seorang peserta gemohing memimpin sorakan-sorakan ini. Sorakan biasanya berirama sesuai gerakan menebas atau mencabuti rumput. Pemimpin gemohing berteriak 'mie' disambung cepat 'ho' oleh semua orang lainnya, kemudian 'neke' 'ho' 'wana' 'ho' terus menerus. Di beberapa tempat ditambahkan musik pukul iringan untuk menambah semangat.
Pembersihan dimulai di kaki kebun, di mana semua orang berbaris dengan alat masing-masing. Untuk menebas rumput tinggi, tiap-tiap tiga-empat orang, seorang bertindak sebagai 'muake' yang membuka jalan masuk ke rumput tinggi.
Setiap orang, kalau hanya bergantung dari hasil kebun, bisa saja mengikatkan diri dalam beberapa kelompok sekaligus, dengan jadwal yang tidak serentak dan dapat diatur waktunya.
Pembagian giliran pembersihan kebun diatur oleh ketua lewat musyawarah.
Tiap pelanggaran diberi denda atau sanksi untuk meminimalisir pelanggaran. Contoh kecil, saya pernah ikut dengan kelompok mal'ong satu kali di kebun. Saat musyawarah 'elo’' belum ditutup oleh ketua, salah seorang dari anggota mal'ong buru-buru pamit pergi karena ada urusan. Ia didenda berat, satu kali giliran pembersihan kebunnya hangus.
Sebagai kesepakatan bersama, aturan itu tidak bisa ditawar. Begitu pula aturan denda lainnya, misalnya larangan pengadaan miras 'moke' saat pekerjaan itu dilakukan. Jika ketahuan membawa miras saat gemohing, pasti si tuan kebun akan diberi denda.
Menurut saya, suatu hal yang baik adalah bahwa setiap orang bisa berlatih untuk berdisiplin karena telah sadar mengikatkan diri dengan kepentingan orang lain. Demikian pula, pekerjaan diselesaikan beramai-ramai dengan gembira. Kelemahannya, ini tidak dapat diterapkan untuk pekerjaan dengan spesifikasi ketrampilan yang tinggi.
Model kerjasama ini lalu banyak diterapkan dalam pekerjaan lain, misalnya pembuatan jalan dan bangunan. Contohnya, warga bergotong-royong membangun gereja.
Bangunan besar itu di kampung kami mencapai tahap penyelesaiannya tanpa ada satu kendaraan truk pun yang masuk. Batu, pasir, seng, kuda-kuda besi sampai pipa air semuanya didatangkan dengan tenaga manusia dari kampung tetangga terdekat yang masih bisa dilalui kendaraan truk.
Seingat saya, truk pengangkut sebagai satu-satunya armada transport di kampung masuk saat saya kelas lima SD, di mana bangunan gereja sudah rampung. Saya kagum pada kerja orang-orang dulu. Kalau kini warga berkumpul kalau dibagikan sesuatu seperti raskin atau uang macam-macam itu, maka dulu warga berkumpul saat diminta kewajibannya mengerjakan sesuatu hal. Tidak heran kalau pekerjaan yang seharusnya dengan alat berat diselesaikan oleh warga yang biasanya tidak banyak bekerja di luar musim menanam atau berkebun.
Comments
2 Comments

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Tksh Opu bine. Artikel ni sangat membantu goe. Salam gemohing.

Simpet Soge mengatakan...

Makasih sudah mampir ke blog kecil ini.... salam gemohing