Jumat, 21 Mei 2010

Etiket Kutip Mengutip

Alkisah, cerita ini berlangsung di Lewo. Seorang anak disuruh ibunya “maring Laga pe hau ki”. Anak ini pun bangkit berdiri. Ia menuju tanah lapang dan berkata “Ema maring mo mai lali ki”
Ia cerdas tentu. Ia membuat pernyataan dengan menyebut sumber pernyataan itu. Etiket kutip mengutip ada dalam kata-katanya. Ia tidak hanya mengatakan “mo mai lali ki” tetapi menambahkan pula frase “ema maring”. Lengkaplah sudah kalimat “ema maring mo mai lali ki”. Proses lalu berjalan. Mengikuti pernyataan itu, Laga pun beranjak menuju rumah.
Seandainya anak yang disuruh memanggil tadi tidak memasukkan frase “Ema maring”, proses kemungkinan tidak berjalan. Si Laga mungkin tidak menurut karena permainan di tanah lapang sungguh mengasyikkan baginya. Dalam ranah tutur, etiket kutip mengutip sering berlangsung. Begitu pula dalam dunia tulis. Pernah menjadi redaktur mading, etiket pertama yang saya perjuangkan untuk diterapkan adalah etiket ini: kepada staf redaksi maupun kontributor diperingatkan supaya tidak boleh mengutip tanpa menyebutkan sumbernya.

Memang, kutip mengutip tanpa etiket paling parah terjadi di jaman elektronik kini. Seringkali dari layar maya, artikel meloncat ke papan mading tanpa menyebut dari mana asalnya. Pembaca lalu mengira artikel tersebut ditulis oleh para redaktur mading. Celaka!
‘Kopi-tempel’ alias ‘copy-paste’ itu kini luas merasuk. Terjangkit dari kutip mengutip pendapat orang tanpa etiket sampai kutip artikel oleh para Doktor yang sempat santer beberapa waktu lalu di perguruan tinggi swasta ternama di Indonesia kita.
Kutip mengutip pun berlangsung di dekat kita, bahkan pada diri kita. Kutip tugas PR teman, kutip SMS ucapan, kutip anggaran dasar sampai data organisasi sering kita lakukan. Di kalangan eksekutif pun pernah kita dengar bagaimana peraturan tertentu dikutip saja dari daerah lain.
Celakanya, hal tersebut terjadi tanpa kesadaran akan bahayanya. Ilustrasi di depan tadi menyatakan bahwa bahaya terjadi ketika proses yang dinyatakan dalam kutipan tak akan berlangsung. Proses “mo mai lali” dalam cerita tadi mungkin tak bisa berjalan.
Mengutip tanpa etiket atau penjiplakan sedikitpun mengandung bahaya ini. Penjiplakan adalah kegiatan di mana proses kreasi diingkari. Di belakang sebuah pernyataan, baik ucapan lisan maupun tertulis, terdapat sejumlah proses, sejumlah latar, sejumlah kewenangan dan kewibawaan serta sejumlah ide.
Sebuah tulisan misalnya, lahir dari proses berpikir dan menggambarkan jalannya kegiatan berpikir. Begitu pula, sebuah teks bisa menggambarkan proses berlangsungnya kegiatan dan bisa pula menunjukkan bagaimana berjalannya sistem.
Untuk mengadopsi sebuah sistem dengan baik, proses penyerapan normal mesti berjalan tahap demi tahap, tidak serta-merta dan secepat kegiatan mengutip yang berlangsung. Tidak otomatis bahwa pengutipan teks sama cepatnya dengan penyerapan dan perunutan kegiatan berpikir atau adopsi cara kerja sistem.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar: