Selasa, 15 Juni 2010

Kritik

Matinya tukang kritik. Demikian bunyi salah satu monolog Agus C. Noor, yang diterbitkan oleh penerbit Lamalera.
Kalau ada tukang kritik mati, sejumlah orang lantas senang. Begitulah kira-kira cerminan bahwa sejumlah orang tidak senang dikritik.
Lantas, apa sih profesi kritik itu bisa kita pahami kerjanya? Mungkin terlalu cepat diambil padanannya dalam khasanah politik dengan istilah oposisi. Oposisi dipahami sebagai pihak yang selalu melihat dan terus-menerus menyuarakan kekurangan-kekurangan pemerintah yang berkuasa. Ignas kleden dalam sebuah catatannya mengungkapkan secara positif adanya oposisi sebagai pihak yang mampu melihat dan mengemukakan ke publik titik lemah dari sebuah program pemegang kekuasaan, sehingga penguasa dalam menjalankan pemerintahannya tidak bertindak mutlak. Ini bisa berlangsung di tingkat manapun.
Berbeda dengan itu, kritik tidak hanya melihat dan mencatat kelemahan tetapi pula kelebihanya. Pentingnya kritik adalah supaya ia menjadi referensi terpercaya bagi seorang pelaku karya untuk merefleksi hasil kerjanya. Kritikus meilai, membedah baik burknya, membuat perbandingan, bahkan kelihatan lebih tahu apa yang harus seorang lakukan.

Tetapi nyatanya tidak demikian. Kritikus sastra misalnya, sebagiannya bukanlah pelaku sastra itu sendiri. Bahkan ia kemungkinan tidak pernah membuat sebaris puisi pun. H.B. Jassin, yang digelar paus sastra indonesia, adalah orang yang membesarkan puisi-puisi Charil Anwar, tetapi Jassin sendiri bukanlah seorang sastrawan. Meski begitu, ia tahu mengenai ilmu tentang sastra itu, mengenal gaya penulisan para sastrawan, dan bahkan mengenal baik sebagian hasil karya cipta sastrawan. Ia tahu soal teorinya.
Sedangkan sastrawan sendiri? Sastrawan, karena pekerjaannya sebagai pencipta, kurang punya kesempatan seperti yang dilaukan oleh kritikus. Barangkali ia sendiri kurang referensi tentang perkembangan sastra. Pekerjaannya sebagai pencipta memang butuh banyak waktu, sehingga ia mungkin saja tidak punya waktu untuk meninjau beberapa saja dari ciptaan rekannya yang lain. Ia tidak bisa menilai apakah hasil ciptaannya sudah cukup baik atau belum selama seorang kritikus belum angkat bicara.
Keberatan terhadap kritik barangkali berangkat dari salah pengertia tentang arti kritik. Banyak yang masih mengartikan kritik sebagai protes bahkan serangan terhadap pribadi. Istilah kritik membangun rupanya lahir dari anggapan bahwa kritik itu kadangkala destruktif sifatnya. Kritikus sebenarnya akan memberikan alternatifg yang lebih ampusupaya kita dapat berbuat lebih baik. Mata kita mejadi terbuka untuk melihat alternatif lain yang selama ini belum sempat terpikirkan. Ulasan dari kritikus akan membuat kita bisa membuat perbandingan dengan hasil karya cipta lain. Ia menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah proses berlangsung. Jadi, tepatkan kita untuk membenci orang yang membuat hasil karya kita menjadi lebih baik?
Sastra adalah sebuah lapangan tersendiri, tetapi profesi kritik menjangkau pula lapanganlainnya. Sama seperti kritik di bidang sastra, di bidanglain pun memiliki sepak terjang serupa, demi sebuah kemajuan.
Comments
1 Comments

1 komentar:

Petronela Somi Kedan mengatakan...

aku suka tampilan baru blognya,,,juga cerita baru tentang kampung,,,,,ada info tentang buku antropologi ntt/flores/adonara gak?