![]() |
Gambar: http://www.theprospect.net |
Jadi ketika orang mengatakan Adonara Barat, maka mesti ada pertanyaan lanjutan, apakah yang dimaksud adalah Kecamatan Adonara Barat, ataukah Adonara bagian barat yang terdiri dari tiga kecamatan itu.
Dalam tulisan ini, yang saya maksudkan bagian pertama: wilayah kecamatan Adonara Barat.Ada apa di sana ? Mari simak satu-satu.
Dalam tulisan ini, yang saya maksudkan bagian pertama: wilayah kecamatan Adonara Barat.
Kisah Ina Sebagai Jurnalis Warga
Hari Jumad, 16 Juli 2010. Memenuhi undangan dari Oxfam GB, saya sebagai mahasiswa asal Adonara menghadiri kegiatan seminar sehari di Aula Hotel Kristal , Kota Kupang. ‘Moderator Buletin MIMBAR’, tulis saya di meja registrasi tamu. Saya sendiri mendapat ajakan dari sekretariat salah satu kelompok pelajar, ikut bersama Ines Bahy yang mendaftar sebagai anggota IMW (Ikatan Mahasiswa Witihama).
Tiga materi ‘berat’ disampaikan terdahulu: Upaya Meningkatkan Partisipasi Perempuan NTT dalam Pembangunan Menuju Kesetaraan Gender (Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT), Strategi Mendorong dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Provinsi NTT), Tantangan dan Peluang Partisipasi Perempuan NTT dalam Pembangunan Menuju Kesetaraan Gender (Marianus Kleden selaku akademisi).
Pemaparan materi yang dipandu Abang Hipol Mawar dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan (LAP) Timoris ini dihadiri pula oleh para undangan dari kalangan pemerintah, akademisi, LSM, ormas dan mahasiswa anggota OKP, jurnalis serta perempuan penulis. Juga tak ketinggalan sejumlah kepala desa, camat, tokoh masyarakat dan wakil warga dari Adonara Barat.
Setelah ketiga pemateri berakhir, kini giliran Januarius Lamabelawa (singkatnya Abang Jabal) selaku manager Civil Society Strengthning Component (CSCC) Project menyampaikan sharing pengalaman dari Adonara sebagai pembicara penutup.
Gambaran pertama menampilkan sosok salah seorang warga dari Adonara Barat. “Ina”. Demikian presentasi powerpoint di hadapan ratusan pasang mata menampilkan sebuah gambar close up Ina.
“Seorang gadis sederhana warga desa Watobaya. Ibunya telah meninggal sedangkan ayahnya sudah lama di tanah rantau. Sehari-harinya, Ina bekerja membantu mama kecilnya di kebun, mencuci, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Di sela-sela aktivitasnya, ia aktif di kelompok OMK (Orang Muda Katolik).”
Layar terus bergulir ke halaman sebelah.
“Di kampung, perannya sebagai warga dalam musyawaran desa tidak begitu diperhitungkan. Kini, setelah pendampingan, ia bisa berbicara di depan forum RPJM desa” demikian kira-kira rincian paparan teks di layar presentasi.
Watobaya adalah desa asal saya, dan foto Ina di depan layar telah saya kenal sebelumnya sebagai adik kelas saya di SD. Nama itu pun ada dalam daftar anggota simpatisan Ikatan Pelajar Lamawolo (IPL), perkumpulan pelajar asal kampung saya. Kini, Ina hadir di ruangan seminar sebagai salah satu jurnalis warga dari desa Watobaya bersama jurnalis warga dari desa-desa lain.
Perempuan di Lingkungan Kampung Saya
Di akhir perkenalan, masih diimbuhkan oleh Abang Jabal bahwa Ina masih memendam keinginan untuk bersekolah. Itu tampak dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Apalah daya. Ina hanya seorang gadis, yang di kampung dianggap harus kembali ke dapur.
Gambaran perempuan yang dihalangi untuk bersekolah memang menghiasi halaman Buletin Kampung edisi pertama. Contoh lain adanya anggapan ini pun terekam rapi dalam pantun muda-mudi
Gambaran perempuan yang dihalangi untuk bersekolah memang menghiasi halaman Buletin Kampung edisi pertama. Contoh lain adanya anggapan ini pun terekam rapi dalam pantun muda-mudi
Tinggi-tinggi gunung mandiri
Salah sedikit miring ke kiri
Tinggi tinggi sekolah nona
Salah sedikit duduk di dapur
Memang, orang terkadang mendahulukan laki-laki dalam urusan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin karena pertimbangan biaya yang memang kurang ada sosialisasinya, di mana warga kadang dibayangi rasa takut akan biaya yang mahal. Kakak kandung saya, meski punya sejumlah prestasi di sekolah dasar, tidak bisa melanjutkan ke SMP di kota kecamatan. Ayah lebih memilih saya untuk disekolahkan. Wanita pasti akan ikut suaminya kelak dan akan keluar dari kampung ini, mungkin begitu pendapat mereka.
Ina pun demikian. Apa kata sang kepala keluarga beberapa tahun lalu ketika ibunya meminta pertimbangan? “Ina tidak boleh bersekolah” demikian suara dari tanah rantau. “Yang harus disekolahkan adalah Ama”.
Sang istri waktu itu mendengarkan saja di telepon. Ina yang ikut mendengarnya tampak bingung. Saat ditelepon, ibu tiga anak ini mesti berdiri di halaman terbuka karena di dalam ruangan, lai alias sinyal tidak ada.
Memang tidak dilarang menguping pembicaraan seperti itu di kampung karena hubungan kedekatan masih terjaga. Kebetulan, ponsel saya waktu itu adalah satu-satunya di kampung ini sehingga dipakai bergantian oleh tetangga untuk menerima telepon dari tanah rantau. Saya baru tiba dari kota kabupaten dengan posisi baterai terisi penuh. Seperti yang kini dijumpai, di kampung belum ada PLN. Apalagi, kabarnya, semakin jauh jarak relai, semakin cepat daya baterai melemah.
Cerita yang dibingkai riwayat si Ina ini pun menggambarkan bagaimana para perempuan di kampung mulai berani berpartisipasi dalam proses perencanaan hingga evaluasi kegiatan pembangunan di kampung yang berhubungan langsung dengan hajat hidup mereka.
…………….
Dalam geliat pembangunan desa, urusan domestik dikatakan sebagai urusan para perempuan. Tetapi dalam teori domestik vs publik, batasannya di mana? Domestik tingkat rumah tangga atau domestik tingkat kelompok? Hal publik di tingkat rumah tangga ternyata merupakan hal domestik di tingkat kelompok. Contohnya, pengadaan listrik di desa saya dipandang sebagai urusan domestik yang diserahkan kepada para ibu. Karena mereka mengatur ekonomi rumah tangga, maka arisan kelompok namho (harfiah berarti sapu), dimanfaatkan untuk membeli mesin diesel kecil 5kWatt untuk penerangan kampung. Kini, mesin diesel ini digunakan pada perayaan tertentu sebagai daya untuk kebutuhan penerangan dan kebutuhan kecil lainnya.
Di mana para laki-laki? Mereka ada di ranah publik tingkat kelompok. Berjuang di tanah seberang, bekerja di proyek-proyek pembangunan, pembukaan lahan-lahan pertanian baru, menjadi utusan untuk pergi ke tempat jauh, atau bekerja di sektor jasa dengan mobilitas tinggi. Jelas, karena lebih berpengalaman dalam interaksi dengan pihak luar, laki-laki lebih banyak berperan di sektor publik. Meski demikian, kini hal itu perlahan berubah. Peran perempuan di sektor publik makin nampak. Para perempuan mulai berani tampil. Tentu tampil dengan kepribadian perempuan, bukannya meniru para laki-laki.
Bersuara Lewat Media: Jurnalis Warga Sebagai Sebuah Langkah Maju
Saya mulanya tidak menduga ada istilah jurnalis warga di kalangan media cetak. Menurut pengetahuan saya sebelumnya, jurnalis warga berlaku untuk para penggiat media online alias para Blogger. Alasannya, ya tentu itu, penerbitan media cetak sangat mahal sehingga sangat sulit untuk mewujudkan secara mandiri. Tetapi ternyata, dengan difasilitasi oleh Oxfam GB, 16 desa di kecamatan Adonara barat setuju menerbitkan buletin kampung dengan sokongan para jurnalis warga. Ini tentu sebuah langkah maju yang perlu disikapi dengan peningkatan aspek SDM dan hukum karena posisi jurnalis warga khususnya di Adonara barat masih asing dengan urusan hukum dan etika kewartawanan. Dan tentu saja perlu penghargaan yang setimpal meski jurnalis warga belum baku sebagai sebuah profesi. Bentuk dan besar penghargaan tentu bisa disesuaikan dengan kesepakatan bersama.
Media ternyata bukan monopoli kalangan tertentu sabagai sarana persuasi bagi kalangan periferal. Bukan pula untuk sosialisasi program dari kalangan birokrat. Warga pun mesti melek media, tidak hanya sebagai obyek pemberitaan tetapi juga sebagai pembuat berita.
Tradisi Tutur dan Hambatan Ruang serta Waktu
Desa hidup dari tradisi tutur. Ini telah dimaklumi dan bertahan hingga kini, misalnya teramati dengan adanya minat baca tulis yang rendah. Warga lebih senang menceritakan sebuah obrolan daripada membaca. Di bagian gunung alias ata kiwang, pengenalan ke tradisi literer datang sejak pendidikan dikenalkan oleh para misionaris barat, di mana tenaga yang membantu gereja secara institusi mesti melek huruf dan angka. Syukurlah bahwa sebelum itu, bahasa melayu sudah sangat dikenal sebagai bahasa komunikasi umum dengan orang lain. Di Adonara, para pedagang di pasar adalah orang bugis dan buton, dan terakhir adalah orang padang . Komunikasi dengan mereka tentu saja menggunakan bahasa melayu yang mempersatukan nusantara. Jadi, di kampung, orang yang buta huruf pun melek bahasa melayu. Ini cukup berbeda dengan warga pulau lain di seputar NTT dimana bahasa melayu tidak dikenal sejak nenek moyang. Basis utama bahasa melayu di Adonara barat adalah di desa wureh, dimana bahasa pengantar di desa ini adalah dialek melayu larantuka.
Komunikasi antar kampung mulanya adalah hal yang sulit. Warga bertemu di pasar, dalam perayaan adat, kenegaraan dan agama. Sebelum merdeka, hubungan antar kampung masih lumayan sulit. Tiap kampung dipersatukan pula misalnya oleh sistim administrasi gerejaseperti pula di tempat lain di pulau flores . (Lihat misalnya di buku hikayat kerajaan Sikka, para raja turut hadir dalam pentahbusan uskup). Kini, pertemuan antar warga intens dengan adanya even olahraga, seni budaya dan lainnya di samping hubungan kekerabatan, pekerjaan, dan institusi lain seperti partai politk. Komunikasi lisan tentu ada batasnya. Komunikasi lisan mensyaratkan adanya kesempatan pertemuan dalam ruang dan waktu bersamayang tidak terulang. Semua partisipan mesti ada bersama. Inilah halangannya. Di kampung, berita berita biasanya beralih dari mulut ke mulut, baik secara tidak sengaja maupun secara sengaja disebar. Berita lisan ternyata banyak biasnya. Seperti pada permainan bisik-bisik (unak) yang pernah digelar di kampung saya untuk mendemosnstrasikan penyebaran informasi, berita terdapat banyak biasnya. Bias terjadi karena medium yang terlibat adalah manusia yang ada gangguan atau intervensi kemampuan ingatan atau imajinasi. Dengan adanya buletin, pertukaran informasi terjadi dengan lebih baik dimana bias dapat ditekan. Meski begitu, pemberitaan yang berimbang masih dibutuhkan.
Pemaparan kisah dari Adonara barat ini diakhiri dengan sharing kegiatan Oxfam GB bersama Australia Nusa Tenggara Assistance for Regional Autonomy (ANTARA). Tema seminar sehari ini sendiri adalah Membangun Kapasitas Masyarakat Menuju Peningkatan Partisipasi dalam Pembangunan (Sebuah Sharing Pengalaman dari Adonara Barat).