Gambar: www.connecttherapy.com |
Bagi
kawan-kawan yang satu SD dengan saya, pasti tidak asing dengan istiah Usaha
Bersama yang disingkat UB. Dulu,
ketika sosialisasi akronim dan singkatan semacam ABRI, AMD, GEMPAR dan
lain-lain menggejala di Sekolah Dasar, ibu saya hanya memperkenalkan satu istilah:
UB. “Singkatan dari Usaha Bersama” katanya ketika saya pertama kalinya mulai
mengenal huruf.
Meski
tidak begitu tahu dan mengenal cara kerja internal lembaga usaha bersama itu,
kami cukup dapat melihat kegiatan mereka. Kegiatan mereka antara lain adalah
pengumpulan bahan-bahan alam semacam bahan bangunan rumah. Kerja yang paling
rutin adalah pembuatan batu bata. Ketika permintaaan akan batu bata meningkat
akibat pembangunan fisik di kampung, UB adalah pemasok utamanya. Alhasil, meski
kebutuhan bahan bangunan itu besar jumlahnya, warga tidak tergantung dari
pasokan dari luar desa.
Saya
sendiri tidak tahu implikasi ekonomi UB ini bagi anggotanya, tetapi teramati
bahwa kegiatan UB ternyata tetap berjalan sepanjang waktu itu. Di antara kegiatannya
diadakan pula laporan dan evaluasi umum maupun keuangan dalam periode tertentu.
Warga pun merasa memiliki UB terbukti dengan keterlibatan anggota yang terus
berjalan. Angotanya pun menjangkau berbagai kalangan. Bapak-bapak, ibu rumah
tangga, orang muda, termasuk pula kalangan elite kampung, yaitu para Guru PNS
ikut mendaftar dalam keanggotaan kelompok ini.
Hal
positif dari usaha itu adalah adanya penghimpunan kekuatan bersama untuk
pekerjaan ‘besar’ yang tidak akan terwujud kalau setiap orang berjalan
sendiri-sendiri. Meski kegiatan usaha itu bukan dikerahkan setiap hari sumber
daya anggota pun dialokasikan sesuai kapasitas masing-masing. Semangat
kekeluargaan pun teraktualisasi dalam kelompok ini. Ada rasa niat baik bersama,
saling percaya dan rasa sepenanggungan, simpati, dan juga tanggungjawab adalah
modal sosial yang besar. Mereka pun akhirnya memiliki kekuatan financial.
Sayang,
mungkin karena kurang dampingan, mereka tidak tahu lagi uang kas yang melimpah
digunakan untuk urusan apa, kegiatan evaluasi pun menjadi ajang hura-hura
sehingga di kalangan menengah kampung, UB diplesetkan enjadi urus bu’a alias
urus makan. Itu terjadi karena panitia evaluasi yang didominasi oleh orang muda
bermewah-mewah dengan kesan pesta pada kegiatan evaluasi itu.
Kini,
lembaga ini tinggal nama. Roh gotong-royong kini makin sukar menemukan tubuh
fisik sebagai tempatnya berdiam. Dalam berbagai kesempatan, kepala desa maupun
tokoh desa sering mengeluhkan semangat gotong royong yang luntur. Memang,
kegiatan gotong-royong mestinya melembaga di antaranya melalui UB untuk
pengelolaan yang lebih modern di samping kegiatan gemohing.